Oleh: Erna Hermawati S.S
#MuslimahTimes — “Cardboard Grannies” adalah sebuah istilah yang muncul untuk mewakili fenomena perempuan manula (lansia) yang terpaksa harus memulung kardus dan kertas bekas dari toko ke toko dan pasar untuk dijual ke pabrik daur ulang seharga kurang dari Rp. 1.300 per kilogram. Buruknya jaminan sosial dan kebijakan pensiun di Hongkong memaksa banyak warga manula harus kembali bekerja (republika.co.id/semakin banyak lansia di hongkong jadi pemulung/19/11/2018). Padahal hongkong adalah negara yang memiliki gedung-gedung mewah sebagai salahsatu simbol moderenitas. Tetapi, pembangunan pesat ini, diiringi krisis sosial dengan adanya para pemulung perempuan lansia. Para manula ini kesulitan untuk memenuhi kebutuhan pokok hidupnya sehingga mereka terpaksa bekerja kembali. Biaya hidup yang tinggi menyebabkan banyaknya pemulung manula. Mereka mendapatkan tunjangan dari pemerintah tapi tidak cukup untuk menutupi sewa tempat tinggal.
Fenomena cardboard grannies ini seharusnya mengetuk hati masyarakat dunia. Menurut pengamat politik internasional Fika komara dalam bukunya “Muslimah Timur Jauh: ” hal. 51 bahwa seringkali kemajuan dan moderinitas yang ditawarkan hukum buatan manusia malah melahirkan arus dehumanisasi. Pada kasus ini,geliat moderenitas Hongkong ternyata pada faktanya malah menempatkan manusia tidak pada fitrahnya dengan mengabaikan keberadaan para pemulung lansia ini. Seharusnya, dihari tua ini mereka dapat hidup sejahtera dengan keluarganya, bukan memeras keringat untuk memenuhi kebutuhan pokok hidupnya. Bahkan, lansia tidak sewajarnya dipandang sebagai beban karena mereka adalah bagian dari masyarakat yang memiliki hak untuk hidup. Disisi lain, kerja fisik para pemulung manula ini seringkali beresiko karena mereka berhadapan dengan kejahatan yang ada diluar, seperti pencurian dan diskriminasi.
Oleh karena itu, diperlukan sebuah aturan yang menempatkan manusia pada fitrahnya. Aturan yang tetap memajukan peradaban manusia tanpa mengabaikan jaminan kehidupan bagi warganya. Aturan ini adalah aturan yang berasal dari sang Pencipta, yaitu aturan Islam.
Islam memiliki paradigma yang khas terhadap kehidupan. Islam menghindari pandangan hidup individualisme, maka dalam ajaran Islam adalah perkara yang utama dalam memuliakan orangtua lanjut usia (lansia). Ketaqwaan individu dan masyarakat dalam Islam akan melahirkan kepedulian pada lansia. Dorongan ketaqwaan agar orang-orang beriman menjadi penolong bagi sebagian yang lain ada pada surat at Taubah ayat 71. Selain itu, Rasululloh saw mengajarkan bahwa orang-orang mukmin itu satu tubuh yang harus saling mengasihi, menyayangi, dan menyantuni. Jadi, hampir dapat dipastikan bahwa dalam masyarakat Islam tidak akan ada pengabaian pada lansia. Islam menggariskan bahwa perempuan harus selalu dijamin nafkahnya oleh kerabat laki-laki mereka (lihat surat AlBaqarah: 233), dan jika mereka tidak memiliki kerabat laki-laki maka negara yang akan menjamin kebutuhan finansialnya (Fika Komara dalam Muslimah Timur Jauh, hal 117)
Peran negara ini juga dapat dilihat dalam buku “Kehidupan Sosial Menurut Islam” menurut Dr Musthafa Husni bahwa lansia tergolong pada kategori penerima jaminan sosial (Republika.co.id/inilah 5 golongan yang berhak atas jaminan social dalam Islam). Lansia yang mendapat jaminan sosial ini tentu saja tidak dibedakan baik muslim atau bukan. Anggaran jaminan sosial ini bisa diperoleh dari baitul mal. Negara mendata jumlah lansia yang berhak mendapatkan jaminan sosial sehingga tidak ada satupun warganya yang diabaikan. Jadi, fenomena “cardboard grannies” yang ada di Hongkong sungguh sangat memprihatinkan. Karena dalam islam pada skala individu saja kita tidak boleh mengatakan “ah” pada orangtua. Ini malahan adanya pengabaian oleh negara pada pemulung lansia dengan tidak mau merawat mereka. Jelaslah bahwa hal ini tidak akan membawa keberkahan. Wallohu’alam.
“ Perumpamaan orang-orang mukmin dalam mengasihi, menyayangi, dan menyantuni bagaikan satu tubuh, apabila satu bagian menderita sakit, seluruh tubuh ikut merasakannya.” (HR. Muslim)