Anita Rachman
Dunia pendidikan adalah kawah candradimukanya para intelektual mengasah pikir dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Para akademisi yang berkecimpung di dalamnya adalah pemeran utama para pemikir itu, baik mahasiwa ataupun para pengajarnya (dosen). Maju tidaknya pemikiran para pelaku pendidikan sedikit banyak berpengaruh pada kualitas generasi penerus calon pempimpin bangsa. Buah dari pemikiran mereka, menentukan sikap terhadap setiap kebijakan yang dibuat oleh penguasa. Sikap ini dapat juga dijadikan sebagai acuan yang merepresentasikan sikap masyarakat secara keseluruhan. Saat para pelaku pendidikan yang notabene memiliki tingkat kecerdasan yang dianggap lebih tinggi dari mereka yang tidak mengenyam bangku pendidikan, lebih banyak diam, terhadap setiap kebijakan yang diluncurkan penguasa, bukan tidak mungkin, akan membuat kontrol terhadap sepak terjang penguasa semakin lemah. Padahal setiap kebijakan yang ditelurkan pemerintah secara langsung maupun tidak langsung akan berdampak pada kehidupan masyarakat bukan hanya di kalangan terdidik, tapi juga seluruh rakyat dalam naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Peristiwa tahun 1998 menjadi salah satu bukti bahwa suara kalangan intelektual membawa pengaruh besar dalam menentukan sikap terhadap penguasa. Saat mereka dapat berpikir kritis dan maju, akan mampu membawa perubahan yang besar bagi negara, meskipun sangat disayangkan dengan banyaknya korban yang gugur dan pengungkapan kasusnya pun yang hingga kini belumlah tuntas. Selepas masa itu, potret pendidikan Indonesia seolah terindera bukan semakin membaik kualitasnya tapi justru sebaliknya, terutama dari segi akhlak dan kepribadian. Terbukti dengan banyaknya kasus bullying, free sex, narkoba, korban gadget yang semakin memperparah kondisi generasi muda yang masih dalam masa pencarian jati diri. Dan hingga saat ini belum ada solusi yang menghasilkan perubahan signifikan untuk permasalahan tersebut.
Padahal sejatinya, dunia pendidikan adalah pembentuk 4 (empat) karakter akademisi intelektual, yaitu: Agent of Change, Social Control, Moral Force dan Iron Stock terutama dari kalangan mahasiswa. Karena mahasiswa bukan lagi siswa yang tugasnya hanya belajar, bukan pula rakyat yang hanya bisa pasrah menerima setiap kebijakan, bukan pula pemerintah yang leluasa mengeluarkan kebijakan. Namun, mahasiswa memiliki tempat tersendiri, yaitu menjadi garda terdepan sebagai Agent of Change atau agen perubahan. Pemikiran mahasiswa yang kritis dan konstruktif yang terus disampaikan ke publik, termasuk kepada penguasa, diharapkan akan membawa perubahan ke arah yang lebih baik. Dalam perannya sebagai Social Control, mahasiswa tidak boleh bersikap acuh atau hanya menjadi pengamat semata, tetapi dituntut peduli dengan segala yang terjadi disekitarnya. Untuk kemudian dapat melakukan perannya sebagai Moral Force dengan memberikan panutan sekaligus menjadi pelaku, mengabdikan diri kepada masyarakat berbekal ilmu yang sudah mereka peroleh. Sehingga mahasiswa benar-benar menjadi aset yang memiliki bekal kemampuan mumpuni dan layak menjadi Iron Stock atau penerus generasi.
Namun, belum lagi kita dihadapkan pada kenyataan bahwa kondisi mahasiswa saat ini, yang mulai kehilangan empat karakter akademis intelektual tersebut, sekarang ditambah dengan adanya tindakan persekusi dan stigma negatif pada para pelaku akademisi. Hal ini tentu semakin menambah terpuruknya posisi mahasiswa untuk bisa memunculkan kembali karakternya sebagai Agent of Change, Social Control, Moral Force dan Iron Stock. Tidaklah berlebihan saat muncul keprihatinan, ditengah arus modernisasi yang tak terbendung, justru dunia akademisi negeri ini memasuki abad kegelapan dan kemunduran, terutama dalam hal berekpresi dan mengeluarkan pendapat, yang sudah jelas di atur dalam UUD 1945 pasal 28. Belum lekang dari ingatan, bagaimana sejumlah guru besar dan tenaga pengajar di beberapa perguruan tinggi menghadapi tindakan persekusi, bahkan ini dilakukan rezim penguasa.
Di Institute Teknologi Surabaya (ITS), Dekan Fakultas Teknologi Kelautan, Profesor Daniel M Rosyid dan beberapa dosen diproses oleh lembaga karena postingan di medsos yang menyebutkan mereka mendukung salah satu ormas Islam. (CNNIndonesia 08/05/2018). Dua orang tenaga pengajar di Universitas Gadjah Mada (UGM) juga dinonaktifkan karena diduga menjadi anggota ormas tertentu. (Detik.com 08/06/2018). Sementara itu di Universitas Diponegoro (Undip), Profesor Dr. Suteki, seorang guru besar Ilmu Hukum diberhentikan sementara dan menjalani sidang kode etik. Suteki pernah menjadi saksi ahli di Mahkamah Konstitusi (MK) untuk Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang mengajukan judicial review atas pembubaran HTI oleh Depkumham. Suteki disidang karena postingan statusnya di medsos yang mendukung khilafah.(http://www.facebook.com/princee.suteki). Rencana ceramah ramadan Ketua DPR Fahri Hamzah di UGM pun dibatalkan secara sepihak oleh pihak kampus. (Detik.com 25/05/2018). Tidak ketinggalan, di Institut Teknologi Bandung (ITB), sebuah organisasi mahasiswa, HATI dibekukan karena diduga berafiliasi dengan ormas yang distigma terlarang. (Detik,com 07/06/2018). Menristek Dikti M Nasir memberikan ultimatum keras “Kembali kepangkuan NKRI, atau dipecat”, juga menyatakan akan mendata HP dan akun medsos para tenaga pengajar dan mahasiswa agar diketahui lalu lintas komunikasinya. Setali tiga uang, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) merilis sebanyak tujuh (7) perguruan tinggi negeri (PTN) terpapar radikalisme. (Detik.com 07/06/2018).
Apa yang terjadi di negeri ini? kemana para mahasiswa-mahasiswa yang seharusnya menjadi garda terdepan sebagai agen perubahan? sebagai kontrol sosial? kekuatan moral? dan generasi penerus? Kejadian-kejadian di atas menjadi bukti bahwa institusi ilmiah sudah kehilangan marwah sebagai lembaga pencerdasan umat dan justru tunduk dalam agenda membungkam Islam politik. Padahal jelas, bahwa Islam adalah satu-satunya solusi yang dibutuhkan oleh umat untuk keluar dari berbagai kerusakan yang dihasilkan oleh peradaban sekuler liberal kapitalis demokrasi.
Dalam negara demokrasi, di bidang pendidikan negara menerapkan sistem sekuler. Di bidang ekonomi menggunakan sistem kapitalisme-neoliberal. Di bidang sosial, negara mengadopsi HAM Barat sehingga zina dan LGBT dibiarkan dan tidak dianggap kriminal. Belum lagi bidang politik yang penuh dengan ajang adu kekuasaan dan transaksi kepentingan. Hukumnya yang jelas terpampang tebang pilih, tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Apalagi dari segi hubungan internasional yang lebih mengutamakan kepentingan penguasa bersama pemilik modal daripada memikirkan urusan rakyat.
Islam menjadi solusi tidak hanya masalah akhlak para generasi mudanya agar memiliki jati diri yang kuat, berlandaskan akidah yang menancap kokoh, tapi juga solusi berbagai permasalahan pendidikan, politik, ekonomi, sosial, militer dan hubungan internasional. Islam terbukti berhasil selama lebih dari 13 abad menyejahterakan seluruh umat dalam naungan Khilafah sampai kemudian runtuh oleh penguasa zalim Mustafa Kemal Ataturk ditahun 1924. Tak setuju dengan ide Khilafah itu pilihan, tapi kemudian memusuhi bahkan melakukan tindakan persekusi kepada yang menyuarakannya itu kejahatan. Apalagi sudah jelas bahwa Khilafah adalah ajaran Islam, yang bukan hanya shahih secara dalil syar’i namun juga masuk akal secara ilmiah ditengah ketidakpastian demokrasi.
Allah berfirman dalam QS An Nisa : 59 “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya) dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlaninan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikan ia kepada Allah (Alquran) dan Rasul (sunnahnya)….” Juga firman Allah dalam QS Albaqarah:30 “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah dimuka bumi”…..”. Jangan lupa juga bahwa dalam QS Al Baqarah: 208 Allah berfirman “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan, sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu”
Akademisi seharusnya bisa mempertahankan idealisme. Jika memang kontra dengan kebijakan rezim yang zalim, jangan pernah goyah demi kepentingan pihak tertentu. Apalagi empat (4) karakter akademis intelektual tadi (Agent of Change, Social Control, Moral Force dan Iron Stock ) sekarang sangat mahal. Hanya para akademis Ideologis yang menjadikan Islam sebagai satu-satunya pedoman agar teguh dan kokoh dalam kekritisannya. Karena memang Islam adalah agama yang lengkap dan sempurna sebagaimana firman Allah dalam QS Al Maidah:3 “…Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmatKu, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu…”
Wallahu’alam bi ash-shawab