Oleh Kholda Najiyah
Founder Revowriter, Pimred Muslimahtimes
MuslimahTimes— “Yang saya lakukan pada dasarnya hanya menunggu dan berdoa, ‘Ya Tuhan, saya mohon agar orang ini kehabisan peluru’,” ujar saksi mata tragedi pembantaian di salah satu masjid di Christchurch, Selandia Baru. Penyintas yang tidak disebutkan namanya ini mengatakan kepada TV New Zealand, dia melihat pelaku bersenjata menembak seorang pria pada bagian dada. Dia memperkirakan penembakan berlangsung 20 menit dan sedikitnya 60 orang cidera.
Pelaku dilaporkan menyasar ruang salat bagian pria di masjid, kemudian beralih ke ruang perempuan. “Dia datang ke bagian sini, dia menembak bagian sini. Dia lalu beranjak ke ruangan lain dan ke bagian perempuan kemudian menembak mereka. Saya mendengar salah seorang perempuan meninggal dunia,” sambungnya.
Demikian suasana mencekam pembantaian berdarah itu. Perdana Menteri Selandia Baru, Jacinda Ardern menyebut tragedi ini sebagai “salah satu hari terkelam di Selandia Baru.” Dari korban tewas, menurut Ardern, sekitar 30 di antara mereka meninggal dunia di masjid Al Noor di dekat Hagley Park, pusat Kota Christchurch. Adapun lainnya tewas di Masjid Linwood, pinggiran kota.
ISLAMFOBIA
Ya, ini adalah serangan paling brutal teroris kafir kepada umat Islam yang dilakukan oleh perorangan. Selain memberondong jamaah yang sedang ibadah, salah satu pelaku merekam secara live aksi kejinya, Brenton Tarrant. Jagal berdarah dingin itu sempat menayangkan aksi brutalnya via layanan live streaming di internet.
Pelaku yang notabene warga Australia itu, diduga terinspirasi oleh paham Islamfobia atau sentimen anti-Muslim. Ia benci para imigran yang notabene bukan berkulit putih. Padahal warga kulit putih di Australia dan Selandia Baru sendiri adalah imigran yang menggusur penduduk asli, bangsa aborigin.
Buntut aksi itu, para ulama di Federasi Dewan Islam Australia (AFIC) menyerukan agar masjid dan jamaah Muslim di seluruh Australia ekstra waspada. Presiden AFIC Rateb Jneid mengatakan, politisi harus menyadari konsekuensi dari suasana “kebencian dan perpecahan.” Seperti diketahui, di Australia, sentimen anti-Islam lumayan kencang disuarakan. Termasuk oleh politisi.
Senator perempuan Muslim pertama Australia, Mehreen Faruqi, mengutuk sentimen hal itu, terutama politisi sayap kanan seperti Pauline Hanson dan Fraser Anning. “Ada darah di tangan para politisi yang menghasut kebencian. Bagi saya, ada hubungan yang jelas antara politik kebencian mereka dan kekerasan yang memalukan dan tidak masuk akal di Christchurch ini,” unggahnya di Twitter.
RASIALIS
New Zealand yang dikenal negara damai, rupanya menyimpan rasialisme sebagai api dalam sekam. Menjadi bom waktu yang akhirnya meledak. Memang tak hanya di negeri ini, di negara-negara kafir masih ada akar rasialisme ini. Terutama, rasialis terhadap umat Islam. Mengapa? Seperti kebanyakan negeri makmur lainnya, New Zealand adalah magnet. Para imigran hilir mudik mendatanginya. Termasuk pendatang Muslim, tentu saja. Bahkan, warga Indonesia banyak yang sukses menjadi pengusaha di sana. Petani atau peternak besar yang modern.
Sejauh ini, warga kulit putih yang mendominasi. Terutama di kursi pengambil kebijakan. Mereka, tentu saja, asal muasalnya juga pendatang. Menggusur penduduk asli New Zealand yang notabene bukan berkulit putih. Sehingga, ketika pelaku pembantaian Muslim mengaku anti-imigran, anti-Islam, antikulit hitam atau cokelat, sejatinya salah alamat. Harusnya berkaca. Ia sendiri siapa?
Andai ada yang berhak benci kaum imigran, seharusnya suku bangsa asli di sana. Semisal suku Maori yang juga masih eksis. Faktanya, mereka ada juga yang masih rasialis. Artinya, tidak suka dengan dominasi kulit putih di negaranya. Namun, apakah sikap ini dibenarkan? Tentu saja tidak. Apapun alasannya, rasialis tidak boleh eksis.
PELINDUNG HAKIKI
Dalam kacamata dunia modern, dalam pergaulan dunia yang kian global, adalah pemikiran sempit jika masih mempersoalkan masalah ras. Bagaimana dengan persoalan agama? Bukankah agama juga menjadi pemicu tindakan rasialis? Tentu saja tidak, jika kita memahami agama dari sudut pandang yang benar. Yaitu, dengan kacamata Islam.
Sungguh. Allah SWT menciptakan manusia dalam berbagai bentuk, suku dan bangsa agar saling mengenal. Saling bekerjasama. Saling berinteraksi. Saling memahami. Islam diturunkan untuk mengatur urusan ini dalam segala lini. Termasuk, mengajarkan bertoleransi.
Islam tidak mengajarkan membedakan manusia dari warna kulit atau suku bangsanya. Yang membedakan hanya ketakwaannya saja. Islam tidak pernah memerintahkan pembantaian terhadap yang berbeda agama. Bahkan dalam konteks negara, Islam melindungi seluruh warga negaranya meski beragam keyakinan dan suku bangsa.
Seperti dicontohkan di era Rasulullah SAW dan Khulafaur Rasyidin, semua penganut agama, ras, suku dan golongan dilindungi. Tidak ada persekusi dan perundungan, apalagi pembantaian besar-besaran. Semua hidup berdampingan dengan damai. Hingga tahun 1924 ketika Khilafah Islamiyah dihapuskan dari dunia. Diganti era penjajahan ideologi sekular.
Di era sekular inilah, rasialisme kembali tumbuh subur. Agama dituduh pemicu kebencian. Bahkan ungkapan ‘kafir’ pun dianggap memicu kebencian. Padahal siapa pembenci sesungguhnya? Siapa teroris sebenarnya yang selalu berupaya memerangi umat Islam? Umat Islam tidak pernah mengajarkan kebencian pada umat lain. Bahkan berniat menegakkan aturan Islam juga untuk melindungi mereka. Mengapa?
Tragedi berdarah di New Zealand hanyalah satu dari sekian banyak pembantaian terhadap umat Islam. Pelakunya hanya perorangan, tiga laki-laki dan satu perempuan. Itupun sudah merenggut 49 nyawa (sampai tulisan ini dibuat). Tapi, tengoklah pembantaian demi pembantaian terstruktur yang dilakukan oleh terorisme bernama negara. Jutaan umat Islam telah tercerabut nyawanya. Di Iraq, Afghanistan, Yaman, Syuriah, Myanmar dan terbaru di China. Siapa yang melindungi nyawa mereka?
Inilah mengapa Islam butuh persatuan. Islam harus bangkit menjadi negara agar mampu melawan negara-negara penjajah sekular yang membantai umatnya. Tak lain adalah Khilafah, pelindung dan perisai hakiki bagi umat manusia.
[Mnh]