Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
Anggota Revowriter Sidoarjo
MuslimahTimes— Sejak Rasulullah hijrah ke Madinah, Islam menjadi satu-satunya pengatur kehidupan bernegara. Baik bagi muslim maupun non muslim. Alquran membumi, menjadi standar perbuatan dan arah pandang kehidupan. Di dakwahkan ke seluruh penjuru negeri. Semua tersentuh cahaya kebenaran dan kemuliaannya. Tak terkecuali perempuan.
Islam menerapkan penghargaan kepada perempuan dengan memuliakannya. Hingga ketika turun ayat terkait menutup aurat, para perempuan kaum mukmin bersegera menggunakan apapun untuk menutupi auratnya. Tak cukup di situ, dengan tersuasanakannya keimanan secara konsisten, para perempuan itu bertanya kepada Rasulullah tentang kewajiban yang ada pada mereka agar tak ada yang salah. Agar mereka sempurna mendapat balasan kebaikan dari Allah SWT.
Hadist yang masyur ketika Ummu Athiyah mengisahkan bagaimana seharusnya perempuan keluar rumah untuk merayakan Iduf Fitri atau Idul Adha dan sekaligus menanyakan bagaimana jika ada perempuan yang tak punya pakaian untuk dia kenakan keluar.
Atau ketika Hindun mendatangi Rasulullah untuk meminta keputusan terkait nafkah dari Abu Sufyan yang tidak cukup padahal Abu Sufyan seorang yang berada. Atau ketika ada perempuan yang berzina lantas datang kepada Rasulullah dan minta untuk dirajam. Dosa besar yang telah ia perbuat, mengantarkannya pada sebuah pertaubatan yang agung. Ia dirajam di kota Madinah. Taubatnya setara dengan taubat 70 warga Madinah. Bahkan, Rasul pun ikut mensholatkannya.
Sistem Islam benar-benar telah memberikan pendidikan yang baik kepada perempuan tentang mendapatkan hak-haknya (domestik maupun publik) tanpa mencabut kehormatan dan fitrahnya. Dan tak perlu kuota suara tertentu. Semua sama di hadapan syariat, baik laki-laki maupun perempuan.
Menyedihkan, hal yang demikian hari ini telah perlahan terkikis. Sejak dunia Islam menerima barat dengan tangan terbuka. Perlahan-lahan mengikuti apa yang menjadi tuntutan kaum kufar. Sekalipun telah berkali-kali ditikam dengan ide sekulerisme yang bobrok, merusak dan menghinakan peradaban Islam yang tinggi. Namun kaum muslimin enggan berpaling. Barat menuntut hak-hak perempuan untuk bebas, yang nyatanya malah mencabut fitrah dan merusak kehormatannya. Barat berusaha menutupi sejarah sistem Islam yang benar dalam mengurus perempuan dan menggantinya dengan info-info “hoaks” yang menjelekkan ajaran dan sistem Islam. Yang paling sering adalah tuduhan Islam mendiskriminasi perempuan. Dalam berpolitik misalnya.
Berbagai perjanjian, perundingan dan diskusi seputar perempuan terus digagas. Seakan-akan diperjuangkan untuk kemuliaan perempuan. Jargon yang mereka usung sungguh usang. Agar nasib perempuan menjadi lebih baik.
Salah satu upaya untuk meningkatkan peran perempuan di ranah politik di antaranya dilakukan dengan menerbitkan peraturan perundang-undangan yang dapat menjamin peningkatan keterwakilan perempuan di kursi DPR. Peraturan ini dirumuskan dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang di dalamnya juga mengatur pemilu tahun 2009.
UU No. 2 Tahun 2008 memuat kebijakan yang mengharuskan partai politik menyertakan keterwakilan perempuan minimal 30% dalam pendirian maupun dalam kepengurusan di tingkat pusat. Angka ini didapat berdasarkan penelitian Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang menyatakan bahwa jumlah minimum 30 persen memungkinkan terjadinya suatu perubahan dan membawa dampak pada kualitas keputusan yang diambil dalam lembaga-lembaga publik ( tirto.id, 7/09/2017).
Sejak saat itu perempuan termakan dengan pendapat yang tidak berdalil tersebut, hanya karena PBB yang merekomendasikan belum tentu menjadi sebuah kebenaran. Buktinya, hingga hari ini nasib perempuan masih jalan di tempat. Yang terjadi kemudian, perempuan berebut eksistensi di ranah publik agar diakui sebagai perempuan. Racun sekulerisme demikian pekat, meracuni pemikiran kaum perempuan di era masa kini. Rela melepas fitrah keibuan dan pengatur rumah tangga karena ‘ tuntutan keadaan’. Padahal mereka tak lebih dari mesin uang dan barang eksploitasi tak terkendali para kapitalis.
Saatnya kita kembali kepada peradaban yang agung yaitu Islam. Yang memuliakan perempuan sejak ia dilahirkan ke dunia. Yang tak butuh 30% suara agar perempuan sejahtera. Namun mampu menjamin individu perindividu, menikmati perannya di ranah khusus, bersama keluarganya ataupun diranah publik bersama masyarakat di mana ia tinggal. Wallahu a’lam biashowab.