Oleh: Ifa Mufida ( Praktisi Kesehatan dan Pemerhati Masalah Sosial)
MuslimahTimes— Kita ketahui bahwa tanggal 8 Maret diperingati sebagai International Women’s Day atau Hari Perempuan Internasional. Sejak tahun 1977, peringatan tersebut diresmikan sebagai perayaan tahunan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk memperjuangkan hak perempuan dan perdamaian dunia. Pada 2019 ini, selebrasinya mengangkat tema “balance for better”. Dalam situs resminya, International Women’s Day mengungkapkan alasan kenapa “balance for better” menjadi tema pada 2019 ini.
Tema tersebut diambil tidak lain ditujukan untuk kesetaraan gender, kesadaran yang lebih besar tentang adanya diskriminasi dan merayakan pencapaian perempuan. Hal ini termasuk mengurangi adanya gap pendapatan atau gaji pria dan wanita. Memastikan semuanya adil dan seimbang dalam semua aspek, pemerintahaan, liputan media, dunia kerja, kekayaan dan dunia olahraga (detik.com, 8/4/2019).
Ya, setiap tahun Hari Perempuan Internasional tak luput diperingati di berbagai negara. Tak terkecuali Indonesia. Sebagaimana Pak Jokowi juga menuliskan berkenaan dengan selebrasi ini, “Saatnya perempuan makin aktif berkarya dan bisa mendapatkan hak-haknya untuk kehidupan lebih tenteram, makmur, dan kehidupan yang semakin berkeadilan”.
Jika kita amati, meski ada peringatan Hari Perempuan Internasional yang dilakukan tiap tahun, nyatanya problematika yang dihadapi perempuan tak kunjung usai. Bahkan semakin pelik seiring berjalannya masa.
Padahal sejatinya, Hari Perempuan Internasional lahir sebagai jawaban untuk perjuangan hak-hak perempuan. Mengusung isu yang sama setiap tahunnya, kesetaraan dan keadilan gender menjadi isu yang terus diperjuangkan oleh aktivis feminisme. Dalam kacamata mereka, konsep kesetaraan dan keadilan gender yang dicita-citakan belumlah tercapai. Mengingat perempuan masih menjadi strata kelas dua dalam ruang-ruang ekonomi, politik, sosial, budaya dan hukum.
Maka layak jika muncul tanda tanya besar kenapa perjuangan hak-hak perempuan ini justru menjadi blunder, dan tidak pernah menemukan titik terang? Dan seberapa penting selebrasi ini untuk perempuan yang pada faktanya saat ini hari demi hari perempuan justru tidak mendapatkan posisi yang dimuliakan dan dihormati di masyarakat.
Nyata, pelecehan terhadap kehormatan perempuan terus meningkat, baik mereka yang berada di ruang publik ataupun mereka yang memilih untuk menjalankan tugas sebagai ibu rumah tangga. Contoh nyata, di Indonesia saat ini prevalensi tertinggi yang mengidap HIV AIDS adalah dari kalangan Ibu Rumah Tangga. Belum lagi pemberitaan pelecehan seks pada perempuan yang marak terjadi di tempat kerja hari demi hari semakin banyak ditemukan. Harusnya ini menjadi pertanyaan bagi para aktivisnya, dan juga perempuan secara umum. Apakah yang salah dengan ini semua?
Kalau kita menilik lahirnya Hari Perempuan Internasional, maka moment ini dilatarbelakangi oleh potret kelam kondisi perempuan di barat. Negara barat yang mengemban kapitalisme memiliki paradigma mendasar yaitu memandang perempuan adalah salah satu objek ekonomi. Perempuan diperas keringatnya untuk menggerakan roda perekonomian negara dengan upah murah. Sementara hak-haknya tidak dipenuhi dengan layak. Inilah yang memicu kelahiran feminisme barat yang mencetuskan Hari Perempuan Internasional. Selebrasi ini ada sebagai simbol perjuangan kesetaraan dan keadilan gender.
Paradigma sesat inilah yang menjadikan perempuan tersandera oleh kapitalisme hingga kini. Sementara berbagai solusi yang ditawarkan kapitalisme ternyata tak mampu menuntaskan problematika perempuan. Sebaliknya menjadi biang kehancuran masa depan perempuan dan generasi. Contoh saja perjuangan untuk mendapatkan 30 persen kursi di parlemen yang berhasil diraih, nyatanya tidak memberikan kontribusi solutif untuk menyelesaikan masalah perempuan.
Bahkan sebaliknya, solusi yang ditawarkan kapitalisme di satu sisi telah berhasil menarik perempuan berkiprah seluas-luasnya di ranah publik, sebagai penggerak perekonomian negara. Sedangkan fitrahnya sebagai ibu generasi sukses dikebiri. Alhasil kerusakan tatanan keluarga dan masyarakat menjadi ancaman. Sebab minimnya peran ibu sebagai al-umm wa rabbatul bait dan madrasah ula bagi anak-anaknya.
Sungguh kerusakan remaja dan generasi muda saat ini nyata, buah dari penerapan sistem kapitalis-liberal yang telah sukses merusak tatanan keluarga dengan ide-ide nya. Pun juga, sistem ini telah sukses dengan prestasi mirisnya merusak tatanan kehidupan masyarakat sehingga terjadi kerusakan sosial, bahkan ibu yang hanya berkutat di dalam rumah juga terkena imbasnya.
Maka solusi untuk perempuan pada khususnya dan masyarakat pada umumnya atas kerusakan moral ini hanya dengan membuang sistem bobrok ini dan kembali kepada peraturan Islam saja. Islam memandang bahwa perempuan dan laki-laki mendapatkan kemuliaan yang sama dari Allah Ta’ala. Kemudian di antara lelaki dan perempuan, siapapun yang berusaha beramal yang terbaik, maka ialah yang tertinggi di mata Allah Ta’ala.
Sebagaimana firman Allah Ta’ala : “Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu.” (TQS. Al-Hujuraat [49]:13).
Sebagaimana laki-laki, hak-hak wanita juga terjamin dalam Islam. Pada dasarnya, segala yang menjadi hak laki-laki, ia pun menjadi hak wanita. Misal, di dalam Islam laki-laki dan perempuan memiliki hak dan kewajiban yang sama untuk menuntut ilmu, beribadah, dan berdakwah. Hanya saja, Islam telah menetapkan fitrah yang berbeda antara laki-laki dan perempuan yang menjadikan di antara keduanya memiliki peran utama yang berbeda. Misal, fitrah perempuan yang dikaruniai rahim oleh Allah SWT, menjadikan memang secara fitrah, wanita lah yang berkompeten untuk melakukan aktivitas pengasuhan untuk anak mereka. Sedang ketika Allah SWT menciptakan laki-laki dengan fisik yang kuat maka mereka lah yang mendapatkan taklif untuk wajib bekerja dan mencari nafkah untuk keluarga. Dan kewajiban ini pun difasilitasi oleh negara, di mana negara menjamin setiap laki-laki untuk bisa bekerja dan menjamin nafkah untuk keluarganya.
Meski fitrah perempuan adalah di rumah menjadi pengasuh anak-anak mereka, bukan berarti Islam melarang mereka untuk beraktivitas di luar rumah. Bahkan, bisa jadi ada peran mereka yang sangat dibutuhkan di masyarakat, misal profesi perempuan sebagai dokter kandungan atau bidan, bahkan yang lebih utama adalah peran perempuan di dunia pendidikan, dsb. Hanya saja keberadaan mereka di ruang publik di sistem kapitalis-liberal, tidak mendapatkan perlindungan dan penghormatan sebagaimana ketika mereka berperan di dalam sistem Islam.
Islam menjamin keberadaan perempuan di ruang publik dalam kondisi yang terhormat karena Islam menjaga mereka dengan syarat menutup aurat, dimana di sistem kapitalis-liberal justru menjadikan tubuh wanita menjadi objek ekonomi yang bisa dijual. Tak sedikit pula perusahaan dan instansi yang melarang perempuan menutup aurat di tempat kerja mereka. Interaksi laki-laki dan perempuan pun tidak terjaga di sistem saat ini sehingga menjadikan pelecehan seksual kepada perempuan marak terjadi. Sistem aturan kerja saat ini pun sering tidak memberikan ruang kepada perempuan untuk bisa melaksanakan peran utama mereka sebagai ibu dan pendidik generasi yang ini sangat berbeda dengan ketika sistem Islam diterapkan.
Maka dari sini kesamaan hak dan kesejahteraan perempuan hanya bisa diraih jika Islam diterapkan di seluruh lini kehidupan.
Peringatan “Internasional Women’s Day” tahun ini pun yang mengusung tema “balance for better” dipastikan hanya akan menjadi selebrasi seremonial saja tanpa ada efek berarti bagi perempuan jika masih mengusung ide feminisme buah dari kapitalis-liberal. Karena feminisme nyata justru menyengsarakan perempuan, dengan tanpa penghormatan kepada perempuan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam padahal sering mengingatkan dengan sabda-sabdanya agar umat Islam menghargai dan memuliakan kaum perempuan. Di antara sabdanya: “Aku wasiatkan kepada kalian untuk berbuat baik kepada para wanita.” (HR Muslim: 3729).
Agamanya, hartanya, kehormatannya, akalnya dan jiwanya terjamin dan dilindungi oleh syariat Islam sebagaimana kaum laki-laki. Maka perempuan sekali lagi tidak membutuhkan adanya perayaan hari perempuan internasional atau kesetaraan gander dan feminisme yang ditawarkan barat untuk mengangkat derajat dan kehormatannya. Karena ide itu yang lahir dari kapitalisme-liberal. Sebaliknya ide tersebut telah menyandera kehormatan dan kesejahteraan perempuan.
Perempuan, muslimah khususnya memerlukan hadirnya Islam yang diterapkan dalam kehidupan secara menyeluruh yang akan mengembalikan kemuliaan hakikinya. Wallahu A’lam bi Showab.
[Mnh]