Oleh : Triana Arinda Harlis
(Alumni Perencanaan Wilayah Kota UGM)
#MuslimahTimes –– Data Global Competitiveness Index 2017 menunjukkan indeks daya saing infrastruktur Indonesia pada 2017-2018 berada di urutan ke-52, naik 10 peringkat dari posisi sebelumnya 62 di periode 2015-201. Demikian isi laporan yang dipublikasikan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Prestasi ini mendongkrak indeks daya saing global Indonesia di kancah dunia. Periode 2017-2018, indeks daya saing global Indonesia lompat lima peringkat ke posisi 36 dari sebelumnya 41 di periode 2016-2017.
Pemerintah mengatakan bahwa prestasi Indonesia ini merupakan hasil pembangunan infrastruktur selama tiga tahun terakhir yang menghabiskan dana Rp 985,2 triliun. Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menilai besarnya anggaran infrastruktur dan naiknya indeks daya saing infrastruktur hanya menunjukkan keberadaan pembangunan. Lebih dari itu perlu adanya evaluasi mengenai arah pembangunan infrastruktur yang telah dilaksanakan.
Catatan Kritis Prioritas Pembangunan Infrastruktur
Selama ini penentuan prioritas pembangunan infrastruktur selalu dikaitkan dengan pertumbuhan ekonomi dan investasi. Prioritas pembangunan infrastruktur ditetapkan pada infrastruktur yang memberikan multiplier effect yang tertinggi, sayangnya hal itu diukur dari perhitungan angka-angka ekonometrik. Minim pertimbangan sosial bahkan kemanusiaan. Tengok saja keterangan Menteri Keuangan Sri Mulyani yang mengatakan bahwa kenaikan peringkat Indonesia ini menggambarkan Indonesia merupakan negara yang menarik untuk berinvestasi sebagai faktor penting bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Dengan kenaikan peringkat daya saing tersebut, diharapkan mampu meyakinkan para investor untuk lebih banyak berinvestasi di Indonesia.
Tak jarang pula, prioritas pembangunan infrastruktur diukur dari agenda-agenda internasional yang akan dihelat oleh nagara. Atau negara yang menjadi tuan rumahnya. Sea Games, Asian Games, Annual Meeting, dll mendorong disegerakannya suatu pembangunan infrastruktur di tengah kebutuhan wilayah lain yang mendesak untuk segera mengejar ketertinggalan infrastruktur.
Pembangunan infrastruktur juga berlari didorong ambisi pemerintah mencapai prestasi internasional. Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono mengatakan, pemerintah masih akan terus menggenjot proyek pembangunan agar indeks infrastruktur negara pada 2018-2019 bisa terus meningkat. “Target kita, minimal pada 2019 menjadi peringkat 40,” ucapnya. Walhasil pembangunan infrastruktur diarahkan pada kuantitas dan pertumbuhan bukan menitikberatkan kebutuhan dan pemerataan.
Pembangunan yang berorientasi pertumbuhan ekonomi dan ambisi prestasi internasional mengakibatkan pembangunan infrastruktur selama dua tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) masih terpusat di Pulau Jawa atau Jawa sentris (Ja’far, 2017). Buktinya, separuh lebih dari total investasi nasional pada periode itu digunakan untuk membiayai pembangunan di Jawa. Peneliti Indef Bhima Yudhistira Adhinegara memaparkan nilai investasi 54,5% di Pulau Jawa bernilai Rp 162,7 triliun. Sementara investasi di Sumatera senilai Rp 61,9 triliun (20,9%), disusul Kalimantan senilai Rp 32,3 triliun (10,9%).
Sayangnya, kota-kota besar yang sudah dianakemaskan dalam pembangunan infrastruktur pun masih mengalami masalah dalam hal kualitasnya. Infrastruktur yang ada belum mencapai tingkat daya dukung terhadap pertumbuhan penduduk yang pesat beserta segala aktivitas kehidupannya.
Buruknya infrastruktur sanitasi pembuangan limbah rumah tangga di Jakarta contohnya, melahirkan slogan baru Jakarta Darurat Tinja. Dari 2,5 juta meter kubik volume tinja yang dihasilkan di Jakarta hanya 3,8 % yang masuk ke dalam saluran IPAL. 20 % nya masuk ke dalam septic tank rumah tangga. 80 % volume tinja itu dibuang ke selokan atau sungai.
Tak hanya infrastruktur kewenangan pusat, infrastruktur daerah pun tak memiliki prioritas yang jelas. Tak sedikit masyarakat mencium aroma balas budi politik dalam pembangunan infrastruktur. Kepala daerah menentukan pembangunan infrastruktur prioritas berdasarkan wilayah dapil atau lumbung suara yang telah memenangkannya. Dapil-dapil yang memenangkan calon lain diganjar dengan pembiaran infrastruktur yang rusak.
Standar Infrastruktur Prioritas
Infrastruktur merupakan aset fisik yang dirancang dalam sistem sehingga memberikan pelayanan publik yang penting, yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia baik kebutuhan sosial maupun kebutuhan ekonomi. Seharusnya pertimbangan pembangunan infrastruktur prioritas disandarkan pada kebutuhan masyarakat terhadapnya.
Kebutuhan dasar manusia yang disebut primer terdiri dari kebutuhan individual dan sosial. Kebutuhan primer individual meliputi sandang, pangan, dan papan masing-masing rakyat. Adapun kemanan, pendidikan dan kesehatan merupakan kebutuhan primer kolektif sosial. Negara wajib memastikan semua kebutuhan tersebut terpenuhi dengan adanya sistem infrastruktur yang memadai. Jika ada kebutuhan baik individual maupun kolektif sosial yang tak terpenuhi disebabkan ketiadaan infrastruktur atau jeleknya kondisi infrastruktur tersebut, maka inilah yang dipandang sebagai infrastruktur prioritas.
Konsep infrastruktur prioritas ini akan dapat memeratakan pembangunan karena sebagian besar wilayah yang memerlukan infrastruktur prioritas berada di luar Jawa bahkan di pelosok-pelosok negeri. Pembangunan infrastruktur prioritas di wilayah tersebut akan membuka lapangan pekerjaan. Secara tidak langsung dan jangka panjang akan menekan arus urbanisasi karena terserapnya tenaga kerja dan terpenuhinya kebutuhan dasar di daerah dengan mudah.