Oleh : Eni Mu’tamaroh I, S.Si
(Pendidik, Member Revowriter)
“Hari gini gak bayar pajak, apa kata dunia!”
Slogan ini kerap digunakan oleh Ditjen Pajak untuk mengkampanyekan kesadaran membayar pajak. Pajak merupakan salah satu pendapatan negara selain pendapatan non pajak dan hibah. Dalam Postur RAPBN 2019, pendapatan negara diproyeksikan sebesar Rp 2142,5 triliun yang terdiri atas penerimaan pajak Rp 1.781,0 triliun, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan hibah sebesar Rp 361,5 triliun (http://www.kemenkeu.go.id/rapbn2019). Jadi, hampir 83% pendapatan negara bersumber dari pajak.
Pajak Sumber Pendapatan Utama Sistem Kapitalisme
Dalam sistem kapitalisme, pajak merupakan pendapatan utama negara. Oleh karenanya, negara akan terus berusaha meningkatkan pendapatan pajak. Berbagai cara ditempuh. Objek pajak dan mekanisme pajak terus diciptakan. Alhasil, rakyat semakin terbebani. Pajak penghasilan menggerogoti gaji rakyat. Pajak penjualan berbagai kebutuhan membuat beban belanja semakin berat. Pajak atas bahan bakar minyak semakin mencekik pelaku industri dan petani. Rasanya, hampir setiap kebutuhan rakyat tak lepas dari pungutan pajak. Seakan negara bebas memungut pendapatan rakyat atas nama pajak.
Di Indonesia, untuk mencapai target pendapatan pajak berbagai program dicanangkan. Salah satunya dengan menumbuhkan karakter sadar pajak sejak dini. Hal ini disampaikan Kemenkeu RI, Sri Mulyani melalui teleconfence dalam seminar yang diadakan FIA UB Jum’at (9/11). Kemenkeu juga akan menggandeng lima instansi diantaranya Kemenag, Kemendagri, LIPI, Kemendikbud, dan Kemenristekdikti untuk melaksanakan program tersebut. (https://www.malang-post.com/pendidikan/sri-mulyani-pelajar-wajib-sadar-pajak-sejak-dini).
Selain itu, peningkatan sadar pajak juga akan dilakukan dalam lingkungan pendidikan mulai jenjang SD hingga Perguruan Tinggi (PT). Karena dipandang generasi muda memiliki potensi untuk meningkatkan pendapatan pajak. Bahkan Menristekdikti Muhammad Nasir meminta para Rektor mengurus para Mahasiswa wisuda untuk langsung mendapatkan Nomor Pokok wajib Pajak (NPWP). Dengan kebijakan tersebut, ia berharap para Mahasiswa yang lulus bisa menjadi wajib pajak yang patuh. (https://amp.katadata.co.id/berita/2018/11/09/tiap-tahun-18-juta-mahasiswa-yang-diwisuda-akan-langsung-dapat-npwp)
Sungguh ironis, rakyat dikejar-kejar pajak. Ada Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Pajak Bumi dan Bangunan, Pajak Ekspor, Pajak Perdagangan Internasional serta Bea Masuk dan Cukai. Sementara kekayaan barang tambang dan SDA lain yang berlimpah belum sepenuhnya dikelolah dan dijadikan sumber utama pendapatan negara. Sebaliknya, justru diobral dengan harga murah dan dinikmati perusahaan asing melalui projek privatisasi dan swastanisasi.
Pajak Bukan Senjata Palak Rakyat
Islam memiliki cara tersendiri untuk mengatur pendapatan negara. Dalam APBN Islam, sumber pendapatan negara ada dua. Sumber pendapatan tetap dan tidak tetap. Yang termasuk pendapatan tetap yakni : (1) Fa’i [Anfal, Ghanimah, Khumus]; (2) Jizyah; (3) Kharaj; (4) ‘Usyur; (5) Harta milik umum yang dilindungi negara; (6) Harta haram pejabat dan pegawai negara; (7) Khumus Rikaz dan tambang; (8) Harta orang yang tidak mempunyai ahli waris; (9) Harta orang murtad.
Pajak merupakan pendapatan tidak tetap, sifatnya insidental atau temporal. Dalam fikih Islam, istilah pajak dikenal dengan dharibah. Syaikh ‘Abdul Qadim Zallum mendefinisikan pajak dengan, “harta yang diwajibkan Allah kepada kaum Muslim untuk membiayai kebutuhan dan pos yang diwajibkan kepada mereka dalam kondisi ketika tidak ada harta di baitul mal kaum Muslim untuk membiayainya.” (al-Amwal Fi Daulati al-Khilafah)
Terdapat empat pengeluaran yang dapat dipenuhi dengan pajak jika tak ada dana mencukupi di Baitul Mal, yaitu: (1) untuk nafkah fuqara, masakin, ibnu sabil, dan jihad fi sabilillah; (2) untuk membayar gaji orang-orang yang memberikan jasa atau pelayanan kepada negara seperti pegawai negeri, para penguasa, tentara dll; (3) untuk membiayai kepentingan pokok yang mendesak (yakni yang menimbulkan bahaya jika tidak ada) seperti jalan utama, rumah sakit utama, jembatan satu-satunya dll; (4) untuk membiayai dampak peristiwa-peristiwa luar biasa, seperti menolong korban gempa bumi, banjir, angina topan, kelaparan, dll. (Taqiyuddin An-Nabhani, Muqaddimah Ad-Dustur, 2/122).
Pajak yang boleh ditarik juga harus memenuhi empat syarat: (1) diambil dalam rangka membiayai kewajiban bersama antara negara dan umat; (2) hanya diambil dari kaum Muslim saja; (3) hanya diambil dari Muslim yang mampu (kaya), yaitu yang memiliki kelebihan setelah tercukupi kebutuhan dasar berupa sandang, pangan, dan papan secara sempurna; (4) hanya diambil pada saat tidak ada dana di Baitul Mal. (Muqaddimah Ad-Dustur; Al-Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam)
Tampak jelas bahwa pajak dibolehkan dalam pandangan Islam. Tetapi harus memenuhi aturan syari’at. Tidak dipukul rata bagi setiap rakyat. Karena pajak di dalam Islam bukan pendapatan utama bagi negara. Pendapatan tetap diataslah yang dioptimalkan negara dan cukup untuk mensejahterahkan rakyatnya. Sehingga negara tidak perlu membebani rakyat dengan berbagai jenis pajak. Masya Allah! []