Oleh Emma LF (Aktivis Forum Muslimah Indonesia / ForMind)
There is hope.
It is foolish to presume that my generation is apathetic and lethargic
It will be evident that my peers and I care about this earth
No longer can it be said that environmental destruction will be the norm
In the future I will live in a country of my own making
I do not concede that 30 years from now I will be celebrating the 10th anniversary of my divorce
Experts tell me this is a quick fix society but this will not be true in my era
Families stayed together
Once upon a time, I tell you this:
Family is more important than work
I have my priorities straight because my employer will know that they are not the most important thing in my life
So in 30 years I will tell my children: “Money will make me happy” is a lie, and “Happiness comes from within” (Jonathan Fleed dalam tulisannya yang berjudul “Lost Generation because of Gender Paradigm”).
Bagian mana dari konsep emansipasi perempuan dan persamaan gender yang kemudian membuat keluarga bahagia?
Sungguh, konsep yang menyasar para perempuan ini sangat meresahkan. Konsep ini tak pernah membuat sebuah keluarga menemukan kebahagiaan hakiki, namun justru membuat rumah tangga terasa hampa. Buat apa mengejar karir jika harus meninggalkan anak dalam kondisi yang lemah? Ya, lemah dari baiknya pengasuhan dan pendidikan terbaik dari ibunya sendiri.
Persamaan gender menginginkan perempuan equal (setara) dengan laki-laki di semua lini, buat apa? Ada banyak perempuan yang bekerja fulltime di luar rumah dengan gaji yang jauh lebih besar dari suaminya. Akan tetapi, buat apa itu semua jika kemudian para istri menjadi congkak dan merasa bisa mengurus rumah tangga tanpa sosok ayah bagi anak-anaknya? Yang ada hanyalah hampa. Tak ada keharmonisan. Yang ada hanyalah persaingan.
Apa yang kemudian bisa terjadi? Perselingkuhan. Perceraian.
Ini adalah fakta yang terjadi secara merata di banyak wilayah di Indonesia. Berdasarkan Catatan Tahunan Komnas Perempuan tahun 2018, terdapat 335 ribu kasus gugatan perceraian di Pengadilan Agama (www.cnnindonesia.com, 30/12/2018)
Sebagai contoh di Surabaya Jawa Timur. Dalam setahun terdapat 4.938 pasangan suami istri (pasutri) yang memutuskan untuk bercerai. Angka tersebut berdasar data Pengadilan Tinggi Agama (PTA) Surabaya yang dihimpun selama 2016. (jpnn, 01/08/2017).
Fenomena cerai gugat hampir dua kali lipat dibandingkan cerai talak. Ini menjadi tren baru. Dalam kasus itu, salah satunya disebabkan posisi perempuan yang lebih mandiri. Ini sejalan dengan pandangan para feminis dan aktivis gender bahwa emansipasi mendorong perempuan untuk bangkit dan perempuan tidak lagi dipandang sebagai sosok yang hanya mampu berkutat di dalam rumah, khususnya dapur.
Namun faktanya, dengan mindset yang menurut mereka “maju” tersebut justru membuat para perempuan berfokus pada karir dan memiliki kecenderungan untuk mengesampingkan keluarga. Beban pekerjaan yang sering terbawa hingga ke rumah sering memicu gesekan dengan sang suami.
Di Kabupaten Majalengka Jawa Barat, pertumbuhan industri di wilayah ini berbanding lurus dengan peningkatan angka perceraian dengan kasus cerai gugat. Tahun 2016 angka perceraian capai 4.535 perkara, meningkat dibanding tahun sebelumnya yang hanya 4.385 kasus. Kasus perceraian selalu didominasi oleh cerai gugat yang prosentasenya mencaipai 65 persen, sisanya sebesar 35 persen talak. Alasan yang disampaikan para penggugat ke Pengadilan Agama melakukan cerai gugat, hampir rata-rata karena kurang dinafkahi atau tidak dinafkahi. Suami-suami mereka sebagian memilih tidak bekerja setelah istrinya bekerja di pabrik. Lebih parahnya lagi suaminya suami selingkuh dengan wanita lain (www.pikiran-rakyat.com, 22/01/2017).
Contoh kasus lagi di Kabupaten Malang Jawa Timur. Sebanyak 5.998 kasus perceraian tercatat Pengadilan Agama (PA) Kabupaten Malang, Jawa Timur sejak Januari hingga Oktober 2018. Dari jumlah tersebut, 1.884 perkara merupakan cerai talak yang dilayangkan suami ke istri dan 4.114 merupakan gugat cerai yang dilayangkan oleh istri kepada suaminya. Dengan beban hidup yang semakin tinggi, faktor ekonomi menjadi salah satu penyebab banyaknya kasus perceraian yang terjadi di Kabupaten Malang. (news.okezone.com, 6/12/2018)
Sementara itu, aktivis dari Perempuan Mahardhika, Mutiara Ika Pratiwi, menyatakan bahwa perceraian bukanlah masalah yang harus dipersoalkan atau dianggap sebagai sesuatu yang buruk. Menurutnya, bercerai bukan indikator moral (www.cnnindonesia.com, 30/12/2018).
Pernyataan tersebut tentu membuat dahi kita berkerut. Kasus perceraian dari tahun ke tahun semakin menjamur dan sudah sedemikian parah membuat bangunan rumah tangga porak-poranda, bagaimana bisa kita mengatakan bahwa perceraian (khususnya cerai gugat) bukan masalah yang harus dipersoalkan?
Kita kembalikan lagi ke inti permasalahannya bahwa banyaknya kasus gugat cerai ini adalah karena menderasnya ide persamaan gender di tengah-tengah keluarga. Mindset kemandirian perempuan yang kebablasan ini yang menjadikan masalah dalam rumahtangga semakin meruncing. Memang Islam tidak melarang pasangan suami istri untuk bercerai jika memang itu adalah keputusan terakhir yang terbaik yang harus diambil. Namun tentu kita tahu bahwa Allah Subhanahu wa ta’ala membenci perceraian.
Bangunan keluarga dan rumahtangga adalah benteng terakhir bagi keluarga muslim.
Saat ini memang bangunan keluarga muslim yang harmonis tengah diserang dari segala penjuru oleh ide-ide kebebasan, sekular dan liberal. Selayaknya kita harus peka dan membuka mata terhadap hal ini.
Ide persamaan gender bukan berasal dari Islam. Ide ini berasal dari Barat yang notabene memiliki ideologi yang bertentangan dengan Islam. Bagaimana dengan soal perempuan bekerja? Berkarir bagi muslimah dibolehkan oleh syariat Islam, asalkan tetap bisa menjaga batasan-batasan hukum syariat dalam hal berpakaian (seperti menutup aurat secara sempurna dengan khimar/kerudung dan jilbab/gamis) dan menjaga interaksi dengan nonmahram (tidak berkhalwat/berdua-duaan dan berikhtilat/bercampur-baur laki-laki dan perempuan) kecuali untuk keperluan syar’i yang dibolehkan oleh syariat Islam.
Bekerja memang mubah namun jangan sampai melalaikan kewajiban utama perempuan sebagai ibu dan manajer utama dalam rumahtangga (al ‘umm wa rabbatul bait) apalagi menjadi pendukung ide-ide gender feminis. Na’uzu billahi minzalika.
Kita tahu bahwa ide persamaan gender bukannya memberikan solusi bagi rumahtangga sehingga menjadi semakin rukun dan harmonis, tapi justru mendorong para istri untuk bebas mengajukan gugat cerai dengan memberikan fasilitas konseling dan mendorong pemerintah untuk mengesahkan undang-undang yang memudahkan perceraian.
Allah Subhanahu wa ta’ala mensyariatkan pernikahan agar manusia bisa melanjutkan keturunan dan menjaga kelangsungan hidup manusia dengan seperangkat aturan yang membuat hidup manusia teratur alias tidak berantakan. Jika kemudian perceraian terus-menerus dibiarkan maka bisa-bisa terjadi lost generation karena konsekuensi alami dari pernikahan seperti memiliki anak dan keturunan menjadi terputus karena banyaknya perceraian.
Akar masalah perceraian sebenarnya bukan pada soal pemberian nasfkah oleh suami (ekonomi), KDRT, atau perselingkuhan tapi lebih pada ideologi sekular liberal yang semakin merasuk ke jantung keluarga muslim sehingga membuat manusia bebas menentukan hidupnya tanpa aturan Tuhan. Bebas menikah atau tidak menikah, bebas bercerai atau mempertahankan pernikahan, bahkan bebas menikah dengan laki-laki atau perempuan. Astagfirullah. Maka, solusi mendasarnya memang harus kita kembalikan kepada bagaimana Allah Subhanahu wa ta’ala mengatur pernikahan agar semua kembali pada fitrah manusia. Dengan demikian, insya Allah kebahagiaan hakiki keluarga akan terwujud. Wallahu a’lam bish-shawaab.
[Mnh]