Oleh : Ely Damayanti
(Anggota Komunitas Berkarya Untuk Islam)
Menjelang Pilpres 2019, suhu politik di Indonesia semakin panas. Politisi ramai mengeluarkan pernyataan pedas untuk mengekspresikan sikap politiknya. Perang mulut antar politikus terasa semakin vulgar. Bahkan pernyataan yang keluar, berbuntut saling balas dan sindir. Adu mulut antar politikus bukan hal baru di percaturan politik Indonesia. Media massa menjadi ring tinju bagi mereka. (Liputan6.com, Jakarta)
Memilih pemimpin, menjadi hal penting dalam Islam. Karena seorang pemimpin akan menahkodai segenap tugas dan amanah. Juga mengelola berbagai kebijakan yang akan berdampak pada yang dipimpin. Baik positif maupun negatif.
Dalam Islam, pemimpin disebut Khalifah (pengganti). Secara istilah Khalifah berarti orang yang bertugas menegakkan syariat Allah SWT. Memimpin kaum muslim untuk menyempurnakan pelaksanaan syariat Islam. Serta mengayomi seluruh kaum muslim secara wajib, sebagai pengganti kepemimpinan Nabi SAW .
Pemimpin dan sistem kepemimpinan, dua konteks yang seiring sejalan. Keduanya sama penting dalam kenegaraan. Terkait penduduk nusantara ini mayoritas muslim, maka sosok pemimpin yang dipilih seharusnya sesuai syariat Islam.
Dalam kitab Nizhomul Islam, Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani menyebutkan syarat syar’i yang wajib dimiliki seorang pemimpin. Yaitu seorang muslim, laki-laki dewasa (baligh), berakal juga adil. Serta merdeka dan mampu melaksanakan kepemimpinan berdasarkan Kitabullah dan Sunnah-Nya. Pemimpin yang memegang teguh akidah Islam, akan menjaga kesejahteraan umat. Karena menjadikan aturan Allah sebagai asas perbuatannya.
Allah SWT juga mengharamkan umat Islam dipimpin kaum kafir. Karena memberi kesempatan kaum kafir berkuasa, sama saja berperan mendorong kemunduran umat Islam. Tidak akan ada lagi aturan halal haram. Terlebih jika pemimpin tersebut di-back up oleh kaum kapitalis. Targetnya hanya bagaimana cara mengembalikan modal dan tidak mempedulikan rakyat kecil. Termasuk seorang muslim yang memiliki ideologi sekuler. Tidak memihak kepada kaum muslim. Apalagi yang nyata memihak kaum kafir.
Allah subhanahu wata’ala menegaskan,
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang yang membuat agamamu jadi buah ejekan dan permainan, (yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi kitab sebelummu, dan orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik) sebagai Wali (pemimpinmu). Dan bertakwalah kepada Allah jika kamu betul-betul orang yang beriman.” (TQS. Al-Maidah : 57)
Salah memilih pemimpin dapat menyebabkan penyesalan panjang. Imam al-Ghazali mengatakan, “Sesungguhnya kerusakan rakyat disebabkan oleh kerusakan penguasanya. Kerusakan penguasa disebabkan oleh kerusakan ulama. Kerusakan ulama disebabkan oleh cinta harta dan kedudukan. Barangsiapa dikuasai ambisi duniawi, ia tidak akan mampu mengurus rakyat kecil, apalagi penguasanya. Allah-lah tempat meminta segala persoalan.”
Akibat kemunduran Islam nan jauh, dapat dirasakan dampaknya saat ini. Berbagai kerusakan terjadi. Korupsi, krisis akidah, kemiskinan, kriminalitas. Serta berbagai kesulitan dirasakan rakyat. Tidak akan ada solusi hakiki selama akidah sekularis-liberalis yang diemban pemimpin dan negara. Karena segala solusi permasalahan kehidupan adalah diterapkannya syariat Islam melalui Sistem ke-Khilafahan. Yaitu kepemimpinan umum bagi kaum muslimin di dunia yang menerapkan syariat Islam di bawah kepemimpinan seorang Khalifah.
Maka umat mendamba hadirnya sosok pemimpin bertakwa. Pemimpin yang bersedia menerapkan seluruh syariat Islam dalam kehidupan. Berharap darinya aturan Islam dapat diwujudkan.
Tak cukup hanya pemimpin bertakwa. Juga dibutuhkan sistem yang memungkinkan diterapkannya Islam secara menyeluruh. Sistem Ke-Khilafahan. Sehingga pemimpin dambaan umat dapat terwujud.
Wallahua’lam.