Oleh Iiv Febriana
(Anggota Komunitas Rindu Syariah)
#MuslimahTimes –– Berbagai upaya dilakukan oleh Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) terkait isu peyebaran paham radikalisme di kampus-kampus seluruh Indonesia. Sebelumnya BNPT bahkan sempat membuat heboh publik dengan mengeluarkan daftar 7 nama kampus di Pulau Jawa yang terpapar ide radikalisme. (liputan6.com). Namun anehnya penangkapan terduga teroris oleh Densus 88 Antiteror tanggal 2 Juni 2018 lalu malah terjadi di Unversitas Riau, Pekanbaru.
Oleh karena itu, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) berupaya memperkuat sinergi dengan Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek Dikti), serta lembaga perguruan tinggi di Indonesia untuk melindungi kampus dari radikalisme dengan mengadakan Rapat Koordinasi Penangkalan Paham Radikalisme di Perguruan Tinggi yang digelar Kemenristek Dikti di Jakarta, Senin 25 Juni 2018.
Kepala BNPT Komisaris Jenderal Polisi Suhardi Alius menyampaikan bahwa pihaknya mempunyai bukti-bukti terkait banyaknya komunitas kampus yang terlibat dalam penyebaran ide radikalisme mulai dari mahasiswa, dosen hingga guru besar. Ketika ditanya mengenai definisi radikalisme Suhardi membatasi makna radikalisme pada yang bersifat negatif. Dia mengatakan “Radikalisme negatif yang kita maksud di sini, yakni radikalime yang mana menganut paham-paham intoleransi, takfiri, anti-NKRI dan anti-Pancasila. Itulah yang harus kita sikapi sekarang ini,” ujarnya (Sindonews.com).
Radikalisme di Kampus, Fakta atau Hoax?
Pengamat terorisme sekaligus Direktur The Community Ideological Islamic Analyst (CIIA), Harits Abu Ulya mempertanyakan parameter radikal yang dimaksud BNPT. “Karena selama ini ada over simplikasi soal relasi radikalisme pemikiran dengan aksi terorisme. BNPT saya lihat radikalisme pemikiran dianggap menjadi akar terorisme dan konklusi ini sangat debatable,” kata Harits kepada Okezone, Minggu (27/6/2018).
Harits menjelaskan, radikalisme merupakan sebuah fenomena kompleks yang lahir dari beragam faktor. Dia membeberkan tiga faktor pemicu terorisme yakni domestik, internasional dan realitas kultural.
“Faktor domestik seperti kesenjangan ekonomi, ketidakadilan, marginalisasi, kondisi politik dan pemerintahan, sikap represif rezim yang berkuasa, kondisi sosial yang sakit,dan faktor lain yang melekat dalam karakter kelompok dan budaya,” kata Harits.
Faktor internasional adalah adanya ketidakadilan global, politik luar negeri yang arogan dari negera-negara kapitalis seperti Amerika Serikat. “Imperialisme fisik dan nonfisik dari negara adidaya di dunia Islam, standar ganda dari negara super power dan sebuah potret tata hubungan dunia yang tidak berkembang sebagaimana mestinya,” ujar Harits.
Kemudian faktor realitas kultural yang melahirkan terorisme sering timbul pada subtansi atau melalui teks-teks ajaran sebuah agama yang interpretasinya cukup variatif.
Yang menjadi kekhawatiran adalah saat radikalisme dijadikan legitimasi untuk membungkam kekuatan mahasiswa. Dimana pada masa lalu mereka masih memilki kepekaan sosial dengan idealisme tinggi ketika melihat sesuatu yang tidak baik maka mereka akan berusaha dengan segenap kekuatan yang mereka miliki untuk memberikan sumbangan terbaiknya bagi masyarakat dan negara baik dalam bentuk aktifitas fisik maupun pemikiran. Namun saat ini idealisme seakan harus disuapkan terlebih dahulu sehingga bergantung kepada siapa yang meyuap dan apa kepentingannya.
Peran Politik Pemuda
Tak bisa dipungkiri energi yang dimiliki para pemuda berupa fisik yang kuat, perasaannya yang peka serta pemikirannya yang tajam mampu menggoncang dunia. Sehingga tidak berlebihan jika dikatakan hancur dan suksesnya sebuah bangsa tergantung kepada para pemudanya. Namun faktanya saat ini dengan sistem pendidikan sekuler yang memisahkan ruh islam dari sistem pendidikan menghasilkan produk anak didik yang bussiness oriented,yang penting bagi mereka hanyalah bagaimana lulus kuliah dan segera mendapat pekerjaan.
Politik realitanya berhubungan dengan masalah mengatur urusan rakyat dan peran pemuda sebagai motor penggerak utama perubahan maka harusnya mereka memiliki kesadaran terhadap masalah politik, atau dengan kata lain “melek” politik. Sedangkan islam sendiri memiliki cara yang khas dalam menjalankan roda kehidupan termasuk di dalamnya urusan politik, yaitu berdasarkan Al Quran dan Al Hadits. Dalam perjalanan hidupnya Islam menanamkan ketakwaan sejak dini sehingga segala aktifitas seorang muslim memiliki standard baku yang jelas bukan karena hawa nafsunya. Oleh karena itu peran pemuda dalam politik juga harus dilandaskan pada Islam.
Politik tidak bisa dipisahkan dari agama karena landasan hidup seorang manusia harus kembali pada SOP yang telah diturunkan oleh Dzat yang meciptakan dirinya dan alam semesta, yaitu Al Quran dan As Sunnah. Jika tidak menggunakan aturan dari Sang Pencipta maka politik dan seluruh urusan manusia akan mengikuti hawa nafsu satu atau sebagian manusia yang lain seperti yang tampak saat ini. Istilah politik itu kotor sehingga jangan mencampur adukkan agama di dalamnya adalah sebuah pembodohan yang harus diluruskan. Logikanya jika kita menghindari politik karena ia kotor maka jangan heran jika urusan kita diatur oleh orang-orang yang kotor yang tidak akan pernah memberikan ketenangan dalam hidup kita. Sudah saatnya pemuda bangkit dan menjadi agen utama perubahan masyarakat.
======================
Sumber Foto : Pemuda Radikal Paksa Kemerdekaan (detikX)