Oleh Atik Hermawati
(Pemerhati Keluarga, Bogor)
MuslimahTimes—Siapa yang tidak setuju ketika kekerasan seksual akan dihapuskan. Inilah jalan yang diinginkan terutama bagi para korban kekerasan seksual itu sendiri. Namun, Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) yang sedang dibahas sejak Januari 2016 masih menjadi polemik. Adakah masalah dalam RUU ini?
Aktivis pro perempuan yang tergabung dalam Gerakan Masyarakat Sipil telah melakukan aksi di Sarinah hingga Taman Aspirasi, Jakarta Pusat (08/12 /2018). Mereka menuntut agar Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual segera disahkan. Menurut mereka, negara ini lamban bertindak terhadap kekerasan seksual yang semakin meningkat setiap tahunnya. Sehingga sangat membutuhkan pengaturan dalam KUHP segera mungkin (Idntimes.com, 08/12/2018).
Namun sebaliknya, Guru Besar Departemen Ilmu Keluarga IPB, Prof. Euis Sunarti, menolak RUU P-KS ini. Ia menilai bahwa RUU P-KS membuka ruang konflik keluarga lebih besar. Materi yang dicantumkan lebih mengedepankan hak dan otonomi individu tanpa menyeimbangkannya dengan kewajiban. Definisi kekerasan dan pemaksaan pun dalam rancangan ini mengabaikan penyimpangan seksualitas (Kiblat.net, 28/01/2019).
Pada dasarnya RUU P-KS ini ingin menindak segala bentuk kekerasan dan pemaksaan. Namun, pasal-pasal di dalamnya tidak berlaku jika tanpa adanya pemaksaan atau kekerasan tersebut. Walaupun itu sebuah penyimpangan seperti prostitusi, aborsi ataupun yang lainnya. Menganggapnya sebuah hak yang harus dibiarkan. Sebaliknya, apabila ada yang mengusik hak tersebut maka akan ditindak meskipun itu seorang ibu kepada anaknya.
Aliansi Cinta Keluarga Indonesia (AILA) dalam Rapat Dengar Pendapat (ADP) bersama sejumlah lembaga di ruang rapat PKS, menyatakan bahwa RUU ini banyak menuai kontroversi seperti pada pasal 5, 6, 7, dan 8. Menurutnya sangat tercium bau kebebasan seksual dalam penghapusan kekerasan seksual tersebut.
Pada pasal-pasal tersebut seorang akan dipidanakan apabila melanggar hak orang lain untuk bebas atas tubuh, diri, dan seksualitasnya. Dengan begitu kebebasan seksual menjadi sah-sah saja apabila tidak ada kekerasan atau pemaksaan. Alih-alih memberantas kekerasan seksual, namun menyuburkan penyimpangan seksual (Hidayatullah.com, 31/05/2018).
Senanda dengan pernyataan tersebut Prof. Euis Sunarti, Guru Besar Departemen Keluarga IPB, menyatakan bahwa RUU tersebut hanya fokus pada kekerasan atau pemaksaan tanpa mempermasalahkan penyimpangan yang terjadi. Sebagai contoh, ia mengungkapkan bahwa pelacuran apabila tidak ada kekerasan atau pemaksaan maka bukan termasuk tindak pidana, meskipun hal itu termasuk penyimpangan. Selanjutnya seorang anak yang merasa dipaksa untuk berpakaian sopan dan beradab, maka orang tuanya dianggap telah melakukan pemaksaan dan akan dikenakan sanksi. Padahal kewajiban anak untuk mematuhi orang tua dalam aturan agama (Kiblat.net, 28/01/2019).
Darurat kekerasan seksual bukan hanya menjadi masalah besar di Indonesia namun sebagian besar negara. Menurut Kepala Dinas KPPA Provinsi Kalimantan Barat, Sumarno, kekerasan seksual baik pada anak ataupun perempuan terjadi karena beberapa hal yaitu faktor ekonomi, media sosial, pernikahan usia dini, kepribadian yang tidak stabil, lingkungan, dan anggapan masyarakat terhadap kekerasan seksual itu sendiri yaitu sebagai masalah individu bukan masalah sosial (Tribunnews, 15/08/2017).
/Semua Faktor Berpengaruh/
Secara garis besar maka penyebab utama kekerasan seksual baik pada perempuan ataupun anak ialah faktor individu, lingkungan, ekonomi, dan negara.
Pertama ialah faktor individu. Individu yang tidak mempunyai keterikatan pada agama dan pemahaman benar, akan sangat enteng melakukan suatu kejahatan. Mereka sudah tidak mempunyai rasa takut dan malu kepada penciptanya atau masyarakat sekitar. Hal ini juga yang menjadi penyebab kekerasan pada pernikahan dini. Hakikatnya bukan pernikahan dini itu sendiri yang menjadi penyebab masalah, melainkan kepribadian individu tersebut. Sebab, banyak pula pasangan yang menikah di usia yang cukup namun problematika ini masih kerap terjadi.
Kedua, lingkungan yang buruk sangat berpengaruh terhadap meningkatnya kekerasan seksual. Hal ini meliputi lingkungan keluarga ataupun sekitar, termasuk media sosial. Keluarga tanpa pondasi yang kokoh menjadi salah satu penyebab utama. Sudah banyak kasus kekerasan seksual yang terjadi di antara satu keluarga. Minimnya pemahaman dan tidak adanya pengasuhan yang benar sering kali membuat anak menjadi korban bahkan pelaku. Bahkan orang tua itupun sendiri bisa menjadi pelaku.
Selain itu, lingkungan sekitar baik masyarakat maupun media sosial ikut mempengaruhi. Kondisi masyarakat yang tidak memegang aturan yang benar, menihilkan norma dan adab, serta pragmatis atau bahkan apatis, maka berpeluang besar terhadap maraknya kekerasan seksual ini. Sebab, mereka menganggap hal itu biasa dan hanya sebagai masalah individu bukan masalah bersama yang harus diselesaikan. Seperti banyaknya perzinaan, perjudian, dan minuman keras yang dibiarkan.
Kemudahan akses informasi tanpa filterisasi pada revolusi 4.0 ini, juga membuat berbagai konten negatif seperti pornografi menjamur. Tidak seperti zaman dahulu, tanpa dicari dan diminta pun mendatangi dengan derasnya. Mayoritas para pelaku tindak kekerasan seksual sebelumnya telah terpapar hal negatif ini. Baik secara fisik maupun psikis, yaitu melalui obat terlarang dan pornografi. Selanjutnya, dengan kecanggihan teknologi pula mereka mudah mendapatkan sang korban.
Ketiga, faktor ekonomi yang selalu menjadi alasan klasik di negara berkembang. Sulitnya mencukupi kebutuhan pokok akibat kemiskinan yang sistemik, membuat para pelaku melakukan tindakan penyimpangan ini. Dari beberapa kasus kekerasan seksual pada anak, mayoritas pelakunya adalah orang terdekat dengan kondisi ekonomi menengah ke bawah. Sedangkan, untuk pelaku dari kalangan atas biasanya menyewa lewat muncikari. Sehingga jarang terjadi oleh pelaku dengan kondisi ekonomi tingkat atas.
Karena kesulitan ekonomi ini pula membuat banyak orang putus sekolah bahkan tidak bersekolah sama sekali. Tak jarang, mereka yang lari ke jalan menjadi seorang preman kemudian melakukan kekerasan seksual tersebut.
Lalu, keempat adalah negara. Penindakan yang lamban dan sanksi yang tidak membuat jera membuat para pelaku melenggang ria. Akhirnya semakin meningkat setiap tahunnya.
/Kewajiban Terlaksana, Hak Terjaga/
Dari paparan tersebut, terlihat jelas bahwa penyebab utama kekerasan seksual adalah kelalaian pada masing-masing kewajiban. Baik oleh individu, masyarakat, atau negara. Sehingga sia-sia apabila di satu sisi memberantas kekerasan, namun di sisi lain membiarkan kebebasan yang menyimpang. Pada dasarnya kedua hal itu saling memiliki keterkaitan.
Dalam Islam kehormatan manusia wajib dijaga. Untuk itu, Islam telah menetapkan hak dan kewajiban setiap individu. Pelaksanaannya yang seimbang akan mampu menjaga ketentraman dan keamanan. Individu berkewajiban menaati agama, peraturan dan adab yang benar. Meningkatkan pemahaman yang benar tentang hakikat hidupnya. Sehingga mampu menjadi problem solver bukan trouble maker. Dengan menjalankan kewajibannya sebagai individu yang berbudi maka akan otomatis menjaga hak orang lain.
Kemudian, setiap keluarga harus mempunyai visi yang kokoh untuk mewujudkan generasi cemerlang. Lagi-lagi pemahaman agama ialah landasan utama dalam keluarga. Menjalani kehidupan berkeluarga dengan penuh kasih sayang dan tanggung jawab.
Selain itu, masyarakat berfungsi sebagai kontrol sosial. Menganut dan memandang tinggi norma agama. Berpartisipasi dalam penanggulangan segala problematika dan menganggapnya sebagai masalah bersama yang harus diselesaikan. Sehingga masyarakat saling bahu-membahu melakukan perbaikan dan kontrol sosial. Dalam hal ini kontrol sosial bukanlah pengekangan terhadap hak. Melainkan upaya untuk menjaga hak-hak masyarakat seluruhnya agar hidup dengan aman dan selamat.
Di sinilah peran negara sebagai tameng terdepan. Menjamin kebutuhan pokok masyarakat dengan mengoptimalkan SDA yang berlimpah. Sehingga, kesulitan ekonomi tidak menjadi alasan lagi untuk melakukan segala tindak kejahatan. Membina masyarakat dengan pemahaman yang benar lalu menyediakan fasilitas pendidikan dengan mudah. Sehingga masyarakat mempunyai wawasan luas, beradab, dan memiliki ketinggian berpikir.
Selain itu, negara memberlakukan sistem pergaulan dalam kehidupan umum. Misalnya, dengan melarang campur baur antara lawan jenis kecuali untuk kebutuhan yang dibenarkan agama (pengobatan, pendidikan, dan lain-lain). Juga mengawasi, memfilter, dan menindak segala hal yang merusak terutama dalam revolusi 4.0 ini.
Terakhir, negara memberlakukan sanksi yang tegas dan membuat jera bagi setiap pelaku baik pelaku kekerasan seksual maupun penyimpangan lainnya.
Sungguh sangat memungkinkan kekerasan seksual maupun penyimpangan lainnya dapat terselesaikan, apabila semua unsur di atas berjalan dengan koordinasi dari negara sebagai tameng utama. Dan Islam mempunyai seluruh peraturan yang diperlukan.
Dengan demikian, memberantas kekerasan tanpa menindak penyimpangan bukanlah suatu jalan. Melainkan menjadi masalah yang tak terselesaikan. Ingatlah kebebasan yang kebablasan akan membawa negeri ini pada kehancuran. Menjalankan hak dan kewajiban secara seimbang akan mengurangi korban kezaliman. Suatu kesalahan fatal apabila mendewakan hak tanpa menyadari kewajiban. Bukankah kita negara beradab dan berketuhanan?
Wallahu’alam.