Oleh. Hana Annisa Afriliani,S.S
Penulis Buku “Menikah Rasa Jannah”
#MuslimahTimes –– Penikahan semestinya menjadi janji suci sampai maut memisahkan. Namun apa mau dikata, perceraian kerap harus menjadi jalan bagi sepasang suami istri demi menyudahi berbagai polemik. Hampir di sebagian besar wilayah di Indonesia, angka perceraian semakin meningkat setiap tahunnya.
Sebagaimana yang terjadi di Karawang, menurut data Pengadilan Negeri Karawang periode Januari hingga Juli 2018 tercatat adanya 1.201 permohonan gugat cerai dari pihak istri. Sedangkan talak cerai dari suami sebanyak 434 pengajuan.
Uniknya, media sosial pun memiliki andil atas penyebab perceraian tersebut. Sebagaimana di ungkapkan oleh Panitera Muda Hakim Pengadilan Agama Karawang, Abdul Hakim, Ia mengatakan bahwa sesuai dengan pembuktian dalam persidangan kasus perceraian di Pengadilan. Agama Karawang, cukup banyak pasangan suami-istri bercerai karena kecemburuan yang bermula dari pertemanan di media sosial.(Antaranews.com/09-09-2018)
Tak hanya itu, Pengadilan Agama Manna, Kabupaten Bengkulu Selatan, Provinsi Bengkulu, juga mencatat angka perceraian hingga pertengahan tahun ini mencapai 447 kasus, dan sebagian besar di antaranya dipicu penggunaan media sosial yang kurang bijak. (Antaranews.com/07-07-2018)
Sungguh memprihatinkan. Inilah potret memilukan yang terjadi saat kemajuan teknologi tak diiringi dengan kepahaman terhadap ilmu agama. Akhirnya semua dilakukan seolah tanpa batasan. Menjalin pertemanan di media sosial adalah sah-sah saja, namun akan menjadi petaka saat kita tak memahami rambu-rambunya.
Apalagi bagi seorang muslim, keterikatannya pada hukum syara adalah harga mutlak, termasuk dalam bermedia sosial. Sungguh Islam telah mengatur bagaimana semestinya laki-laki berinteraksi dengan perempuan yang bukan mahramnya. Ini tak hanya berlaku di dunia nyata saja, tapi juga di dunia maya.
Islam melarang laki-laki dan perempuan untuk membuka interaksi dalam hal-hal yang tidak dibenarkan oleh syariat. Adapun syariat membolehkan interaksi antara laki-laki dan perempuan, yakni dalam muamalah dan ta’awun (tolong-menolong) saja. Contohnya, berjual beli, sewa menyewa, jasa, dll. Itupun harus tetap berpegang teguh pada hukum syariat, yakni kedua belah pihak harus sama-sama menutup auratnya dengan sempurna, tidak boleh memandang dengan syahwat, dll. Maka, sebagai bentuk penjagaan terhadap kaum perempuan dari bangkitnya syahwat lelaki adalah Islam melarang menonjolkan kecantikannya (tabaruj) kecuali di hadapan suami mereka saja.
Dalam konteks media sosial, yang biasanya menjadi pemicu pertengkaran dalam rumah tangga adalah faktor kecemburuan. Bisa jadi berawal dari adanya saling puji lewat komen hingga berlanjut ke perkenalan lewat chatting. Maka, setiap pengguna media sosial semestinya bijak dalam pemakaiannya. Khususnya bagi muslimah, sebaiknya tidak memajang foto diri yang menonjolkan kecantikan, misalnya foto dengan dandanan menor, membuka aurat, menarik lawan jenis (foto selfie). Hal ini sebagai bentuk kehati-hatian dan upaya penjagaan atas kehormatan diri. Karena secara fitrahnya, setiap lekuk tubuh perempuan memancarkan kecantikan.
Selain itu, Islam melarang laki-laki dan perempuan untuk berdua-duaan(khalwat) tanpa di sertai mahram. Ini juga berlaku di dunia maya. Haram hukumnya chatting berduaan dengan lelaki non mahram, karena hal tersebut terkategori khalwat.
Sungguh jelaslah bahwa pengaturan Islam terhadap pergaulan laki-laki dan perempuan adalah bentuk penjagaan atas kehormatan mereka, serta menghindarkan keduanya dari fitnah. Jika hal itu dilaksanakan dalam kehidupan, tentu akan membawa kebaikan bagi manusia. Lebih-lebih di era media sosial ini, jika mengabaikan rambu-rambu syariat Islam dalam bergaul, niscaya kita akan terjerumus pada petaka di dunia dan kehinaan di akhirat. Wallahu’alam.