Oleh.Hana Annisa Afriliani,S.S
(Penulis Buku “Menikah Rasa Jannah)
MuslimahTimes— Benarlah adanya bahwa pernikahan akan menghadirkan kewajiban baru bagi seorang perempuan, yakni kewajiban taat kepada suami. Sejatinya pernikahan menjadikan tanggungjawab atas seorang perempuan berpindah, dari yang semula diemban oleh ayahnya, lalu berpindah ke pundak suaminya. Maka usai akad terucap, suami menjadi halal kepemimpinannya atas istrinya. Namun bukan kepemimpinan layaknya bos dengan karyawan, melainkan kepemimpinan bernafaskan persahabatan.
Maka, kepemimpinan seorang suami atas istrinya bukanlah kepemimpinan yang diktator, yakni tidak memberi ruang kepada istri untuk menyampaikan keinginannya, melainkan hanya perintah satu arah saja. Tidak. Sungguh Rasulullah saw tak pernah mencontohkan yang demikian. Beliau senantiasa memperlakukan istri-istrinya selayaknya seorang sahabat, yakni memanjakannya, mendengarkan curhatannya, menjaga perasaannya, memanggilnya dengan panggilan terbaik, bahkan mencandainya.
Maka, seorang suami yang shalih sudah selayaknya mencontoh Rasulullah saw perihal mewujudkan persahabatan dengan istri. Sehingga pernikahan laksana mutiara yang selalu terasa berharga, meski usianya terus merangkak senja.
Hal-hal yang harus diperhatikan seorang suami terhadap istrinya adalah:
Pertama, memahami perasaan istri. Bagi sebagian laki-laki, ini tentu bukan hal yang mudah, mengingat adanya perbedaan karakter yang cukup mencolok antara laki-laki dan perempuan secara fitrahnya. Perempuan lebih halus perasaannya ketimbang lelaki. Maka banyak ditemui kasus, suami yang kurang peka terhadap apa yang dirasakan oleh istrinya. Bisa jadi ia tersinggung dengan perkataan suaminya, tapi suami cuek saja, tidak meminta maaf. Ini bisa menjadi polemik jika di biarkan terjadi berulang-ulang. Dan tentu, jalinan persahabatan di antara keduanya akan sulit terwujud.
Kedua, berikan sentuhan cinta. Kadang kata-kata tidak mampu mengalahkan kekuatan sebuah sentuhan. Sebuah usapan lembut di kepala istri atau kecupan hangat di kening lebih mampu memberikan kehangatan jiwa bagi istri ketimbang sekadar kata-kata romantis. Jika hal tersebut dilakukan sebagai sebuah rutinitas, niscaya ikatan persahabatan di antara keduanya akan semakin erat. Ada mahabbah yang menjadi pengikatnya.
Ketiga, tidak mudah menghakimi. Jika istri melakukan kesalahan, maka tegurlah dengan cara yang makruf, tidak menyudutkan perasaannya apalagi memakinya. Nasehatilah dengan kelembutan dan jangan sekali-kali menasehatinya di depan umum, karena hal tersebut hanya akan menghancurkan harga diri istri. Tutuplah rapat-rapat aib istrimu. Bukankah suami adalah pakaian bagi istri dan istri adalah pakaian suami? Maka, saling menjaga rahasia dalam rumah tangga adalah keharusan. Cukuplah keburukannya tersimpan dalam bilik pernikahan berdua.
Keempat, membantu istri dan meringkankan pekerjaannya. Kewajiban istri adalah mengurus rumah, mengasuh anak-anak, dan melayani suami. Akan tetapi bukan berarti suami berlepas tangan terhadap semua itu. Suami yang shalih akan senantiasa membantu pekerjaan istrinya di saat istri membutuhkannya. Misalnya, membantu menyapu lantai, atau sekadar menjaga anak-anak saat istri ada agenda ke luar rumah. Hal tersebut merupakan cermin persahabatan dalam rumah tangga.
Sungguh menjadi sahabat bagi istri membutuhkan pondasi iman yang kokoh. Sebab dengan iman, kita akan mampu mengendalikan diri untuk senantiasa bersikap baik terhadap istri kita sebagaimana yang telah digariskan syara. Adapun sikap baik terhadap istri akan mewujudkan ikatan persahabatan. Dan ikatan persahabatan akan mencipta bangunan rumah tangga yang kokoh, penuh kebahagiaan.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya dan sebaik-sebaik kamu adalah orang yang paling baik kepada istrinya.” (HR.Tirmidzi)
[Mnh]