Oleh : Mardhiyyah
(Pembina Majelis Taklim)
#MuslimahTimes –– Menjelang tahun politik 2019, saat ini rakyat sudah mulai menimbang–nimbang siapa yang akan dipilih dalam pemilu mendatang. Kampanye terselubung dari para calon pun sudah dimulai untuk meraih suara ummat, terlebih suara ummat Islam yang merupakan mayoritas di negeri ini. Karena dalam demokrasi keputusan apapun terlebih penentuan pemimpin akan ditentukan berdasarkan suara terbanyak.
Berbagai carapun dilakukan untuk mencapai kemenangan, termasuk diantaranya adalah dengan menggandeng ulama, baik secara langsung menjadi calon, atau sebagai legitimasi dari calon yang diusung. Hal ini dikarenakan ulama adalah panutan ummat. Jika ulama menyampaikan fatwa untuk memilih satu calon tertentu, maka ummatpun sami’naa wa atho’naa, tunduk patuh pada fatwa atau seruan ulama.
Menyadari akan peran penting ulama di tengah masyarakat, maka ditetapkanlah calon wakil presiden dari ulama nomer 1 (satu) di negeri ini sekaligus pemimpin MUI (Majelis Ulama Indonesia) serta pemimpin ormas Islam terbesar di negeri ini.
Menyadari akan hal ini pula, maka lahirlah ijtima’ ulama jilid 1 dan ijtima’ ulama jilid 2, yang akan mendukung calon yang lain (oposisi) . Sebagaimana dilansir oleh, REPUBLIKA.CO.ID, Ijtima Ulama II secara resmi menyatakan dukungan kepada pasangan bakal calon presiden-wakil presiden Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, setelah ditandatangani pakta integritas oleh mantan Danjen Kopassus tersebut. Prabowo tiba sekitar pukul 13.00 WIB saat sidang pleno Ijtima Ulama II masih berlangsung, Ahad (16/9), dan menandatangani pakta integritas tersebut sekitar pukul 14.30 WIB.
Walaupun jadwal kampanye belum dimulai, nampaknya dua kubu sudah mulai saling menyerang. Dari kubu yang menolak ijtima ulama tersebut, dikatakan bahwa ijtima ulama tidak mewakili ulama, karena tidak diadakan oleh MUI. Ketua DPP PDIP Hamka Haq mengatakan, rekomendasi memilih capres-cawapres yang akan dikeluarkan dalam Ijtima Ulama tidak mewakili semua Ulama di Indonesia (Republika.co.id).
Pernyataan tersebut menanggapi Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Ulama (GNPF) yang akan menggelar Ijtima Ulama II pada Ahad (16/9) mendatang. “Sebenarnya yang berhak atas nama ulama adalah Majelis Ulama Indonesia (MUI). Ini tidak dapat dikatakan sebagai Ijtima Ulama karena hanya sebagian Ulama” kata Hamka saat dihubungi, Jumat (14/9) malam. Sebagai tandingan ijtima’ ulama pendukung partai oposisi diadakan pertemuan ratusan ulama untuk mendukung sang calon dari kubu petahana. Deklarasi dukungan untuk Jokowi-Ma’ruf ini disinyalir dihadiri sekitar 400 kiai dan pengurus pondok pesantren pada pemilu 2019 mendatang (AntaraNews).
Melihat fakta ini jelas lah bahwa ulama dijadikan sebagai legitimasi kepentingan penguasa atao kelompok tertentu.
PERAN ULAMA DALAM POLITIK
Ulama adalah pewaris para Nabi, al umala’u waratsatul anbiya’, seharusnya ulama tidak akan tergiur dengan apapun yang bersifat duniawi. Peran penting ulama adalah menjaga Islam dan penerapannya. Ulama berkewajiban membina akidah, ibadah dan pemahaman syariah kepada ummat.
Ulama akan mengawal penerapan syariah ditengah tengah kehidupan. Oleh karena itu Ulama akan senantiasa berupaya mencerdaskan ummat tentang persoalan–persoalan utama dalam kehidupan serta menunjukkan kepada ummat tentang solusi Islam dalam menyelesaikan persoalan yang terjadi. Sehingga ummat faham tentang urusannya.
Tugas ulama uga memberikan pembinaan kepada para penguasa tentang urusan politik yaitu riayatus su’uni ummat, -pengaturan urusan ummat/rakyat- maka ulama akan memahamkan para penguasa dalam pengaturan urusan rakyat dengan aturan Islam.
Peran inilah yang seharusnya dimiliki oleh para ulama, sehingga didapatkan negara yang baik, yang mampu mewujudkan kesejahteraan pada seluruh rakyatnya.
==============================
Sumber Foto : Viva