Oleh. Hana Annisa Afriliani,S.S
(Penulis Buku)
Makna toleransi kian kabur dalam praktik kehidupan beragama hari ini. Bagaimana tidak, ibadah lintas agama dapat dilakukan tanpa merasa tabu lagi. Misalnya perayaan natal. Di beberapa daerah, ditemukan kaum muslimin ikut dalam perayaan umat Nasrani tersebut. Atau sekadar turut mengekspresikan natal dengan memakai atribut natal, seperti topi santa clause, dll.
Dalam pandangan Islam, ikut merayakan hari raya agama lain adalah haram hukumnya. Bukan hanya itu, bahkan mengucapkan saja dilarang, meski tidak berniat membenarkan keyakinan mereka. Karena tasyabuh bil kuffar tak memandang pada niat, melainkan pada amalnya saja secara dzahir.
Namun mirisnya, banyak umat Islam yang melakukannya. Dan yang sangat disayangkan adalah para pemimpin muslim di negeri ini pun turut melakukannya. Mengucapkan selamat natal tanpa sungkan. Masuk ke dalam gereja tanpa riskan. Padahal sejatinya pemimpin adalah teladan bagi rakyatnya apa jadinya jika pemimpin saja melakukan hal yang tidak sepantasnya dilakukan oleh seorang muslim.
Sungguh sangat memprihatinkan. Padahal sejatinya toleransi dalam ajaran Islam itu jelas batasnya. Cukuplah firman Allah surat Al-Kafiruun “Lakum dieenukum waliyadieen” (Untukmu agamamu, untukku agamaku) menjadi pegangan bagi setiap muslim. Artinya tidak ada toleransi dalam perkara akidah dan ibadah. Jika sampai terjadi, maka akidah Islam kita lah yang menjadi taruhannya.
Hakikatnya toleransi tak harus menyerupai. Cukuplah kita memberi ruang kepada mereka untuk beribadah dengan tenang sesuai ajaram agamanya. Itulah wujud toleransi yang sesungguhnya.
Maka, setiap muslim harus memperkokoh imannya agar tidak mudah terbawa arus zaman. Karena bisa jadi, segala hal yang dianggap biasa, nyatanya mampu menyeret kita ke neraka. Naudzubillah….!
Sungguh benarlah sabda Rasulullah saw:
“Sungguh kalian akan mengikuti jalannya umat-umat terdahulu, sejengkal demi sejengkal, sedepa demi sedepa, sehingga seandainya mereka masuk lubang dhab (sejenis kadal), maka kalian akan mengikutinya”. Lalu para sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah yang engkau maksud umat terdahulu itu adalah orang-orang Yahudi dan Nasrani?” Rasulullah menjawab: “siapa lagi kalau bukan mereka?” (Muttafaqun ‘alaih).