Oleh: Heni Yuliana
(Pemerhati masalah sosial, Revowriter Karawang)
#MuslimahTimes — Alih fungsi lahan pertanian ke lahan nonpertanian berlangsung jor-joran. Pemerintah akan membangun Transit Oriented Development(TOD) kereta cepat Jakarta-Bandung di kecamatan Teluk Jambe Timur Karawang.
TOD Kereta Cepat Jakarta-Bandung di Karawang rencananya akan dibangun di Desa Wanakerta dan Desa Wanasari seluas 250 hektar.
Dimana 230 hektar diantaranya merupakan areal pertanian dan sempadan Sungai Ciketing dan Sungai Cibaregbeg di Desa Wanakerta dan Wanasari. Sementara 20 hektar sisanya adalah lahan sekitar Sungai Cibeet dan permukiman Desa Wanasari.
TOD adalah kawasan terpadu yang menyokong stasiun Kereta Cepat Jakarta-Bandung. Di dalamnya terdapat stasiun, areal komersil, dan properti.(Kompas.com 9/10/2018)
Rakyat Kecil Jadi Korban
Kembali rakyat ditumbalkan. Pembangunan sejatinya ikut membangun rakyat. Bukan malah meminggirkannya. Seperti yang diungkap oleh Dinas Pertanian Karawang.
Hanafi menyebutkan, Karawang sudah menetapkan 87.000 hektar lahan pertanian yang tidak boleh dialihfungsikan hingga tahun 2030.
Sementara jumlah lahan pertanian yang ada saat ini sekitar 97.000 hektar. Hanafi juga khawatir keberadaan TOD akan memicu pengembangan pembangunan hingga menimbulkan alih fungsi lahan di sekitarnya.
Dan tentu saja dengan semakin berkurangnya lahan pertanian. Ketahanan pangan semakin terancam. Dan akan pergi kemana para petani jika tak punya ladang garapan?
Dengan segunung masalah yang sudah ada, tentu ini juga akan semakin menambah suram wajah ibu pertiwi. Dan ketika lahan pertanian berkurang maka hasilnya juga akan berkurang maka kebijakan impor pangan yang akan dilakukan. Ciri khas negeri jajahan kapitalis. Hanya menguntungkan segelintir orang. Kita harus bergantung pada negara lain hanya untuk memenuhi pasokan pangan dalam negeri. Sungguh menyedihkan.
Sebenarnya dengan lahan yang ada saat ini negara tak perlu mengimpor beras. Tapi faktanya sampai saat ini negeri ini sudah mengimpor 2,5 juta ton beras dari negara tetangga.
Pangan dalam Islam.
Dalam Islam pertanian dinilai sangat penting. Katena pangan menyabgkut hajat hidup orang banyak. Sehingga kebijakan-kebijakan diambil untuk mendukung pertanian itu sendiri.
Kebijakan pertanian ini secara garis besar ditempuh dengan dua metode;
pertama, intensifikasi (at-ta’miq), misalnya dengan menggunakan pembasmi hama kimiawi, teknologi pertanian modern, atau bibit unggul. Intensifikasi ini sepenuhnya akan dibantu oleh negara. Negara akan memberikan (bukan meminjamkan) hartanya kepada para petani yang tidak mampu agar petani mampu membeli segala sarana dan teknologi pertanian untuk meningkatkan produktivitas pertanian. Ini sebagaimana yang pernah dilakukan Khalifah Umar bin Khathab yang memberikan sarana produksi pertanian kepada para petani Irak untuk mengelola tanah pertanian mereka. (Taqiyuddin An-Nabhani, An-Nizham Al-Iqtishadi fi Al-Islam, hlm. 119).
Kedua, ekstensifikasi (at-tausi’). Ini ditempuh antara lain dengan menerapkan Ihya`ul Mawat, Tahjir, dan Iqtha’ (memberikan tanah milik negara). Negara juga akan mengambil alih secara paksa lahan-lahan pertanian yang ditelantarkan pemiliknya selama tiga tahun lalu memberikan kepada orang yang mampu mengelolanya.
Syaikh Abdurrahman Al-Maliki juga menegaskan, selain dengan intensifikasi dan ekstensikasi di atas, kebijakan pertanian juga harus bebas dari segala intervensi dan dominasi asing, khususnya dominasi negara-negara Barat yang imperialis. (Abdurrahman Al-Maliki, As-Siyasah Al-Iqtishadiyah Al-Mutsla, hlm. 187).
Dengan kebijakan seperti ini tentu akan menjadikan negeri bisa mandiri dalam hal pangan. Bukan hanya bergatung pada impor saja. Dan tentu semua takkan bisa dicapai bila negeri ini masih saja menpraktikan sistem kapitalis yang bukan hanya haram tapi juga menyengsarakan.