Oleh: Fahmiyah Tsaqofah Islamiy
MuslimahTimes— Prestasi keji Mustafa Kemal Attaturk memecahbelah kaum muslimin yang bersatu dalam Kekhilafahan Utsmani menjadi negara-negara kecil di dunia nampak begitu lestari hingga hari ini. Sebagaimana yang dicatat oleh sejarah, pada 3 Maret 1924 terjadi penghapusan Khilafah oleh Mustafa Kemal Attaturk, seorang pengkhianat Khilafah berketurunan Yahudi Dunamah dengan bantuan Inggris -La’natullah alayhi-.
Berbagai konspirasi digencarkan Mustafa demi meruntuhkan Khilafah. Mulai dari menciptakan stigma terhadap Khilafah Utsmani, mengopinikan modernisasi dengan paham sekularisme yang jauh dari Islam, memprovokasi pemberontakan di sejumlah wilayah untuk melepaskan diri dari Khilafah Utsmani, mendikte Khalifah (yang kala itu mulai melemah kredibilitasnya) supaya menandatangani berbagai perjanjian yang justru merugikan dunia Islam, mendirikan berbagai pusat kajian sebagai kedok gerakan mereka, memanfaatkan kaum misionaris untuk melakukan gerakan secara intensif di dunia Islam, bahkan mereka juga mengeksploitasi gerakan-gerakan Islam, seperti Gerakan Wahabi di Hijaz. Sejak pertengahan abad ke-18 M, gerakan ini telah dimanfaatkan oleh Inggris, melalui agennya, Ibnu Saud, yang seolah terlihat Islami namun berotak sekular, untuk menyulut pemberontakan di beberapa wilayah Khilafah, yakni Hijaz dan sekitarnya.
Maka tak heran, banyak kaum muslim yang apolitis sebab dibodohi dengan opini sekular oleh Barat, menganggap bahwa Arab Saudi tampil bak dunia Islam yang konsisten menerapkan syari’at, padahal sebenarnya tidaklah demikian. Konstelasi Barat di dunia Islam begitu mencengkeram, sehingga pengabaian terhadap penerapan hukum Islam semakin hari semakin telanjang didepan mata.
Bulan Februari 2019 lalu, Mohammed bin Salman (MBS) melakukan kunjungan ke Cina, negara komunis yang dituduh otoriter, untuk menandatangani perjanjian kunci dengan Beijing terkait dengan produksi energi dan industri kimia. Selama kunjungannya, ia juga tampak membela penggunaan kamp-kamp re-edukasi bagi populasi Muslim di Cina. “Cina memiliki hak untuk melakukan pekerjaan anti-terorisme dan ekstremisasi untuk keamanan nasionalnya,” kata putra mahkota Mohammed bin Salman seperti dikutip di televisi Tiongkok. (newsweek.com, 22/2/19)
Dukungan positif MBS ini jelas merupakan sikap kontraproduktif terhadap Islam dan kaum Muslimin. Padahal, kelompok-kelompok Uighur meminta Mohammed bin Salman menggunakan kunjungan resminya untuk menekan Cina pada masalah kamp konsentrasi ini. Sebab sebagaimana pandangan kaum muslimin kebanyakan, Arab Saudi secara tradisional dianggap telah menjadi pembela hak-hak Muslim di seluruh dunia.
Namun, dibawah kepemimpinan Mohammed bin Salman, Arab Saudi semakin terlihat sekular dan pragmatis. Bahkan, dalam beberapa waktu terakhir dikabarkan MBS menjalin hubungan diplomasi dengan Israel, negara kafir pelaku genosida muslim Palestina. Realita kini, Arab Saudi tak mewakili sedikitpun pembelaan terhadap Islam dan pemeluknya. Nyawa umat muslim begitu murah bercucuran dimana-mana.
Dunia Islam diam seribu bahasa, berjibaku pada pertahanan keamanan nasional, tak ingin beresiko walau jutaan muslim didera penyiksaan dan ancaman kematian. Sebab, pemimpin di Dunia Islam hari ini sejatinya tak mewakili Islam dan kaum Muslim secara kaffah. Mereka cenderung menanggalkan penerapan syari’at Islam, mereka ambil hukum-hukum Islam sebatas pada urusan Ibadah ritual semata. Sebaliknya, mereka merupakan antek-antek Barat yang setia pada misi propaganda-propaganda dan kepentingan Barat, dalam hal ini Amerika Serikat. Mereka diikat oleh Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) yang proaktif menjalankan sistem sekular liberal dalam setiap kebijakannya.
Penderitaan ini sejatinya tak akan pernah berakhir hingga Khilafah Islamiyah yang kedua tegak kembali di muka bumi. Menjaga kehormatan dan persatuan umat Islam, melindungi non Muslim yang taat pada syari’at selama berada dalam ri’ayah Khalifah, dan menciptakan Islam rahmatan lil ‘alamin yang sesungguhnya. Wallahu a’lam.
[Mnh]