Oleh : Ummu Dzakirah (Jombang)
MuslimahTimes– Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) 2019 menggunakan jalur zonasi, sebagaimana yang termaktub dalam Permendikbud No.51/2018 tentang penerimaan peserta didik baru tahun ajaran 2019/2020. Penerapan sistem zonasi mengharuskan calon peserta didik untuk menempuh pendidikan di sekolah yang memiliki radius terdekat dari domisilinya masing-masing. Peserta didik bisa memiliki opsi maksimal tiga sekolah, dengan catatan sekolah tersebut masih memiliki slot siswa dan berada dalam wilayah zonasi siswa tersebut
Berdasarkan Permendikbud nomor 51/2018 diatur PPDB melalui zonasi. Seleksi calon peserta didik baru dilakukan dengan memprioritaskan jarak tempat tinggal terdekat ke sekolah dalam zonasi yang ditetapkan. Jarak tempat tinggal terdekat dimaksud adalah dihitung berdasarkan jarak tempuh dari Kantor Desa/Kelurahan menuju ke sekolah. Jika jarak tempat tinggal sama, maka yang diprioritaskan adalah calon peserta didik yang mendaftar lebih awal. Apakah system zonasi menjadi solusi atas problema pendidikan hari ini?
Presiden Joko Widodo menyoroti banyaknya keluhan terkait penerapan sistem zonasi sekolah di sejumlah daerah. Jokowi mengatakan, permasalahan dari penerapan sistem zonasi di PPDB pada tahun ajaran kali ini lebih banyak dibanding dengan sebelumnya. (https://regional.kompas.com/read/2019/06/21)
Masalah itu bisa dilihat, misalnya Dewan Pendidikan Kota Kediri mencurigai banyaknya kartu keluarga (KK) titipan pada penerimaan peserta didik baru (PPDB) jenjang SMA/SMK di Kota Kediri. Akibatnya, anak warga asli Kota Kediri gagal masuk zona sekolah dekat rumah mereka.(https://amp.kompas.com/regional/read/2019/06/22).
Hal ini menunjukkan kebijakan penguasa yg tak bijak karena tak menyentuh akar masalah kesenjangan bidang pendidikan.
Melihat berbagai persoalan yang mewarnai wajah dunia pendidikan kita, mulai perilaku dari siswa, mahasiswa sampai demontrasi para guru dan pendidik lainnya yang menuntut dinaikkan tunjangan mereka merupakan kenyataan yang tidak dapat dibantah lagi, betapa dunia pendidikan kita begitu rapuhnya. Ini semua merupakan representasi dari keadaan sistem pendidikan yang sekularistik-materialistik.
Dampak terhadap kondisi itu nampak ketika masyarakat Indonesia mengalami krisis multidimensional dalam segala aspek kehidupan. Fenomena kemiskinan, kebodohan, kezaliman, penindasan, ketidakadilan di segala bidang, kemerosotan moral, peningkatan tindak kriminal dan dan berbagai bentuk patologi sosial telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat. Jutaan orang terpaksa hidup dalam kemiskinan dan kehilangan pekerjaan.
Pendidikan yang baik, butuh ditopang kekuatan ekonomi dan political will negara, serta sistem yang baik. Dalam tatanan ekonomi kapitalistik, kegiatan ekonomi digerakkan sekadar demi meraih perolehan materi tanpa memandang apakah kegiatan itu sesuai dengan aturan Islam atau tidak. Aturan Islam yang sempurna dirasakan justru menghambat. Sementara dalam tatanan politik yang oportunistik, kegiatan politik tidak didedikasikan untuk tegaknya nilai-nilai kebenaran melainkan sekadar demi jabatan dan kepentingan sempit lainnya. Dalam tatanan budaya yang hedonistik, budaya telah berkembang sebagai bentuk ekspresi pemuas nafsu jasmani. Dalam hal ini, Barat telah menjadi kiblat ke arah mana “kemajuan” budaya harus diraih. Ke sanalah musik, mode, makanan, film, bahkan gaya hidup ala Barat orang mengacu.
Buah lainnya dari kehidupan yang materialistik-sekuleristik adalah makin menggejalanya kehidupan sosial yang egoistik dan individualistik. Tatanan bermasyarakat yang ada telah memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada pemenuhan hak dan kepentingan setiap individu. Koreksi sosial hampir-hampir tidak lagi dilihat sebagai tanggung jawab bersama seluruh komponen masyarakat.
Sementara itu, sistem pendidikan yang materialistik terbukti telah gagal melahirkan manusia saleh, berkepribadian mulia yang sekaligus menguasai ilmu, pengetahuan, dan teknologi (IPTEK). Secara formal kelembagaan, sekulerisasi pendidikan ini telah dimulai sejak adanya dua kurikulum pendidikan keluaran dua departamen yang berbeda, yakni Departemen Agama dan Departemen Pendidikan Nasional. Terdapat kesan sangat kuat bahwa pengembangan ilmu-ilmu kehidupan (IPTEK) adalah suatu hal yang berada di wilayah bebas nilai, sehingga sama sekali tak tersentuh standar nilai agama. Kalaupun ada hanyalah etik-moral yang tidak bersandar pada nilai agama. Sementara, pembentukan karakter siswa yang merupakan bagian terpenting dari proses pendidikan justru kurang tergarap secara serius. Pendidikan yang materialistik memberikan kepada siswa suatu basis pemikiran yang serba terukur secara material serta memungkiri hal-hal yang bersifat non materi.
Pendidikan dalam Islam harus kita pahami sebagai upaya mengubah manusia dengan pengetahuan tentang sikap dan perilaku yang sesuai dengan kerangka nilai atau ideologi Islam.
Dengan demikian, pendidikan dalam Islam merupakan proses mendekatkan manusia pada tingkat kesempurnaannya dan mengembangkan kemampuannya yang dipandu ideologi/aqidah Islam. Inilah paradigma dasar itu. Berkaitan dengan itu pula secara pasti tujuan pendidikan Islam dapat ditentukan, yaitu menciptakan SDM yang berkepribadian Islami, dalam arti cara berfikirnya berdasarkan nilai Islam dan berjiwa sesuai dengan ruh dan nafas Islam. Begitu pula, metode pendidikan dan pengajarannya dirancang untuk mencapai tujuan tersebut. Setiap metodologi yang tidak berorientasi pada tercapainya tujuan tersebut tentu akan dihindarkan. Jadi, pendidikan Islam bukan semata-mata melakukan transfer of knowledge, tetapi memperhatikan apakah ilmu pengetahuan yang diberikan itu dapat mengubah sikap atau tidak. Itu semua tidak bisa diwujudkan dalam kondisi carut marutnya pendidikan akibat diterapkannya sistem sekular seperti sekarang ini. Hanya dengan penerapan Islam kaffah yang mampu mewujudkan pendidikan yang adil dan merata dengan output generasi paripurna.
[Mnh]