Oleh.Hana Annisa Afriliani, S.S
(Penulis Buku)
#MuslimahTimes –– Tahun baru masehi setiap tahunnya tak pernah sepi dirayakan. Gemerlap kembang api, tiupan terompet, hingga genjrang-genjreng musik menghiasi malam tahun baru di berbagai daerah. Tak jarang, malam tahun baru juga disisi dengan perzinahan. Terbukti, betapa banyak alat kontrasepsi bertebaran pasca berlangsungnya perayaan tahun baru. Sebagaimana temuan warga pada perayaan tahun baru 2018 lalu, alat kontrasepsi dan celana dalam wanita bertebaran di sekitar puncak. (wartakotanews/01-01-2018)
Mirisnya, tak dapat dipungkiri bahwa kebanyakan pelaku perayaan tersebut adalah muslim. Padahal tahun baru masehi merupakan budaya di luar Islam. Seorang muslim haram ikut merayakannya, karena terlategori tasyabuh bil kuffar. Artinya menyerupai orang kafir.
“Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka.”(HR. Abu Dawud, Ahmad dan dishahihkan Ibnu Hibban. Ibnu Taimiyah menyebutkannya dalam kitabnya Al-Iqtidha’ dan Fatawanya. Dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih al-Jami’ no. 2831 dan 6149)
Sejarah Tahun Baru Masehi
Tahun Baru pertama kali dirayakan pada tanggal 1 Januari 45 SM. Tidak lama setelah Julius Caesar dinobatkan sebagai kaisar Roma, ia memutuskan untuk mengganti penanggalan tradisional Romawi yang telah diciptakan sejak abad ketujuh SM. Dalam mendesain kalender baru ini, Julius Caesar dibantu oleh Sosigenes, seorang ahli astronomi dari Iskandariyah, yang menyarankan agar penanggalan baru itu dibuat dengan mengikuti revolusi matahari, sebagaimana yang dilakukan orang-orang Mesir. Selanjutnya menurut kalender Julianus, tahun Romawi dimulai pada tanggal 1 Januari. Paus Gregorius XIII mengubahnya menjadi 1 Januari pada tahun 1582 dan hingga kini seluruh dunia merayakannya pada tanggal tersebut. (Eramuslim.com)
Perayaan tahun baru kemudian secara alami menjadi perayaan global di seluruh dunia. Dan esensi dari perayaan tersebut tersimpan keprcayaan kaum kafir. Diantaranya tercermin dari aktivitas yang mereka lakukan di malam tahun baru. Contohnya di Brazil, setiap malam tahun baru orang-orang berbondong-bondong menuju tepi pantai dengan pakaian putih-putih. Kemudian mereka menaburkan bunga di laut dan mengubur buah pepaya dan semangka di pasir pantai sebagai bentuk penghormatan kepada Dewa Laut.
Sedangkan orang-orang Romawi kuno merayakan tahun baru dengan memberikan potongan dahan suci. Dan mereka juga saling memberikan koin lapis emas bergambar dewa Janus. Dewa bermuka dua, satu menghadap ke kiri dan satunya menghadap ke kanan.
Adapun bagi orang kristen yang mayoritas menghuni belahan benua Eropa, tahun baru masehi dikaitkan dengan kelahiran Yesus Kristus atau Isa al-Masih, sehingga agama Kristen sering disebut agama Masehi. Masa sebelum Yesus lahir pun disebut tahun Sebelum Masehi (SM) dan sesudah Yesus lahir disebut tahun Masehi.
Tantangan Kekinian: Berpegang Teguh pada Agama
Sungguh jelas bahwa tidak ada nilai-nilai Islam dalam praktik perayaan tahun baru masehi. Maka jelas pula keharaman bagi kita yang muslim untuk ikut dalam perayaannya dalam bentuk apapun. Meski hanya kumpul-kumpul bersama keluarga dengan makan jagung bakar dan membakar kembang api di malam tahun baru, hal tersebut sudah termasuk ikut merayakannya. Maka berhati-hatilah.
Hakikatnya setiap muslim wajib berdiri teguh di atas agamanya. Berbeda dengan kaum yang lain. Maka, ketika kita mengikuti budaya di luar Islam, akidah kita lah yang akan menjadi taruhannya. Oleh karena itu, sudah selayaknya kita berpegang teguh kepada tali agama Allah, tidak mudah terbawa arus zaman yang kian deras.
“Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama) itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.” (QS. Al-Jatsiyah: 18)