Oleh. Messy Lena
#MuslimahTimes –– Di ruangan persegi ini, berukuran kurang lebih 4*4 cm. Kecil, sederhana tapi aku betah berlama-lama disini. Kujatuhkan punggungku di ranjang sofa yang keras bagai batu kerikil. Hufft, saatnya dia beristiahat dari kejaran waktu dan tumpukan tugas yang segudang. Tapi, mataku masih belum ingin tenggelam dalam lautan mimpi. Dia begitu terhipnotis dengan rak buku beralaskan papan tua kecoklatan. Diatasnya, mentari mengintip melintasi jendela. Sinarnya menciptakan kebahagiaan bagi jejeran lembaran-lembaran kertas. Buku bermandikan debu tampak sedikit tersenyum. Namun, ada satu senyuman yang paling berbeda diantara yang lain. Senyumannya tampak begitu ikhlas.
Sungguh, pemandangan seperti itu langka dan tak boleh di sia-siakan begitu saja. Sontak kaki-kaki mungilku segera berselancar menuju arena itu. Dengan sigap jari jemariku merampasnya dari keluarganya. Keluarganya marah tapi biarlah, aku hanya meminjam anak bungsunya sekejap. Kuhempaskan komunitas debu yang menempel ditubuhnya. Kulitnya masih ceria dengan warna birunya. Kubuka apa saja yang tersimpan dalam tubuhnya secara detail. Hanya lembaran-lembaran biasa yang sudah terisi penuh dengan untaian doa. Tiap-tiap barisnya berwarna sebab digoresi oleh berbagai jenis tinta.
Jantungku terhenyak ketika singgah di salah satu bagian lembaran kertas. Seakan terasa berhenti dan tak ingin berpacu lagi. Goresan didalamnya sederhana, namun makna sajaknya begitu dalam. Seakan menembus segala sekat di dasar samudera hatiku. Kutatap lekat-lekat pesegi empat berwarna kebiruan itu. Tak salah lagi, ada yang aneh dengan buku tua ini. Sontak air mata mendarat di bandara tubuhku. Seakan membentuk sungai kecil di depanku. Dia egois, memaksaku untuk kembali masuk dalam dunia itu. Dunia yang selaras dengan tiap bait lembaran-lembaran kertas ini.
****
Mentari senantiasa melintas sumbunya menyusuri seluk beluk ruang waktu. Dengan getaran nada-nada hati bagai petir yang menetapi setapak kakiku. Lambat laun warna biru memudar berganti dengan warna kemerahan. Gerimis hatiku belum usai, masih terasa mengumpal didalamnya. Bumi pertiwi tampak bersahabat saat ini. Seakan mengizinku untuk mengunjungi taman-taman surga. Disana, tempat bersua dengan para malaikat yang taat.
Tapi tak semua harapan bisa menjadi kenyataan. Kala Ibu melemparkan hadiahnya untukku. Kecil, bulat tapi begitu sakit ketika bersentuhan dengan tubuhku. Kini, itulah yang kurasakan. Dahiku berubah menjadi warna merah jambu. Ibu membuatku tertidur bersama kuda besi di ranjang tanah.
“Aduh” gerutuku dalam hati. Kuhempaskan setiap sisa tanah yang menempel di tubuhku. Kualihkan pandanganku dari tatapan sinis wanita yang raut wajahnya serupa denganku.
“Najwa, kamu pasti mau pergi ke kajian?,” tanya Ibu dengan suara lantang.
Astagfirullah, haruskah aku berhadapan dengan wajah seram itu lagi. “Iya, Bu. Tadi, aku sudah minta izin kepada Ibu. Tapi, Ibu hanya diam saja. Karena Ibu tak ada komentar, makanya aku langsung pergi. Aku pikir, Ibu telah mengizinkanku,” ucapku sembari menundukkan pandangan.
“Siapa yang telah mengajarimu, berani mematahkan perkatan ibu? Selama sebulan terakhir ini, kamu telah berubah. Tidak mau lagi mendengarkan perkataan Ibu. Ibu telah mengatakanmu jangan mengikuti kajian sesat tersebut. Tapi, kamu selalu memaksa untuk ikut serta disana,” timpal Ibu.
“Maafkan aku, jika perkataan tadi ada yang menyakiti hati Ibu. Aku tidak bermaksud mematahkan perkataan Ibu. Aku telah mengatakan pada Ibu, aku tidak mengikuti kajian sesat. Aku belajar ilmu agama Islam, belajar sesuatu apapun yang berasal dari Al-Qur’an dan As-sunah. Tapi, Ibu tidak pernah mau mendengarkan penjelasanku,” jelasku.
Ibu semakin berjalan mendekat menghadapku, “Apa yang Ibu katakan semuanya kamu jawab, semuanya kamu bantah. Mana kunci motor?” tanya Ibu.
Aku hanya diam sembari mengarahkan jari telunjukku menghadap motor.
“Kalau Ibu tanya itu dijawab, bukan diam. Kamu bisu?” Ibu seketika menarik mahkotaku.
“Ibu… kenapa Ibu menarik kerudungku?.” Kurampas kerudungku dari genggaman Ibu. Kubiarkan air mata membanjiri sekujur tubuh. Berlari sekuat yang kubisa menuju kamarku.
****
Aku luapkan semua jeritan hatiku pada sahabat setiaku. Sahabat yang senantiasa mengerti akan diriku. Tak pernah membantah setiap perkataanku. Tak pernah menyalahkan setiap perbuatanku. Biar dia nantinya yang akan menjadi sanksi bisu perjuangan ini. Merekam semua hambatan dan pengorbanan dalam pertualangan mencari ridha Sang Ilahi
Tapan, 12 September 2016
Assalamu’alaikum sahabat setiaku. Hari ini, langit seakan runtuh dan bumi seakan hancur. Itulah sajak yang mewakilkan kegundahan hatiku. Ibu, perempuan berhati bidadari yang kukenal semenjak enam belas tahun silam. Berubah tiga ratus enam puluh derajat semenjak sebulan ini. Sering marah, kasar, dan terkadang tak jarang bermain tangan. Dia tak seperti Ibu yang kukenal dulu.
Ibu, tak menyukai jubah longgarku. Baginya, itu pakaian perempuan hamil atau perempuan tua. Ibu, juga tak menyukai kerudung lebarku. Baginya, itu panas dan rumit jika digunakan. Dalam setiap untaian kataku, selalu kuselipkan doa yang terbaik untuk perempuan yang telah melahirkan, menyapih dan merawatku. Uhubbukim Fillah, Ibu. Wasalamua’laikum.
Najwa
****
Inikah yang namanya siang ataukah memang mentari yang marah. Tidak memberi kesempatan awan untuk menyelimuti bumi dalam sekejap saja, semua habis seakan dilahap panasnya. Semua tidak tersisa sedikitpun, semua tidak terlewatkan. Semua tidak di beri kesempatan, meski sekejap semua tidak diberi ampun. Begitu pula siapapun yang merasakannya, tidak diberi izin meski hanya sebentar saja. Sejenak hanya ingin memutar waktu kembali pada pagi tadi. Biar bisa dikantongi sejuk-sejuk dari daun cemara. Untuk sebuah bekal menapaki panas, biar tidak terbakar di bawah siang.
Belum sempat bibirku menyapa rumah, mataku kembali tersipu dengan hadiah yang diberikan Ibu. “Kenapa semua jilbabku Ibu keluarkan dari lemari?” tanyaku.
Ibu memamerkan bajuku, “Apa maksudnya, semuanya baju sekolahmu di sambung menjadi gamis?” ucap Ibu dengan nada marah.
“Iya, Bu. Sebenarnya, seperti itu seharusnya pakaian seorang muslimah,” timpalku.
“Pikiranmu telah teracuni oleh ustadzah sesat itu. Lihat, apa yang akan kamu dapatkan,” ejek Ibu.
“Ibu mau berbuat apa terhadap jilbabku?” air mataku mengalir deras sembari mengumpulkan jilbabku satu persatu.
“Sini, bajumu,” Ibu menarik paksa jilbab yang kupegang sembari mendorongku masuk ke kamar. “Masuk kamu ke kamar. Ibu akan bakar semua gamismu.”
“Jangan, ibu,” teriakku dari dalam kamar.
****
Seiring detik bergulir dengan asa yang membahana. Saat rumput tertawa bahagia bersua dengan mentari. Aku harus tetap tersenyum untuk siapapun yang mencintaiku, termasuk Ibu. Aku harus tetap ceria, untuk menjalani hidup yang penuh suka cita. Meski, banyak angin yang menghambat langkahku. Meski, harus terjatuh dan terluka berulang kali. Aku harus bangkit dan meneruskan perjalanan ini. Sebab, kuyakin harus untuk bisa meraih surga-Nya.
“Kamu tidak sekolah, Naj?” tanya Ibu yang tengah menonton berita.
“Tidak, Bu. Aku ingin berlama di rumah, menghabiskan waktu bersama Ibu”, rayuku. ‘Aku ingin sekolah, Bu. Tapi tak ada jilbab yang bisa kukenakan. Semuanya telah Ibu bakar,’ gumam batinku.
“Tadi Ibu menonton berita tentang harga BBM dan harga bahan pokok yang melambung tinggi. Kasihan melihat banyak rakyat yag tak mampu menjerit. Tapi, pemerintah tampaknya berlepas tangan akan hal itu,” jelas Ibu.
Jari jemariku fokus memijit tubuh Ibu, “Begitulah fakta yang terjadi sekarang, Bu. Hidup terasa terbelenggu dalam sistem sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan). Penguasa membuat kebijakan sesuai pesanan asing dan aseng, bukan sesuai dengan kebutuhan rakyat. Maka tak salah, banyak kebijakan penguasa yang berseberangan dengan rakyat. Rakyat menjerit tapi penguasa melekit. Penguasa seakan berlepas tangan dengan masalah yang dihadapi oleh rakyat. Contohnya harga BBM dan harga bahan pokok yang melambung tinggi,” timpalku.
Ibu terdiam sejenak lalu berucap, “Lantas apa yang harus kita lakukan agar semua ini segera berakhir?” tanya Ibu.
“Tak ada solusi lain kecuali solusi yang ditawarkan oleh Islam, Bu. Dalam sistem Islam, negara menjamin akan kebutuhan setiap rakyatnya tanpa terkecuali. Semua kebutuhan rakyat terpenuhi baik muslim maupun non muslim. Untuk pelayanan umum semua tak berbayar alias gratis. Maka tak salah, sistem Islam pernah mengalami kejayaan selama 13 abad. Tak ada satupun rakyat yang tak dipenuhi kebutuhannya oleh negara,” jelasku.
“Bagus itu kalau sistem Islam di terapkan di seluruh dunia,” ucap Ibu sembari mengangguk kepala.
“Iya, Bu. Makanya, Ibu harus memberi izin untukku mengkaji Islam. Agar sistem Islam itu segera diterapkan kembali di seluruh pelosok negeri. Ibu, harus ikhlas melepaskanku mejadi pejuang Islam. Apalagi jika Ibu ikut aktif berkontribusi dalam perjuangan ini. Insya Allah balasannya surga,” bujukku.
Ibu hanya diam terpaku, tak ada satupun kata yang terlontar dari mulutnya. Kutatap matanya lekat-lekat ada setitik cahaya dalam bola matanya.
****
Kudekap erat sahabat setiaku. Tampak ada beberapa bagian tubuhnya terluka oleh sikapku. Tubuhnya masih terasa basah sebab deraian air mataku tadi. Kebahagiaanku dengannya kembali diganggu oleh orang ketiga. Iya, pintu kamarku yang tengah menjerit kesakitan. Seperti ada seseorang dari luar yang menyakitinya. Kupaksakan kakiku berjalan mendekati pintu. Kugenggam kuat gangnya, perlahan membukanya.
“Ibu? Ada apa Ibu memanggilku?” tanyaku.
“Ini buatmu,” Ibu menyodorkan sebuah bingkisan.
Seketika aku membuka bingkisannya, “Jilbab. Terima kasih, Bu,” aku mendekap mesra malaikat tanpa sayapku
“Semoga kamu suka dengan gamisnya. Doakan juga Ibu banyak rezeki, agar mudah membeli gamis untukmu lagi,” pinta Ibu.
“Iya, Bu. Aku harus menceritakan semua ini pada sahabat setiaku,” bergegas kuambil buku tua berwarna kebiruan itu.
****
Tapan, 12 Januari 2018
Assalamu’alaikum sahabat setiaku. Saat ini, aku akan mengoreskan tinta kebahagiaan untukmu. Sahabat, masihkah engkau ingat dengan cerita Ibu yang terukir disini?. Kini, ibu yang kukenal delapan belas tahun yang lalu telah kembali. Dia masih ingin menjadi malaikat tanpa sayapku. Mencintai, menyayangi, dan mengasihiku seperti sedia kala.
Dia kembali mewarnai duniaku dan menghiasi langitku dengan pelangi. Dia mengizinkanku untuk tetap berada dibarisan perjuangan ini. Bahkan, dia memaksaku untuk tetap bertahan sampai ajal menjemputku. Dia bangga dengan pilihanku, mejadi pejuang Islam. Satu pesannya yang selalu terlintas di benakku, “Tetaplah menapaki jalan yang telah ditapaki oleh Rasulullah dan para sahabat.” Allahu Akbar!
Najwa