Oleh: Ernadaa Rasyidah
(Member Akademi Menulis Kreatif)
Bulan Maret menjadi bulan euforia bagi kaum feminis dunia, tidak terkecuali di Indonesia. Bermula sejak Aksi Women’s March yang pertama kalinya digelar di Taman Pandang Istana, Jakarta, 4 Maret 2017 lalu. Aksi yang diikuti oleh perempuan, laki-laki, hingga transgender Itu secara massif mengusung jargon “Memperjuangkan hak-hak perempuan” dengan mengatasnamakan gender equality/kesetaraan gender. Aksi tersebut sekaligus menjadi ajang pengakuan atas eksistensi kaum feminis di dalam negeri.
Gencarnya arus opini yang dilakukan kaum feminis Barat, kini merambah ke negeri-negeri dengan mayoritas penduduk beragama Islam. Tidak sedikit perempuan Islam mulai mengadopsi paham feminisme, bahwa perempuan Islam harus bangkit memperjuangkan hak-haknya sebagaimana perempuan-perempuan Barat. Namun, langkah perempuan-perempuan Islam yang mulai terwarnai oleh ide feminisme seolah dihadang oleh nilai-nilai dan hukum agama yang masih membudaya di kalangan masyarakat. Kaum feminis menganggap aturan Islam mendiskriminasi perempuan.
Dalam narasi sesat mereka, menggunakan jilbab dan kerudung bagi perempuan di ranah publik dianggap sebagai bentuk kekerasan dan diskriminasi, karena menurutnya lagi, “tubuhku otoritasku”. Sebut saja Hannah Al Rashid seorang aktivis feminis liberal yang melontakran ucapan kontroversi “Mayoritas perempuan Indonesia berpakaian sopan dan tertutup saat mereka mengalami pelecehan, itu fakta kata dia melalui akun jejaring sosial miliknya.Hingga sampai pada sebuah kesimpulan “Tutup aurat bukanlah solusi!” lanjutnya.
Setali tiga uang dengan pernyataan yang dilontarkan oleh Grace Natalie, selaku ketua umum Paratai Solidaritas Indonesia (PSI) yang mengatakan poligami sebagai bentuk ketidakadilan dan menjadi penyebab perceraian. Hal ini jelas sebuah kekeliruan, sebuah narasi sesat yang berupaya menggiring masyarakat menjadikan realitas sebagai dalil argumentasi, bukan sebagai objek yang harus dihukumi.
Serangan massif kaum feminis dan liberal terhadap hukum-hukum Islam, jika ditelusuri lebih jauh berangkat dari paradigma tertentu yang menjadi landasannya.
Pertama, Hak Asasi Manusia (HAM), berdalih HAM yang berpedoman pada kebebasan manusia. Bebas berkeyakinan, bebas berpendapat, bebas bertingkah laku dan bebas memiliki. Sebuah instrumen yang menjamin setiap orang bisa mendapatkan kebebasannya. Sekalipun nyata hal tersebut sebagai perbuatan buruk seperti prostitusi, seks bebas dan LGBT yang bertentangan dengan hukum Allah, terus dibela dan diperjuangkan atas nama HAM.
Kedua, demokrasi yang merupakan turunan ideologi kapitalis liberal, meletakkan kedaulatan membuat hukum di tangan manusia, sehingga hukum Allah harus diuji oleh nalar / otak manusia yang terbatas. Standar halal dan haram dalam perbuatan manusia yang telah ditetapkan Allah, misalnya kewajiban menutup aurat, dianggap sebagai pengekangan dan tindakan diskriminasi bagi perempuan.
Ketiga, Islamphobia, yaitu sebuah ketakutan berlebihan terhadap penerapan hukum-hukum Islam sebagai aturan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Mereka terus menggiring opini bahwa, jika aturan Islam diterapkan, maka perempuan yang paling banyak mendapatkan tindakan diskriminasi. Seperti, hal kepemimpinan laki-laki atas perempuan, hukum waris, hak talak, izin istri dan lain-lain. lagi-lagi standar akal menjadi penentu sebuah kebenaran, gambaran parsial penerapan hukum-hukum islam dijadikan celah untuk menolak aturan Islam secara menyeluruh.
Jika kita telusuri dengan cermat, ide pembebasan perempuan muncul sebagai respon dari ketidakberhasilan sistem kapitalisme (liberalisme) dan sosialisme dalam mengayomi masyarakatnya. Ketimpangan-ketimpangan yang terjadi akibat ke dua sistem tersebut memicu dan menumbuhsuburkan isu penindasan dan pelecehan hak-hak perempuan. Perempuan tidak lebih sebagai objek kapitalisasi, bahkan tidak sedikit perempuan yang mengeksploitasi dirinya hanya untuk kepentingan materi.
Berbeda halnya dengan kapitalisme dan sosialisme, Islam adalah agama sekaligus sistem kehidupan, yang penerapan hukum-hukumnya secara kaffah akan melahirkan jaminan kehormatan dan kemuliaan perempuan. Islam memposisikan perempuan sesuai fitrahnya, sebagai ummu wa robbatul bayt, ibu dan pengatur rumah tangganya. Aturan Islam menegaskan bahwa perempuan adalah kehormatan yang harus dijaga, Islam bahkan mewajibkan laki-laki untuk mengorbankan hidup mereka demi membela kemuliaan perempuan
Sebagaimana sabda Nabi saw yang artinya “Perempuan adalah saudara kandung para lelaki. Tidaklah memuliakan perempuan kecuali orang mulia dan tidak menghinakan mereka kecuali orang hina”. Hukum-hukum islam tentang kepemimpinan laki-laki atas perempuan, kewajiban menutup aurat, larangan safar tanpa mahrom, nyata merupakan bentuk perlindungan atas kemuliaan perempuan.
Sebuah kisah heroik seorang Khalifah al-Mu’tashim Billah. Ketika terjadi pelecehan terhadap seorang perempuan di negeri Amuria. Dia memanggil-manggil nama Al-Mu’tashim, serta merta sang Khalifah mengirim surat untuk Raja Amuria, “Dari Al-Mu’tashim Billah kepada Raja Amuria, Lepaskan wanita itu atau kamu akan berhadapan dengan pasukan yang kepalanya sudah di tempatmu, sedangkan ekornya masih di negeriku. Mereka mencintai mati syahid seperti kalian mencintai khamar!”
Singgasana Raja Amuria bergetar membaca surat itu, lalu wanita itu di bebaskan kemudian Amuria ditaklukkan oleh tentara kaum Muslim.
Jelaslah bahwa feminisme, adalah racun yang yang dibalut dengan madu di balik jargon perjuangan hak-hak perempuan. Menjauhkan perempuan dari fitrahnya, melahirkan manusia pongah penentang aturan Tuhannya. Teruslah perjuangkan tegaknya aturan Islam, syariah dan khilafah yang dengannya hukum Islam dilaksanakan secara sempurna, menebar rahmat ke seluruh penjuru alam. Dengannya ketentraman, kehormatan dan kemuliaan perempuan akan terwujud.
Wallahu a’lam bi ash- shawwab