Oleh: Emma Lucya Fitrianty
(penulis buku “Nak, Bunda Ingin Resign!” dan “serial akidah untuk Balita Cerdas”)
Jagat maya masih dipenuhi dengan komentar-komentar bernada ‘geregetan’ atas postingan akun bernama Afi Nihaya Faradisa tentang kasus prostitusi artis VA yang viral itu. Bullyan para netizen menyerbunya atas tanggapannya yang berbunyi “Saya justru penasaran bagaimana VA membangun value/ nilai dirinya, sehingga orang-orang mau membayar tinggi di atas harga pasar regular. Seperti produk Apple Inc. atau tas Hermes—kita belajar dari sana. Padahal, seorang isteri saja diberi uang bulanan 10 juta sudah merangkap jadi koki, tukang bersih-bersih, babysitter, dll. Lalu, yang sebenarnya murahan itu siapa? *eh”
Akun serupa yang juga menyudutkan status seorang isteri atas nama Nana Podungge: ”Ga perlu berlebihan ngebully si anu yg sekali ngangkang dapet 80 jeti. Boleh jadi itu pertanda harga dirinya sangat mahal. Ketimbang banyak perempuan cuman dapet mukena untuk berkali-kali ngangkang sepanjang umur pernikahan.” Begitu juga akun bernama Wesiati Setyaningsih: “Sirik sama yang dibayar 80 juta buat beberapa jam aja. Gara2 dulu cuma dibayar seperangkat alat solat sama cinta doang, kerjanya seumur hidup. Plak!”
Sontak postingan-postingan sumbang tersebut mendapatkan banyak hujatan dari netizen karena dengan blak-blakan menghina syariat Islam dan memosisikan pekerja seks komersial (PSK) lebih mulia daripada posisi isteri yang sah dalam rumah tangga. Tidakkah mereka sadar bahwa mereka dilahirkan dari rahim ibunya yang juga seorang isteri dalam rumahtangganya?
Waspadai Arus Feminisme Sekular
Ide-ide feminisme dan gender terus-menerus dibenturkandengan ide-ide Islam. Kenapa Islam? Karena hanya Islam satu-satunya agama sekaligus ideologi yang mampu menerapkan tidak hanya nilai-nilai spiritualitas pada individu/personal, tapi juga perkara praktis dalam tata pergaulan masyarakat. Islam yang mampu mengajarkan bagaimana menjadi manusia dengan kepribadian yang baik. Selain itu, Islam memiliki aturan tentang bergaul yang ‘sehat’, bagaimana berumah tangga, aturan-aturan tentang hak dan kewajiban suami isteri, hak perwalian, hak pengasuhan terhadap anak, hak waris, dan lain-lain yang sangat diperlukan untuk keberlanjutan generasi.
Bagaimana dengan ideologi selain Islam? Mereka tidak punya aturan yang lengkap seperti Islam. Mereka tidak punya sistem aturan itu secara sekaligus, yaitu aturan yang mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendiri (hablum minafsihi), hubungan manusia dengan sesama (hablum minannnas) dan hubungan manusia dengan Tuhannya (hablum minallah).
Sifat dasar sebuah ideologi adalah menguasai ideologi lain. Maka ide feminisme sekular yang notabene bersumber dari ideologi kapitalisme tersebut juga tidak akan berdiam diri ketika ideologi Islam berkuasa atasnya. Maka geliat “melek syariat” yang saat ini semakin nyata lantas membuat para pengemban ideologi kapitalisme-sekular geram. Mereka meluncurkan segenap senjata mereka untuk menyerang institusi keluarga muslim dengan ide-ide mereka yang nampaknya ‘manis’ dan membela kaum perempuan namun sebenarnya justru menghancurkan bangunan keluarga muslim.
Bisa kita lihat, orang-orang feminis terus mengopinikan ide-ide persamaan jender yang jelas-jelas bertentangan dengan syariat Islam. Contohnya, syariat poligami diserang tapi perzinahan (seperti kasus prostitusi online) cenderung dibiarkan. Sebelum kasus ini, ada upaya mengamandemen Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dengan menggugat usia perkawinan perempuan dalam pasal 7 ayat 1. Efeknya, tanpa ada upaya keras untuk mendidik anak-anak tentang bagaimana memanajemen kecenderungan terhadap lawan jenis (gharizah an-nau’) maka seks bebas dan kehamilan yang tak diinginkan (KTD) di kalangan remaja dikhawatirkan akan semakin marak. Karena meskipun sudah balig dan kondisi biologis sudah matang namun terganjal batasan usia minimal perkawinan yang dilegalkan.
Bangga Menjadi Ibu Rumah Tangga
Sebagai seorang muslimah, kita harus bangga dengan identitas keislaman kita. Menjadi ibu bagi anak-anak adalah karir mulia seorang perempuan. Kita tak perlu minder jika tidak memiliki titel akademis atau status jabatan pekerjaan lainnya. Status ibu rumah tangga adalah status utama. Mau melakoni pekerjaan yang lain entah menjadi penulis, dokter, pengajar, atau lainnya itu adalah status tambahan. Bersyukur jika Allah Ta’ala menitipkan status utama sebagai ibu rumah tangga kepada kita karena tidak semua perempuan dikaruniai status tersebut.
Banyak “orang besar” yang lahir dari rahim ibu yang ‘hanya’ menjadi ibu rumah tangga. Ulama-ulama besar seperti Imam Syafi’i, Imam Hambali, Imam Maliki dan Imam Hanafi juga dibesarkan oleh sosok ibu salehah yang gigih dalam mendidik anaknya. Perjuangan para ibu tersebut dalam membina anak-anaknya bisa kita baca sejarahnya dalam banyak sumber dan kitab terpercaya.
Contoh lain, Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Sosok Khalifah yang berhasil membawa rakyatnya pada kehidupan yang makmur dan bahkan pada masa beliau berkuasa, tak ada satu rakyatnya yang berhak mendapatkan zakat (mustahiq). Ternyata ibunda dari Khalifah Umar bin Abdul Aziz adalah ibu rumah tangga yang menjaga diri dari syubhat. Beliau adalah perempuan penjual susu yang jujur dalam menjual barang dagangannya, bukan keturunan bangsawan. Namun masya Allah dari hasil didikan ‘tangan dingin’nya muncul karakter pemimpin besar Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang sangat adil terhadap rakyatnya.
Jadi, kalau orang-orang liberal itu mengatakan bahwa bayaran senilai delapanpuluh juta itu menunjukkan ‘value’ perempuan itu lebih tinggi dari bayaran seorang ibu rumah tangga maka sesungguhnya ia telah mengalami sesat pikir. Karena bagi ibu rumah tangga yang ikhlas apalagi berjuang mengantarkan anak-anaknya menjadi generasi yang saleh-salehah itu balasan dan bayarannya jauh lebih besar dari itu yaitu surga Allah Subhanahu wa ta’ala. Adakah bayaran yang lebih besar dari itu?
Maka tidak perlu rendah diri dengan status ibu rumah tangga, karena sejatinya perannya begitu besar bagi jalannya roda peradaban masyarakat yang luhur. Seorang ibu yang membersamai diri dengan ilmu dan tsaqofah Islam yang mumpuni dalam mendidik diri dan generasi agar terwujud nantinya anak dan keturunan yang berkualitas, baik intelektualnya, attitude ataupun spiritualitasnya. Agar anak dan keturunannya tidak latah mengemban ide feminisme sekular mengikuti hawa nafsunya. Wallahu a’lam bishshawwab. [el]