Oleh: Ummu Ilmira
“Bun, ayah mana?” sambil merajuk anak semata wayangku menanyakan keberadaan ayahnya.
“Ayah kan sudah berangkat kerja, sayang.”
“Kenapa Ayah kerja terus Bun, Mia mau main sama Ayah” lagi-lagi Putri kecilku protes.
“Mia udah lama ga ketemu Ayah, Mia mau Ayah” tambah lantang suara tangis anakku yang tak kuat menanggung rindu pada Ayahnya.
Ya, memang sangat wajar jika kerinduan itu memuncak. Pasalnya, hanya sekitar satu kali seminggu saja kami bisa bercengkrama bersama, itupun kalau sang Ayah tidak kecapaian. Saya yakin dialog pagi hari kami, juga terjadi pada keluarga lain, yang rerata bernasib sama. Hari-hari berlalu hanya dengan Ibu, dimanakah sosok Ayah?
Sebelum ayam berkokok, ayah sudah bersiap membersihkan diri, sarapan yang terlalu pagi karena sambil menunggu kumandang adzan subuh, selesai sholat langsung memburu stasiun kereta, berdesakan hingga tak jarang Ayah berdiri sampai-sampai kaki kesemutan karena penuh sesaknya kendaraan sejuta umat tersebut.
Setibanya ditempat kerja langsung berkutat dengan setumpuk dokumen, diselingi meeting dengan karyawan lain, waktu makan siangpun sering terlewat. Begitu kerasnya perjuangan Ayah untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, bahkan tak jarang waktu weekend-pun harus dihabiskan untuk lembur.
Inilah potret ayah masa kini, dimana seorang ayah dituntut untuk mengorbankan hampir seluruh waktunya untuk bekerja dan bekerja, mengapa sampai harus sekeras itu ayah mencari nafkah?
Diantara banyaknya alasan, yang paling menganga besar adalah karena harga untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari tidaklah murah. Tengoklah biaya perdapuran, harga sembako kian hari kian meroket. Belum lagi biaya pendidikan, meski sudah banyak program sekolah gratis namun pada faktanya ada saja pembayaran tambahan yang juga semakin mengempiskan biaya tabungan. Apalagi jika berbicara masalah kesehatan, meski ada jaminan kesehatan tetap saja kita tidak bisa lepas dari iuran bulanan, sakit ataupun tidak.
Kebutuhan pokok lainnya yang tidak kalah harus diprioritaskan oleh ayah adalah penyediaan tempat tinggal termasuk biaya renovasinya. Dalam sebuah rumah tangga, hunian yang nyaman adalah dambaan setiap keluarga. Namun untuk merealisasikannya tak sedikit ayah yang harus terjerat dosa riba, melalui KPR.
Sebuah fakta yang miris dirasakan. Karena dengan tuntutan yang sebegitu kerasnya pada akhirnya menghilangkan peran ayah sebagai pendidik bagi keluarga terutama mendidik anak laki-laki. Mengajarkannya sholat, membiasakan sholat di masjid, menjelaskan kewajiban bersunat, memahamkan proses baligh, dan menjelaskan kewajiban-kewajiban pasca baligh. Tentunya semua ini akan lebih mudah jika ayah yang berperan sebagai guru bagi anak laki-laki kita.
Dalam sistem kapitalis mau tidak mau, peran ayah sebagai pendidik dalam keluarga pun harus terkorbankan. Dengan tiadanya waktu yang cukup bagi ayah, jangankan sebagai pendidik sekedar bercengkrama bersama keluarga pun menjadi aktivitas langka.
Dalam Islam, seorang ayah tetap harus bekerja mencari nafkah, memenuhi semua kebutuhan hidup keluarganya, jika ada yang lalai maka akan diingatkan agar tidak berdosa, dan difasilitasi jika sulit memperoleh pekerjaan.
Beruntungnya pemenuhan kebutuhan yang harus dicukupi oleh ayah hanya sebatas untuk memenuhi sandang, pangan, dan papan saja. Untuk masalah pendidikan, kesehatan, dan yang lainnya sudah dijamin oleh negara, karena negara paham bahwa terdapat kewajiban-kewajiban yang menjadi tanggung jawab negara dan peran-peran dalam keluarga tetap berjalan sebagaimana mestinya, dan ayah tidak perlu menghabiskan waktu di tempat ia bekerja.
Agaknya dalam memperingati hari ayah Nasional yang jatuh pada tanggal 12 November mendatang, masih banyak yang harus diperjuangkan. Terutama hak dan kewajiban bagi ayah, sosok utama dalam sebuah keluarga.