Oleh: Linda Wijayanti, S.Pd.
#MuslimahTimes — Lombok terus menjadi pusat perhatian pasca gempa yang mengguncang Pulau Seribu sejak akhir Juli lalu. Tercatat ratusan gempa meluluh lantakkan bangunan-bangunan.Rumah yang retak-retak perlahan ambrol. Sedangkan bangunan yang sudah mulai ambrol, kini rata dengan tanah. Atap rusak, dinding-dinding jebol.Tiang-tiang tersungkur sebab tak mampu menopang beban akibat getaran gempa yang masih enggan berhenti.
Sementara itu, psikologis para korban gempa dipertaruhkan. Kepenatan melanda para warga karena hampir sebulan mereka tidur beratapkan tenda. Beralaskan tikar seadanya. Sementara, gigil terus menggelayuti sendi. Keterbatasan makanan pun kian menambah deretan duka para pengungsi. Hidup seadanya dan jauh dari kata layak. Mereka harus membuang jauh-jauh angan akan empuknya kasur serta hangatnya selimut.
Rentetan Gempa Bumi Menyisakan Lara
Rentetan gempa bum imengguncang pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB) sejak 25 Juli 2018 lalu. BMKG mencatat ada dua gempa utama yang dilanjutkan puluhan gempa susulan akibat naiknya sesar Flores. BNPB mencatat, hingga selasa (21/8) setidaknya tercatat 515 korban meninggal dunia (republika.co.id).
Kerugian ditaksir hingga angka Triliunan. Seperti dilansir dari Viva.co.id (27/8), Badan Nasional Penanggulangan Bencana atau BNPB memperkirakan, total kerugian pasca gempa yang terjadi di Lombok, Nusa Tenggara Barat, mencapai Rp 8,8triliun. Angka kerugian tersebu ttidak hanya meliputi kerugian fisik seperti infrastruktur saja.Melainkan juga aspek-aspek terkecil. Mulai dari gangguan akses hingga tidak berfungsinya sejumlah fasilitas.
Kerugian pun akan terus bertambah seiring perkiraan BMKG akan gempa susulan. Menurut BMKG, gempa belum akan berhenti hingga beberapa pekan yang akan datang. Akibatnya, aktivitas masyarakat belum bisa berjalan normal seperti sedia kala.Warga senantiasa was-was akan gempa susulan. Tidur tidak nyenyak, makan tidak enak.
Tidak hanya itu, air bersih pun terbatas .Anak-anak belajar di bawah pepohonan. Sedangkan para orang tua belum mampu memutar roda pereokonomiannya. Wargapun masih menggantungkan uluran tangan pemerintah serta para dermawan yang terketuk hatinya mendonasikan harta mereka.
Tidak hanya kerugian secara materiil. Kerugian yang paling merugikan bagi para pengungsi yang sedang terpasung oleh segala keterbatasan adalah pendangkalan aqidah. Dilansir dari temuan Tim Qadha Mashalih & MMC di Lombok, para misionaris turun tangan untuk membantu para korban. Sebetulnya uluran tangan mereka atas nama aksi kemanusiaan ini adalah lumrah. Namun celakanya, tidak hanya bantuan logistik saja yang mereka terima. Tetapi juga nyanyian berisi puji-pujian yang dapat menggerus iman sebagai terapi psikologi para korban.
Pencitraan Berita di Permukaan
Duka masih menyelimuti warga Lombok pasca gempa. Senyumpun seolah enggan mengembang di pipi-pipi anak-anak hingga orang dewasa. Penanganan korban di awal bencana pun masih tersengal-sengal oleh pemerintah daerah. Namu nmirisnya, pemberitaan penanganan korban berbanding terbalik. “Sudah tercover dan all out,” demikian pemberitaan yang beredar di permukaan.
Hal itu dialami oleh seorang relawan yang berprofesi sebagai guru SD. Dalam tulisannya, relawan asli penduduk pulau Seribu Masjid ini menyayangkan penggiringan arus opini yang ada di lapangan. Berita yang beredar seolah menggambarkan penanganan korban bencana oleh posko nasional sudah maksimal. Sehingga, saat dia meminta bantuan kepada donatur yang merupakan tokoh nasional. Relawan ini ditanya tentang daerah mana yang ditangani dan belum tercover. Sebab posko nasional sudah all out (RadarPribumi).
“Saya tidak menyalahkan orang yang beropini seperti itu. Tapi saya marah kepada pihak-pihak yang telah membentuk opini itu. Para Jubir, humas, media dan apa saja,” demikian tulisnya.
“Padahal baru kemarin saya terpaksa mengantarkan warga dusun terpencil Telaga Saguar, di kecamatan Bayan logistik dan terpal. Berangkat sore karena kemarin pagi sampai siang mengurus pengadaan terpal. Isteri sebetulnya tidak mengizinkan. Karena sudah sore dan baru saja terjadi gempa susulan yang lumayan besar, 6.2 SR. Tapi mengingat sudah berhari-hari mereka meminta terpal dan menceritakan bagaimana sulitnya di sana. Jangankan makanan, sekedar air saja sulit. Saya nekat pergi sore dan pulang malam. Malah saya mampir di Desa Anyar, pusat kecamatan, untuk sholat. Sekedar air wudhu saja tidak ada. Lalu di mana yang dikatakan all out?” (RadarPribumi).
Tangislah yang tumpah seketik amendapati realita yang berbanding terbalik dengankabar yang berhembus di atas permukaan. Pertanyaan yang menyayat sembilu ulu hati. Betapa tidak, relawan tersebut baru saja mengirimkan bantuan kepada korban gempa. Namun pemberitaan seolah berkata bahwa para korban telah tertangani dengan baik.
Menakar Sensitivitas Penguasa
Di tengah nasib para korban gempa yang belum tertangani secara maksimal oleh penguasa. Serta peningkatan status bencana nasional yang tidak kunjung tiba. Publik seolah dihipnotis dengan gegap gempitanya penyelenggaraan event Internasional bertajuk Asian Games. Upacara pembukaan yang diselimuti dengan pesta kembang api tersebu tmenghabiskan danaRp 685 Miliar (Tempo.Co).
Hal ini serasa timpang dengan dana yang dikucurkan pemerintah untuk para korban gempa yang baru mencapai angka 38 Miliar. Hal ini dilansir dari akun twitter Wasekjen Partai Demokrat Rachland Nashidik yang mempertanyakan kepekaan Pemerintah akan nasibkorban gempa (21/8/2018). Padahal, ratusan nyawa melayang. Belum lagi nasib ratusan ribu korban yang mengungsi jadi taruhan. Kerusakan infrastruktur pun turut menjadi PR yang musti diselesaikan. Betapa seolah langit dan bumi perbandingan antara dana yang digelontorkan untuk Asian Games dan korban gempa.
Tidak hanya itu saja, masyarakat seolah dihujani oleh rentetan kebijakan pemerintah yang tidak bijak dalam mengambil kebijakan. Betapa tidak, di tengah-tengah nestapa yang menderasa udara di Lombok, Presiden Joko Widodo mengumumkan kenaikan gaji bagi ASN, dalam pidato penyampaian keteranganpemerintah atas RAPBN 2019 beserta nota keuangannya di depan Rapat Paripurna DPR RI di Gedung MPR/DPR/DPD RI Jakarta, Kamis, 16 Agustus 2018.
PresidenJokoWidodomenyampaikanbahwaPemerintahakanmenaikkangajipokokdanpensiunpokokbagiaparatursipilnegara (ASN) termasukpegawainegerisipilatau PNS sertaparapensiunansebesar rata-rata lima persenpada 2019 (TEMPO.CO).
Luka ditaburi garam. Demikian ungkapan yang tepat atas pernyataan pemerintah yang kurang bijak dalam memandang situasi yang sedang terjadi. Luka belumlah kering, sudah ditimpa dengan berita yang menyesakkan dada para pengungsi korban gempa. Lantas, di manakah nurani penguasa berada?
Islam Memberi Solusi Tuntas Penanganan Bencana
Pemerintah memang mempunyai mekanisme dalam peningkatan status bencana daerah menjadi bencana nasional. Setidaknya ada lima variabel yang menjadi indikatornya, yaitu jumlah korban, kerugian harta benda, kerusakan sarana dan prasarana, cakupan luas wilayah yang terkena bencana dan dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan. Serta, jika pemerintah daerah dianggap masih mampu menangani permasalahan ini, maka status bencana nasional tidak akan diketok.
Namun demikian, sangat disayangkan adanya pernyataan Istana yang menyatakan bahwa penetapan bencana nasional akan merugikan sektor pariwisata yang ada (CNN Indonesia). Atas pernyataan tersebut, penguasa terlihat lebih mementingkan citra di mata dunia daripada harus bekerja keras membantu kebutuhan rakyatnya. Seharusnya, pemerintah tidak berbicara tentang untung rugi dengan rakyatnya. Sebab pemerintah dengan rakyatnya bukanlah pedagang dengan konsumennya. Pemerintah dan rakyatnya sejatinya merupakan raindan junnah.
Ar Rainartinya bahwa seorang kepala Negara merupakan orang yang mengatur kehidupan masyarakatnya. Sedangkan junnahartinya, pemerintah merupakan perisai yang mampu melindungi dan mengayomi rakyatnya. Pemerintah merupakan pelindung dari kedzaliman dan penangkal dari keburukan yang mendera rakyatnya. Penguasa mau mendengarkan keluh kesah dan mampu menyelesaikan masalah yang mengungkung rakyatnya. Serta memiliki prioritas dalam menyelesaikan masalah bencana dibandingkan pencitraan nama baik dunia. Jika sifat ini dimiliki penguasa saat ini, tidak mungkin akan ada kebijakan yang menabur garam di atas luka yang menganga.