Oleh: Arin RM, S.Si
(Freelance Author, Pemerhati Media Sosial)
#MuslimahTimes — Membahas topik seputar kepemimpinan adalah aktivitas yang menyenangkan. Terlebih ketika suasana perpolitikan tengah menghangat menjelang pemilihan umum seperti saat ini. Siapapun dan dimanapun akan mudah terpantik untuk turut buka suara ketika bahasan seputar pemimpin dikemukakan. Tak hanya para ahli politik yang kerap mewarnai ajang diskusi di layar kaca, generasi milenial pun akan mengambil peran yang sama. Sebab, saat ini generasi seperti ini tengah berada pada puncak idealisme politik, ingin berkontribusi nyata memanfaatkan kesempatan hak pilih yang dimilikinya. Mereka tidak sanksi lagi untuk ikut berpendapat dan memberikan kriteria sosok pemimpin. Disinilah urgensinya generasi milenial perlu mendapatkan arahan tentang kepemimpinan yang benar.
Belajar dari perjalanan suksesi kepemimpinan bangsaini, banyak sekali sosok pemimpin yang sudah dilahirkan ketika pemilihan usai. Dari level daerah, provinsi, hingga nasional sekalipun turut berganti mengikuti ritme pemilihan. Namun, kadang apa yang diharapkan tak seindah kenyataan yang didapatkan. Banyak di antara mereka yang kemudian lupa akan janji manis yang dikampanyekan. Larut dalam arus demokrasi, “mengembalikan” modal ketika kekuasaan dalam genggaman. Calon yang semula diidamkan justru harus berhadapan dengan tuntutan jaksa di pengadilan. Kekecewaanlah yang dirasakan sebagian pendukung karena dahulu telah menentukan pilihan.
Kekecewaan demikian sekiranya tidak aka nterjadi tatkala generasi milenial mau melirik bagaimana Islam menggariskan panduan terkait kepemimpinan. Sebagai agama yang sempurna, Islam menempatkan pemimpin sebagai sosok yang penting dalam kehidupan bermasyarakat. Bahkan posisi pemimpin diibaratkan sebagai salah satu penopang dalam menjaga eksistensi sebuah masyarakat. Imam Ibnu Qutaibah ad Dainuri pernah mengutip syair dari Afwah al Audi terkait kepemimpinan: “Tidak akan baik suatu kaum itu hidup tercerai-berai tanpa memiliki pemimpin dan tidak terhitung memiliki pemimpin jika orang-orang bodoh di antara mereka yang menjadi pemimpin.”
Oleh karena itu, Islam menetapkan untuk menjadi pemimpin-terutama di level negara-, perlu memenuhi syarat berikut: Pertama,Pemimpin harus seorang muslim. Sama sekali tidak sah kepemimpinan negara diserahkan kepada orang kafir dan tidak wajib pula menaatinya, karena Allah SWT telah berfirman: Allah sekali-kali tidak akan memberikan jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang Mukmin. (TQS an-Nisa’ [4]: 141).Pemerintahan (kekuasaan) merupakan jalan yang paling kuat untuk menguasai orang-orang yang diperintah. Karena Allah telah mengharamkan adanya jalan bagi orang kafir untuk menguasai kaum mukmin maka haram hukumnya kaum muslim menjadikan orang kafir sebagai penguasa atas mereka. Demikian pula, pemimpin merupakan waliy al-amri, sementara Allah SWT telah mensyaratkan bahwa seorang waliy al-amri haruslah seorang muslim (surat an-Nisa ayat 59 dan ayat 83).
Kedua, pemimpin harus seorang laki-laki. Hal ini berdasarkan pada apa yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dari Abu Bakrah yang berkata, ketika sampai berita kepada Rasulullah SAW. bahwa penduduk Persia telah mengangkat anak perempuan Kisra sebagai raja, Beliau bersabda: “Tidak akan pernah beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusannya kepada perempuan.” (HR al-Bukhari).
Ketig, pemimpin harus balig. Hal ini sesuai dengan riwayat Abu Dawud dari Ali bin Abi Thalib ra, bahwa Rasul SAW pernah bersabda: “Telah diangkat pena (beban hukum, peny.) dari tiga golongan: dari anak-anak hingga ia balig; dari orang yang tidur hingga ia bangun; dan dari orang yang rusak akalnya hingga iasembuh. (HR Abu Dawud).Orang yang telah diangkat pena (beban hukum, peny.) darinya tidak sah mengelola urusannya. Secara syar‘i ia bukan seorang mukallaf. Karena itu, ia tidak sah menjadi pemimpin atau menduduki jabatan penguasa selainnya, karena ia tidak memiliki hak untuk mengelola berbagai urusan.
Keempat, pemimpin harus orang yang berakal. Sebab, akal merupakan tempat pembebanan hukum dan syarat bagi absahnya aktivitas pengaturan berbagai urusan, sedangkan pemimpin jelas mengatur berbagai urusan pemerintahan dan melaksanakan penerapan beban-beban syariah.
Kelima, pemimpin harus seorang yang adil. Adil merupakan syarat yang harus dipenuhi demi keabsahan kepemimpinan Islam dan kelangsungannya. Sebab, Allah SWT telah mensyaratkan —dalam hal kesaksian, ed.—seorang saksi haruslah orang yang adil. Allah SWT telah berfirman: “..dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kalian..”(TQS ath-Thalaq [65]: 2).Orang yang kedudukannya lebih tinggi daripada seorang saksi adalah pemimpin. Karena itu, lebih utama lagi jika ia harus seorang yang adil. Sebab, jika sifat adil telah disyaratkan bagi seorang saksi, tentu sifat ini lebih utama lagi jika disyaratkan bagi pemimpin.
Keenam, pemimpin harus orang merdeka. Sebab, seorang hamba sahaya adalah milik tuannya sehingga ia tidak memiliki kewenangan untuk mengatur urusannya sendiri. Tentu saja ia lebih tidak memiliki kewenangan untuk mengatur urusan orang lain, apalagi kewenangan untuk mengatur urusan manusia.
Ketujuh, pemimpin harus orang yang mampu. Pemimpin haruslah orang yang memiliki kemampuan untuk menjalankan amanah Kekhilafahan. Sebab, orang yang lemah tidak akan mampu menjalankan urusan-urusan rakyat sesuai dengan al-Kitab dan as-Sunnah, yang berdasarkan keduanyalah ia dipilih.
Selain tujuh syarat di atas, Islam juga menganjurkan memilih pemimpin jujur dan tidak zalim. Terkait hakikat pemimpin harus jujur HR Bukhari dan Muslim menjelaskan: “Tidaklah seorang hamba yang Allah jadikan pemimpin untuk mengurus rakyat, mati pada hari dia menipu rakyatnya, kecuali Allah mengharamkan surga bagi dirinya”.Mengenai definisi pemimpin zalim itu sendiri, yang dimaksud adalah mereka yang dalam kepemimpinannya tidak mau berhukum dengan hukum Allah SWT, yakni yang enggan berhukum dengan Alquran, sebagaimana firmanNya dalam surat Almaidah ayat 55.
Dengan menetapi syarat kemepimpinan di atas, sosok pemimpin yang didapatkan tidak lagi abal-abal. Kredibilitas mereka sebagai calon nahkoda negara cukup bisa diandalkan. Setidaknya, dari sisi kompetensi dasar yang mereka miliki cukup untuk dimasukkan kategori calon pemimpin ideal. Syarat di atas juga sekaligus menjawab bahwa untuk menjadi calon pemimpin sebenarnya tidak ada tuntutan seremonial untuk memaparkan visi-misi ataupun unjuk kemahiran berdebat tentang suatu topic tertentu. Sebab hakikat pemilihan mereka untuk menduduki kursi kepemimpinan adalah dalam rangka menjadi penerap hukum Alquran dan Assunnah dengan penuh ketaqwaan. Dan seperti itulah sosok pemimpin yang diperlukan generasi milenial. Pemimpin yang distandarkan dengan syarat Islam. [Arin RM]
================
Sumber Foto : Finansialku