Oleh: Shafayasmin Salsabila*
Ngelunjak. Dipai ati ngerogoh ampela (dikasih hati malah meminta ampela). Inilah yang tengah terjadi di negeri mayoritas muslim, Indonesia. Ketika pengagungan akan Hak Azasi Manusia (HAM) dan dalih toleransi menjadi senjata ampuh bagi siapapun yang hendak menggugat ayat-ayat Tuhan (baca: aturan Islam, red).
Menyembul kembali kasus penodaan agama. Dilakoni oleh Meiliana, warga Tanjungbalai, Medan. Wanita berusia 44 tahun ini, menjalani persidangan di Pengadilan Negeri Medan karena mengeluhkan pengeras suara azan yang dianggapnya terlalu keras. (Jawapos.com, 23/8/2018)
Masalah berikutnya adalah, reaksi jungkir balik dari kalangan tertentu. Pembelaan tak tepat sasaran, dengan pandangan dipenuhi air mata, seakan vonis pengadilan adalah satu bentuk kesewenang-wenangan, berlebihan bahkan sebagai tindakan kiriminal itu sendiri.
“Menghukum seseorang hingga 18 bulan penjara karena sesuatu yang sangat sepele adalah ilustrasi gamblang dari penerapan hukum penodaan agama yang semakin sewenang-wenang dan represif di negara ini,” kata Direktur Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid dalam siaran persnya yang dikutip dari amnestyindonesia.org, Rabu, (22/8/2018).
Hal yang serupa datang dari Komisioner Komnas Perempuan Khariroh Ali menyayangkan vonis terhadap Meiliana. Ali menegaskan, dari catatan dan analisis Komnas Perempuan, kasus ini adalah bentuk kriminalisasi terhadap Meilana.
“Komnas Perempuan memandang bahwa proses hukum pada Ibu Meiliana jangan sampai menjadi proses peradilan yang tidak adil, di mana proses hukum pada seseorang didasarkan bukan pada pelanggaran/kejahatan yang dilakukan, tetapi karena adanya tuntutan massa. Ini jelas bentuk kriminalisasi,” ujar Khariroh kepada Republika, Sabtu (25/8).
Bahkan belum cukup sampai disitu, saran yang berbahaya pun mengemuka.
Khariroh mengatakan, sebagai salah satu solusi, pemerintah dan DPR harus segera merevisi UU Nomor 1/PNPS/1965. Sebab, warga negara Indonesia seperti Meliana dan keluarganya sebagai minoritas sangat rawan didiskriminasi.
Sementara itu Wakil ketua Umum MUI Zainut Tauhid Sa’adi mengatakan kalau masalah Meiliana hanya sebatas keluhan pengeras suara azan, tidak akan sampai masuk wilayah penodaan agama.
“Tetapi sangat berbeda jika keluhannya itu dengan menggunakan kalimat dan kata-kata yang sarkastik dan bernada ejekan maka keluhannya itu bisa dijerat pasal tindak pidana penodaan agama,” ujar Zainut Tauhid, Jumat (24/8).
Zainut menyampaikan, kasus yang dialami Meiliana pernah terjadi juga terhadap Rusgiani (44) yang dipenjara 14 bulan karena menghina agama Hindu. Ibu rumah tangga itu, menyebut canang atau tempat menaruh sesaji dalam upacara keagamaan umat Hindu dengan kata-kata najis. Serta kasus penistaan agama yang dialami Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) di Jakarta. (Liputan6.com, 25/8/2018)
Keadilan Bagi Mayoritas
Dunia seperti menahan tawa. Bagaimana tidak, hukum alam berbicara, yang banyak pasti akan mendominasi. Mayoritas pasti lebih bertaring daripada minoritas. Yang kuat menindih yang lemah. Ini semestinya. Tapi tidak berlaku di Indonesia. Menurut hasil sensus tahun 2010, 87,18% dari 237.641.326 penduduk Indonesia adalah pemeluk Islam. Faktanya, Muslim malah menjadi tersalah. Parahnya, diantara yang menuding adalah sebagian dari Muslim itu sendiri.
Dengan dalih toleransi dan pembelaan terhadap minoritas, nasib Muslim menjadi tragis. Tersudutkan dan dituduh intoleran. Mari kita segarkan pikiran. Buka mata, lihat realita. Muslim di Indonesia tidak pernah sedikitpun melakukan tindakan penghalangan saat agama lain melaksanakan ritual ibadahnya. Siapapun bebas beribadah. Pernahkah mencuat kasus, pemuka agama mereka terkena persekusi? Adakah label teroris melekat pada pelaku gerakan separatis di Papua yang notabene agama mereka bukan Islam? Adakah Muslim membuat karikatur Tuhan mereka? Atau menistakan kitab suci mereka? Jawabannya adalah tidak. Tidak ada.
Sebaliknya, persekusi, label teroris, penghinaan kitab suci menimpa agama terbesar di negeri ini. Wajar bila terkekeh geli. Mayoritas namun diperlakukan bak minoritas. Jadi sedang bersembunyi di manakah keadilan? Mengapa minoritas sedemikian sangar dan tak henti menantang penuh kepongahan? Apakah haibah (wibawa) kaum Muslim sudah terjun bebas menuju level paling rendah?
Uji Kewarasan
Mari kembali berpikir sehat. Sebenarnya isu mayoritas dan minoritas tak layak untuk dipergunjingkan, digosok hingga mempertajam perpecahan.
Membuka kembali sejarah awal kejayaan Islam di Madinah. Saat itu, Islam menjadi mayoritas dan memiliki otoritas untuk mengatur seluruh keberagaman warganya. Apa yang tertoreh oleh tinta emas adalah keadilan serta potret kedamaian. Bagaimana Rasul amat memperhatikan kebaikan dan pemenuhan kebutuhan penduduk Madinah tanpa memandang agama, suku, bangsa, ras atau jenis kelamin. Selama mereka patuh kepada hukum positif yang diberlakukan Rasul, maka harta, jiwa, raga dijamin tanpa diminta.
Empat belas abad, terbaca kiprah pesona Pemerintahan Islam. Masih di masa Rasul, pernah terjadi perselisihan tentang kepemilikan tanah dengan orang Yahudi. Siapa yang dimenangkan atas kasus ini? Yahudi. Bahkan Ali sebagai seorang pemimpin dan panglima perang yang tersohor, pernah dikalahkan dalam persidangan melawan orang Yahudi. Hal yang sama dialami oleh Sang Penakluk Konstantinopel, Sultan Muhammad Al Fatih. Al Fatih divonis oleh Mahkamah Syariat agar tangannya dipotong. Vonis itu dikeluarkan oleh qadhi, karena Sultan Al Fatih memerintahkan memotong tangan seorang insiyur Romawi. Hebatnya, kasus ini berujung pada ending yang membahagiakan dan penuh keharuan. Keadilan seperti apa lagi yang tidak diwujudkan oleh Islam? Maka menjadi sangat salah ketika Islam dipersalahkan dan dituding intoleran.
Adapun masalah azan. Perlu adanya edukasi di tengah masyarakat tentang hakikat syariat yang satu ini. Bahwa azan adalah panggilan. Lumrah jika suaranya dikeraskan. Dan bukan hanya sebatas panggilan, azan pun merupakan syiar dalam islam. Ajakan kepada jiwa-jiwa yang lalai untuk kembali mengagungkan satu Tuhan. Edukasi ini akan meluas seumpama dakwah kian masif dan tidak dihalang-halangi.
Jika saat ini terasa superioritas dipegang oleh minoritas, maka sungguh kejanggalan tengah terjadi. Apakah alasannya senyata hadis Rasulullah Saw, tentang pengibaratan kelemahan Muslim selayak buih di lautan? Banyak namun tanpa kedahsyatan.
Umat Muslim adalah umat terbaik diantara seluruh umat yang mendiami bumi. Tak layak disakiti di rumah sendiri. Bahkan diusir-usir sesuka hati. Tentu ada sebab mengapa kewarasan mati.
Racun Kebebasan
Sekaratnya kewarasan, terkait erat dengan sistem kehidupan yang mencengkram negeri ini. Bernafaskan kebebasan, lahir dari gagasan sekularisme. Laku manusia diserahkan kepada kehendak pribadi. Ajaran agama absen dari membatasi nafsu serta hasrat kebendaan. Mewujudlah karakter ‘berani’ demi memuaskan definisi bahagia semu. Menjamur pula manusia anti agama. Atau benih-benih Islamofobia (alergi dengan ajaran Islam). Kenapa? Karena Islam menjadi lawah bagi syahwat yang diumbar.
Siapapun bisa membayangkan kegaduhan yang merebak saat tiap individu berebut memaksakan kebebasan versi masing-masing. Yang terjadi adalah benturan. Perang ego serta kebinasaan. Bukan hanya sebatas binasa di dunia berikut musnah pula kebahagiaan di akhiratnya. Tersisa siksa tanpa jeda, tak kenal masa ada asa.
Pada akhirnya, cukuplah untuk mengembalikan kewarasan dengan satu pertanyaan. Apakah benar, surga yang dirindukan? Jawabannya akan menjadi anti racun bagi kebebasan. Bukan berarti pilihan ada pada kepasrahan untuk dikekang. Namun kepada konsep keselarasan. Islam itu menyelaraskan. Mengatur pemenuhan kebutuhan hidup manusia dengan penuh perhitungan matang. Agar tidak terjadi ketimpangan dan kerusakan bahkan kepunahan. Betapa indah sistem Islam, seumpama diterapkan. Ramhat tersemat, hilanglah penat.
Jangan lagi menyerang Islam dengan isu intoleran dan bar-bar. Karena hanya orang yang menghindari kewarasan sajalah, yang termakan bualan. Wallahu a’lam bish-shawab. [el]
*Penulis adalah pengaruh MCQ Sahabat Hijrah Indramayu