Oleh: EL Fitrianty, penulis buku anak Islami
“Sesedikit sesuatu yang kita miliki akan tetap cukup jika kerusakan untuk bangkit hidup.Namun, berapa pun jumlah harta, tidak akan pernah cukup jika untuk gaya hidup. ”
Konsep rezeki yang benar-benar perlu kita pahami lebih dalam.Apakah rezeki selalu mengandung materi (uang)?Ternyata tidak.Banyak kenikmatan dari Allah Ta’ala yang mencerminkan luput dari perhitungan manusia.Keluarga, anak, istri, suami itu juga rezeki.Kesehatan dan waktu luang juga termasuk rezeki yang cewek kita syukuri.Rasa tenang, sakinah dalam pernikahan juga merupakan rezeki dari Allah Ta’ala.
Kebanyakan kita terlalu khawatir pada sesuatu yang sebenarnya sudah dijanjikan/ disediakan Allah Ta’ala untuk kita. Seberapa besar rezeki kita itu sudah dijamin oleh Allah Ta’ala. Tinggal ikhtiyar kita untuk menjemputnya saja yang harus dioptimalkan. Padahal yang belum tentu dijamin oleh Allah Ta’ala adalah apakah setelah kita meninggalkan dunia ini nantinya kita bisa masuk surga apa tidak. Apakah semua amal kita diterima oleh Allah Ta’ala atau tidak. Harusnya hal ini yang harus kita pikirkan dan persiapkan dengan baik. Sebuah perjalanan panjang setelah kematian yang merupakan kehidupan hakiki, tidak lagi fana seperti di dunia ini.
Dalam keluarga, idealnya adalah suami sebagai pencari nafkah. Itu sudah menjadi bagian kewajibannya. Adapun jika kondisinya belum ideal semisal suami berhalangan untuk mencari nafkah untuk keluarga (misalkan karena sakit), atau sistem negara yang membuat para suami susah mendapatkan pekerjaan maka Islam pun sudah punya solusi secara praktis untuk mengatasinya. Don’t worry! Rezeki kita tak akan pernah tertukar.
Sebagaimana Malaikat Izrail tidak pernah tertukar dalam menyabut nyawa manusia yang sudah habis jatahnya di dunia. Bayi yang baru lahir pun sudah ada jatah dan jalan rezekinya sehingga tidak kelaparan. Allah Ta’ala itu Mahaadil!
Secara teoritis, Abdurrahman (2012) dalam bukunya yang berjudul Diskursus Islam Politik dan Spiritual memaparkan konsep rezeki dengan cukup runut. Pemikiran “rezeki di tangan Allah” telah bergeser maknanya sehingga kemudian berkembang pemikiran khurafat dan takhayul. Diantaranya : “rezeki itu tergantung pada usaha manusia, sehingga usaha manusialah yang menentukan rezeki”, “rezeki itu tergantung pada akal dan kedudukan, sehingga siapa yang lebih pandai maka rezekinya lebih banyak. Begitu juga seorang bos akan lebih banyak rezekinya dibandingkan stafnya”, “rezeki adalah materi yang dapat dihitung secara matematis, sehingga ketika jumlahnya berkurang, di satu sisi jumlah pembaginya bertambah, maka rezekinya tentu berkurang.” Inilah pemikiran khurafat dan takhayul yang berkembang saat ini. Semua ini bak debu-debu kotor yang harus dibersihkan dari benak kita sehingga makna pemikiran “rezeki di tangan Allah Ta’ala” kembali jernih. Cemerlang.
Secara etimologis rezeki artinya pemberian. Adapun menurut istilah, rezeki adalah apa saja yang bisa dikuasai (diperoleh) oleh makhluk, baik yang bisa dimanfaatkan atau tidak.
Definisi “apa saja yang bisa dikuasai (diperoleh)” meliputi semua bentuk rezeki; halal, haram, positif, negatif, sakit, kecerdasan, kebodohan, dan lain-lain. Semuanya adalah rezeki. Definisi ini berarti pula bahwa rezeki berbeda dengan hak milik. Sebab, hak milik selalu memperhatikan cara, apakah syar’i atau tidak.
Jika caranya syar’i maka hak miliknya halal, dan jika tidak syar’i maka hak miliknya menjadi tidak halal. Tetapi, dua-duanya tetap disebut rezeki. Definisi ini juga termasuk rezeki yang diperoleh secara mutlak, baik tanpa usaha, seperti pemberian dan waris ataupun karena usaha seperti bekerja, menjadi broker, atau yang lain, termasuk kerja yang diharamkan seperti mencuri, merampok dan sebagainya. Semuanya ini bisa mendatangkan rezeki meskipun kemudian ada halal dan haram.
Adapun definisi “baik yang bisa dimanfaatkan maupun tidak” meliputi semua bentuk rezeki, baik yang positif atau negatif, sekaligus menafikan rezeki yang dianggap hanya sesuatu yang bisa dimanfaatkan saja.
Jadi rezeki adalah apa saja yang diberikan Allah Ta’ala yang diperoleh oleh manusia. Allah Ta’ala juga dinyatakan sebagai sebab bagi rezeki manusia. Di dalam Al Quran surat Adh-Dhariyat ayat 22-23 Allah Ta’ala berfirman yang artinya “Dan di langit ada (sebab-sebab) rezeki kamu, juga apa saja yang telah dijanjikan kepada kalian. Maka, demi Tuhan langit dan bumi, sesungguhnya yang dijanjikan itu adalah benar-benar (akan terjadi) seperti perkataan yang kamu ucapkan.”
Masih menurut Abdurrahman (2012), beliau menyampaikan bahwa belum pernah ada satu ayat pun yang menggunakan penegasan yang sedemikian kuat melebihi ayat rezeki ini. Pertama, penegasan kebenaran, bahwa rezeki di tangan Allah (di langit) dan sebabnya hanya Allah, dengan menggunakan qasam (sumpah), yaitu “demi Tuhan langit dan bumi. Kedua, penegasan dengan menggunakan kata innahu yang artinya “sesungguhnya rezeki”. Ketiga, penegasan yang menggunakan kata lahaqqun yang artinya “benar-benar akan terjadi”.
Keempat, penegasan dengan menggunakan kata innakum yang artinya “sesungguhnya kamu”. Kelima, penegasan dengan menggunakan lafadz: Tanthiqun (kamu berbicara) dan bukan yang lain, yaitu antara lafadz: Tanthiqun dengan Rizq disatukan dalam satu konteks kalimat, yang menunjukkan bahwa antara rezeki dengan bicara tersebut mempunyai tempat yang sama, yang sekaligus menunjukkan hubungan antara rezeki dengan mulut. Maksudnya adalah bahwa “Kalian tidak bisa berbicara dengan menggunakan mulut orang lain, selain mulut kalian sendiri, maka kalian juga tidak bisa memakan rezeki orang lain, selain rezeki kalian sendiri.” Masyaallah!
Rezeki kita memang tidak akan pernah tertukar satu sama lain. Allah Ta’ala yang menjamin rezeki kita. “Dan tidak ada satu pun hewan melata di muka bumi ini, kecuali rezekinya telah ditetapkan oleh Allah.” (QS. Hud: 6)
Rezeki itu tidak bisa dihitung dengan angka matematika. Masih ada banyak orang yang beranggapan bahwa dengan memiliki banyak keturunan akan mengurangi jatah rezeki setiap anggota keluarga. Sehingga banyak orang yang takut jatah rezekinya akan berkurang jika sudah menikah atau memiliki banyak anak. Anggapan tersebut keliru. Atau misalkan ketika suami-istri sama-sama bekerja dan kemudian salah satunya (misalkan istri) resign dari pekerjaan, maka jumlah rezekinya berkurang. Contohnya begini:
Suami bekerja penghasilannya 5. Istri bekerja penghasilannya 5. Total jadi 10. Kalau istri resign maka rezeki keluarga itu akan berkurang menjadi hanya 5. Apakah benar seperti itu yang terjadi? Hitungan rezeki secara matematis seperti ini ternyata tidaklah berlaku. Karena yang terjadi, rezeki kita tetap tidak berkurang. Allah memberikannya melalui banyak jalan. Jika tidak memberikannya kepada kita secara langsung, Allah memberikannya melalui orang lain. Ini belum termasuk rezeki yang berupa nonmateri. Tak terhitung. Insya Allah. Jadi, tak perlu khawatir.
Allah Ta’ala berfirman: “Bukan kamu yang menjamin rezeki mereka, melainkan Akulah yang menjamin rezeki mereka, juga rezeki kamu.”
Konsep “rezeki di tangan Allah” itu riil. Sesuai fakta dan realita. Keyakinan terhadapnya meliputi keyakinan tentang segala sesuatu yang diberikan oleh Allah Ta’ala baik pemberian dalam bentuk materi maupun nonmateri; baik berupa gaji ataupun bukan. Karena itu, bisa saja gaji seseorang kecil, tetapi rezekinya besar. Jadi, rezeki sebenarnya tidak tergantung pada jabatan atau kedudukan, dan tidak tergantung pada akal, ilmu ataupun yang lain. Allah Ta’ala memberikan rezeki tersebut secara mutlak kepada siapapun. Ada sebuah ungkapan seorang pujangga :
Kalaulah rezeki tergantung pada akal,
Tentu binatang-binatang telah binasa karena kebodohannya.
Maknaikiran “rezeki di tangan Allah” adalah masalah keyakinan yang wajib dimiliki oleh setiap muslim.Sementara masalah usaha agar “rezeki di tangan Allah” yang sampai kepada manusia adalah masalah hukum syara ‘.Dan ini adalah dua wilayah yang berbeda.Yaitu daerah hati dan fisik.Karena setan, maka usaha untuk memperoleh rezeki hukumnya adalah Wajib bagi setiap muslim.Allah Ta’ala berfirman: “Maka bertebaranlah di muka bumi dan terbatas anugerah Allah.” (Qs Al-Jumu’ah: 10).Wallahu a’lam bisshowab. []