Oleh : Widya Tantina (Pegiat Literasi)
Beberapa pekan lalu santer diberitakan soal penjualan asset PT Pertamina (Persero) kepada pihak swasta atau asing. Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB) mengungkapkan bahwa PT. Pertamina sedang mengalami krisis keuangan. Dikutip dari DetikFinance.com, PT. Pertamina membenarkan rencana ini yang diusulkan ke pemerintah selaku pemegang saham, sebagai rencana bisnis untuk meningkatkan kinerja bisnis Pertamina ke depan, dan menyehatkan keuangannya
Tak hanya itu, alasan lain yang melatar belakangi rencana penjualan aset ini adalah sebagai upaya me-regenerasi investasi, sehingga harapannya ke depan Pertamina akan lebih punya banyak partner dalam penanaman sahamnya.
Menteri BUMN, Rini Soemarno menyetujui empat usulan penting Pertamina, termasuk rencana share down aset hulu dan spin off unit bisnis RU IV Cilacap dan unit bisnis RU V Balikpapan melalui surat bernomor S-427/MBU/06/2018 tertanggal 29 Juni 2018. Hal ini dilakukan untuk menutupi kerugian Pertamina (tribunnews.com, 21/07/18).
Disamping itu, kerugian yang dialami oleh Pertamina juga disebabkan oleh menurunnya produksi di kilang minyak yang dikuasai oleh Pertamina. Saat ini, Pertamina menguasai 6 unit kilang minyak, yaitu Dumai, Plaju, Cilacap, Balikpapan, Balongan, dan Kasim. Total produksi minyak dari 6 kilang minyak itu sebesar 900.000 barrel per hari (Bph). Sedangkan konsumsi masyarakat sebesar 1,6 juta Bph. Kekurangan pasokan ini mengharuskan Pertamina untuk mengimpornya. Dan itu sudah dilakukan oleh Pertamina sejak tahun 2004, 3 tahun setelah dicabutnya monopoli Pertamina (detik.com,21/07/18). Padahal, di Indonesia terdapat 225 blok migas. Lantas, siapa pengelola lainnya? Tentu saja perusahaan minyak swasta (www.saripedia.wordpress.com).
Liberalisasi Migas Indonesia
Di Indonesia ada puluhan kontraktor Migas yang terkategori ke dalam 3 kelompok: (1) Super Major: terdiri dari ExxonMobile, Total Fina Elf, BP Amoco Arco, dan Texaco yang menguasai cadangan minyak 70% dan gas 80% Indonesia; (2) Major; terdiri dari Conoco, Repsol, Unocal, Santa Fe, Gulf, Premier, Lasmo, Inpex dan Japex yang menguasai cadangan minyak 18% dan gas 15%; (3) Perusahaan independen; menguasai cadangan minyak 12% dan gas 5%.
Walhasil, kita bisa melihat bahwa minyak dan gas bumi kita hampir 90% telah dikuasai oleh asing. Mereka semua adalah perusahaan multinasional asing dan berwatak kapitalis tulen. Wajar jika negeri yang berlimpah-ruah dengan minyak dan gas ini ’meradang’ tatkala harga minyak mentah dan gas dunia naik. Semuanya dijual keluar negeri oleh perusahaan-perusahaan asing tersebut.
Padahal dalam jantung Bumi Pertiwi Indonesia terdapat sekitar 60 cekungan minyak dan gas bumi (basin); baru 38 di antaranya yang telah dieksplorasi. Dalam cekungan tersebut terdapat sumberdaya (resources) sebanyak 77 miliar barel minyak dan 332 triliun kaki kubik (TCF) gas; potensi cadangannya sebanyak 9,67 miliar barel minyak dan 156,92 TCF gas. Semua itu baru dieksplorasi hingga tahun 2000 sebesar 0,46 miliar barel minyak dan 2,6 triliun TCF gas. Karena itu, jika menilik angka volume dan kapasitas BBM, tegas Bapak Sodik (SP Pertamina), sebenarnya Indonesia mampu mencukupi kebutuhan rakyat di dalam negeri.
Namun, permasalahannya adalah liberalisasi sektor Migas yang membebaskan sebebas-bebasnya asing mengeruk kekayaan minyak dan gas Indonesia, yakni melalui UU 22/2001 tentang Migas. UU ini justru memberikan hak/kewenangan kepada perusahaan swasta nasional maupun swasta asing yang notabene bukan untuk kepentingan rakyat. Siapa yang diuntungkan di atas penderitaan rakyat ini? Asinglah yang secara real telah memiliki berbagai energi primer negara ini. Pemaksaan sistem ekonomi kapitalis, yang menyebabkan berbagai liberalisasi di sektor energi, adalah jalan asing untuk menguasai energi primer kita.
Makin jelas, akar masalahnya adalah kekayaan energi kita telah dikuasai asing dengan diterapkannya ekonomi kapitalis di negeri ini.
Sebenarnya, untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapi oleh Pertamina tidak harus dengan menjual aset yang dimilikinya. Sudah saatnya pemerintah memikirkan kesejahteraan rakyatnya dan mengembalikan hak-hak mereka. Rasulullah Saw. bersabda, “Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal, padang rumput, air, dan api.” (HR. Abu Dawud) Api, dalam hal ini meliputi energi, termasuk di dalamnya adalah energi migas.
Dan dalam kondisi Pertamina yang sedang dalam bahaya ini, pengelolaan migas sudah seharusnya dilakukan oleh pemerintah sendiri, dalam hal ini adalah Pertamina sebagai BUMN. Namun, tentu saja, semua itu dilakukan untuk menyejahterakan rakyat, bukan semata-mata mengejar keuntungan. Pemerintah harus kembali melakukan perannya sebagai pelayan rakyat. Bukan sekedar sebagai regulator dan fasilitator. Bukan pula penyedia jasa bagi rakyatnya yang dianggap sebagai pengguna jasa yang harus membayar kepadanya. Jika peran pemerintah bisa dikembalikan sebagaimana mestinya, pengelolaan energi migas akan berada di tangan bangsa sendiri. Dan kesejahteraan pun akan dapat dinikmati.
Wallahua’lam bisshowab
[Mnh]