Oleh : Antika Rahmawati
(Aktivis Dakwah Kampus)
#MuslimahTimes — Beberapa tahun belakangan ini, Khilafah lagi-lagi menjadi trending topik di jagat dunia maya atau social media. Di tengah opini pengaburan dan penguburan khilafah dalam sejarah negeri ini. Kini, amat banyak yang menyuarakan eksistensi khilafah dan pengaruhnya di Nusantara. Bagaimanapun, khilafah adalah janji Allah Azza wajalla yang sudah terucap oleh lisan mulia Nabi kita Muhammad Shallallahu’alaihi wasallam. Dari zaman Rasulullah Shalallahu’alaihi wasallam, institusi khilafah itu sudah ada, semua ummat yang mau berbai’at pada pemimpin negaranya maka akan dijamin keselamatannya baik itu ummat muslim, maupun non muslim. Untuk membuktikan bahwa Khilafah juga pernah memiliki kontribusi di Nusantara untuk melawan penjajah. Ada baiknya kita membaca sejarah kontribusi Khilafah di Nusantara, negeri kita ini yang amat dicintai. Selain sebagai media tabayyun, juga untuk membuka cakrawala kita tentang sejarah kebenaran bahwa Khilafah pernah menapaki jejak di Nusantara hingga kini. Hanya saja kita sudah lama pula dibutakan oleh perubahan sejarah dan semakin maraknya narasi-narasi yang merusak citra baik Khilafah.
Khilafah adalah sistem kepemimpinan islam setelah kepemimpinan Nabi Muhammad Shalallahu’alaihi wasallam. Khilafah bertugas untuk menjaga agama dan mengatur urusan dunia (li-hirasah ad-din wa siyasah ad-dunya’). Khilafah juga wajib menyebarkan dakwah Islam ke seluruh dunia. Allah Subhanahuwata’ala berfirman yang artinya : “Kami tidak mengutus engkau melainkan kepada seluruh manusia” (TQS.Saba’ [34]:28). Nusantara tentu tidak bisa dilepaskan dari target dakwah Negara Khilafah. Cukup banyak catatan sejarah yang menuliskan jasa Khilafah dalam mendakwahkan dan menjaga Islam di Nusantara.
Peran Khilafah di Nusantara; Salah seorang Khalifah dari Bani Umayah yang sangat terkenal, Umar bin Abdul Aziz (berkuasa 717-720 M), begitu serius dalam mendakwahkan Islam ke seluruh dunia. Dalam tulisannya yang berjudul Two Letters from Maharaja to the Khalifah(1963: 126-129), S.Q. Fatimi membeberkan speak terjang Khilafah Umar bin Abdul Aziz dalam menyebarluaskan Islam ke berbagai negeri diseluruh dunia. Termasuk Nusantara. Pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz pula mulai terjadi hubungan Khilafah dengan Nusantara. Menurut Fatimi, penguasa Kerajaan Sriwijaya yang saat itu berpusat di pulau Sumatra, Maharaja Sri Indravarman, pernah menulis surat yang ditujukan kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz di Damaskus.
Surat itu dinukil oleh Ibn ‘Abd Rabbin dalam al-‘Iqd al-Faridberdasarkan riwayat dari Nu’aym bin Hammad: “Raja Hind (Sriwijaya) mengirim surat kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz: Dari Raja Diraja- yang adalah keturunan seribu raja; yang istrinya juga adalah anak cucu seribu raja; yang daam kendang binatangnya terdapat seribu gajah yang wilayahnya terdapat dua sungai (Musi dan Batanghari) yang mengairi pohon gaharu, bumbu-bumbu wewangian, pala dan kapur barus yang semerbak wewangiannya sampai menjangkau jarak 12 mil- kepada Raja Arab (Umar bin Abdul Aziz), yang tidak menyekutukan Allah dengan segala sesuatu. Saya telah mengirimkan kepada anda hadiah, yang sebenarnya merupakan hadiah yang tak begitu banyak, tetapi sekadar tanda persahabatan. Saya ingin anda mengirimi seseorang yang dapat mengajarkan Islam kepada saya, dan menjelaskan kepada saya tentang hukum-hukumnya..” Pada masa-masa berikutnya, kesultanan Aceh yang berdiri pada 1946 M, memperbarui hubungan dan ketaatannya dengan pusat kuasa Islam di Timur Tengah.
Ketika pucuk Khilafah sudah beralih ke Bani Utsmaniyyah di Turki, Sultan Aceh yang ketiga, Alaudin Riayat Syah al-Qahhar (berkuasa 1537-1571), mengirim surat kepada Khalifah Sulaiman al-Qanuni di Istanbul pada tahun 1566. Dalam surat itu ia menhyatkan baiatnya kepada Khilafah Utsmaniyyah dan memohon agar dikirimi bantuan militer ke Aceh untuk melawan Portugis yang bermarkas di Malaka (Topkapl sarayl Musezi Arsivi, E-8009). Pengganti Khalifah Sulaiman al-Qanuni, yakni Salim II, mengabulkan permohonan Sultan al-Qahhar dan mengirimkan bala bantuan militer ke Aceh. Dalam surat balasannya kepada Sultan Aceh itu, Khalifah Salim II menulis bahwa melindungi Islam dan negeri-negeri Islam adalah salah satu tugas penting yang diemban oleh Khilafah Utsmaniyyah. Khalifah Salim II pun menunjuk kepala provinsi (Sancak) Alexandria di Mesir, Kurdoglu Hizir Reis, untuk menjadi panglima perang dan dikirim ke Aceh demi memerangi kaum kafir Portugis dengan pertolongan Allah dan Rasul-Nya (BOA,A.DVNS.MHN,7/244).
Dengan bantuan yang didapat dari Khilafah Utsmaniyyah ini, Sultan al-Qahhar dari Aceh dapat menyerang Portugis di Malaka pada 20 Januari 1568 dengan kekuatan 15.000 tentara Aceh, 400 Jannisaries Utsmaniyyah dan 200 Meriam perunggu (Amirul Hadi, 2004:23). Kehadiran pasukan Khilafah Utsmaniyyah di Nusantara benar-benar menggetarkan Portugis; sebaliknya, begitu membahagiakan Muslim dan menguatkan Islam. Aliansi antara Sultan al-Qahhar dari Aceh dan Khilafah Utsmaniyyah inilah yang kemudian dipaparkan oleh Syaikh Nuruddin ar-Raniri dalam kitab Bustan as-Salathinyang ia tulis : “Kemudian dari itu maka Kerajaan Sultan Alaudin Riayat Syah bin ‘Ali Mughayat Syah, pada hari itsnain, waktu dhuha, dua pulu hari bulan Dzul-Qa’dah. Ialah yang mengadatkan segala istiadat Kerajaan Aceh Darussalam, dan menyuruh utusan kepada Sultan Rum, ke negeri Istanbul (Khilafah Utsmaniyah), karena menegohkan agama Islam. Maka dikirim oleh Sultan Rum daripada jenis utus dan pandai yang tahu menuang bedil. Maka pada zaman itulah dituang orang Meriam yang besar-besar…”(Teuku Iskandar [ed.], 1996: 31-32).
Selain Sultan Aceh, para sultan yang lain di Nusantara selama abad ke-16 juga beraliansi dan menyiratkan kekaguman yang mendalam kepada Khilafah Utsmaniyah. Sultan Babullah bin Khairun di Ternate bekerja sama dengan 20 orang ahli senjata dan tantara Khilafah Utsmaniyah Ketika memerangi Portugis di Maluku sepanjang tahun 1570-1575 (Leonard Andaya, 1993:134,137). Berkat semangat jihad dan Kerjasama yang luar biasa antara kaum Mulsim di Maluku dan pasukan Khilafah Utsmaniyah, penjajah Portugis hengkang dari bumi Maluku setelah masa Sultan Babullah untuk selama-lamanya. Sultan Demak yang keempat, Sunan Prawoto, juga menjadikan penguasa Utsmaniyah sebagai panutan dalam cita-citanya untuk mengislamkan seluruh Tanah Jawa (de-Graaf & Pigeaud, 2019:126). Sepanjang abad ke 17, banyak penguasa Islam di Nusantara yang mengirimkan utusan ke Makkah atau Istanbul untuk menyatakan ketundukannya kepada Khilafah Utsmaniyah. Mereka lalu mendapat legitimasi sebagai ‘wakil Khalifah’ di masing-masing negerinya.
Para Sultan Aceh, Banten, Mataram, sampai Makasar melakukan itu semua. Sultan Aceh yang berkuasa pada abad ke-19 Sultan Ibrahim Mansyur Syah, bahkan terang-terangan menyatakan negerinya sebagai bagian dari Khilafah Utsmaniyah dalam suratnya kepada Sultan Abdulmecid I pada tahun 1850: “Sesungguhnya kami penduduk negeri Aceh, bahkan seluruh penduduk di pulau Sumatra, semuanya tergolong sebagai rakyat negara adidaya Utsmaniyah dari generasi ke generasi.” Tak hanya sekedar mengakui wilayah Aceh dan Sumtra sebagai bagian dari Khilafah Utsmaniyah, Sultan Ibrahim Manshur Syah juga menjadikan Khilafah Utsmaniyah sebagai tempat meminta izin untuk menggalang persatuan para Sultan di Nusantara demi menegakkan jihad mengusir penjajah Belanda: “Maka dari itu, yang diharapkan dari sumber kasih saying Tuan yang berbahagia (Khalifah Utsmaniyah) adalah menganugerahi kami sebuah titah Kesultanan yang dapat menyatukan seluruh para pembesar rakyat kami dari kaum muslimin supaya suara mereka Bersatu padu dan bulat untuk menegakkan jihad di jalan Allah dan mengusir kaum kafir Nasrani itu negeri-negeri kaum Muslimin…”(BOA,I.HR,73/3551).
Selain itu, masih banyak peran para Khilafah dalam mengkontribusikan andilnya pada Nusantara ini. Yaitu dalam melawan para penjajah, bukan hanya Portugis, namun juga Belanda juga turut dilawannya. Hal ini terjadi pada saat perang di Ponegoro. dikutip dari berita Kompas.com, perang dimulai Ketika Belanda memasang tanda tanah milik Diponegoro di desa Tegalrejo. Geram dengan aksi tersebut, sang penguasa kemudian menantang Belanda. Perang Diponegoro menyebar luas hingga ke Pacitan dan Kedu. Beberapa tokoh saat itu juga bergabung. Seperti Kyai Maja, tokoh agama di Surakarta, kemudian SISKS Pakubuwono VI, dan Raden Tumenggung Prawirodigya. Dalam sejarah bangsa Indonesia pernah terjadi perang yang cukup ganas, yakni Perang di Jawa. Dalam perang Jawa tersebut, Pangeran Diponegoro Menyusun perang dengan menggunakan sistem struktur pasukan militer Turki Utsmani.
Supremasi politik Khilafah Utsmaniyah atas kaum Muslim sedua tentu diakui pula oleh kaum muslim Nusantara yang berada dalam jajahan Belanda. Goenawan, Ketua Sarekat Islam afdeling(cabang) Batavia yang merangkap kepala redaktur salah satu koran terbitan Sarekat Islam, Pantjaran Warta, dalam artikel yang ia tulis pada 10 November 1914, menulis: “Diseloeroeh doenia hanja Turkey lah jang masih tinggal merdika, dari sebab Turkey yang memegang wasiat Nabi Kita. Begitoelah orang Moeslim memandang Turkey sebagai keradjaan jang melindoenginja dalam laoetan fitnah dan perdoehakaan dari fehak moesoehnja. Begitoelah perasa’anja kebanjakan orang-orang moeslimin di tanah-tanah jang ada dalam genggamanja kekoesa’annja Europa…” Ketika masa khilafah Abdulhamid II yang terbentang dari tahun 1876-1908, otoritas Utsmaniyah banyak menempatkan konsul-konsulnya di Batavia. Keberadaan konsul-konsul Utsmaniyah ini begitu mengganggu Pemerintah kolonial Belanda.
Snouck Hurgonje mencibir, “Mereka itu adalah para perantara dalam hubungan-hubungan, yang misalnya ada diantara orang-orang Arab, Melayu, Aceh di Hindia Belanda dengan ‘Sang Panantagama di Turki’ (maksudnya Sultan Abdulhamid II, red), dan mereka mengusahakan supaya surat-surat kabar yang mendapat perlindungan dari istana selalu memburuk-burukkan pemerintah kolonial dan Ratu Belanda.” (Snouck Hurgonje, 1996:58). Salah satu konsul Utsmaniyah yang bertugas di Batavia pada tahun 1897-1898 adalah Mehmed Kamil Bey. Selama bertugas, Mehmed Kamil Bey berusaha sungguh-sungguh untuk membangkitkan sikap anti-Belanda diantara kaum Muslim setempat. Koran berbahasa Inggris yang terbit di Singapura pada 29 Desember 1898 merangkum kegiatan perlawanannya : “Dia dengan mencolok tidak hadir dalam upacara penobatan Ratu (Belanda), seolah ingin menunjukan kepada penduduk pribumi bahwa dia bisa bertindak merendahkan pemerintah Belanda.” Mehmed Kamil Bey juga diketahui menggoyahkan kesetiaan dua raja pribumi tertinggi di Jawa Tengah dan mengirim surat kepada seorang raja dibawah kekuasaan Belanda di Borneo atau Sumatra untuk mencoba mempengaruhi raja agar mengurangi kesetiaannya (kepada Belanda).”(Nico J.G. Kaptein, 2003: 109-110).
Sungguh, pemerintahan Islam yang bernama Khilafah pernah memainkan perannya di negeri kita. Rentang jarak pusat Khilafah yang jauh di Bagdad, Kairo, atau Istanbul, tidak menyurutkan kepedulian para Khalifah dan kaum Muslim disana untuk Nusantara. Betapa banyak jejak Khilafah yang masih berbekas di berbagai pulau di Asia Tenggara. Tentu, jejak yang paling jelas dan nyata dari peran Khilafah di masa lalu adalah keislaman kita. (Muslimahnews.com). Jadi, kita sebagai kaum muslimin wajib menyampaikan bagaimana peran Khilafah di Bumi Nusantara ini. Banyak sekali kontribusi Khilafah pada masa penjajahan di Nusantara. Ada juga yang berhasil mengusir penjajah dengan menggunakan Stretegi militer yang begitu mengagumkan dari Khilafah Utsmaniyah. Maka, tidak ada keraguan pula dihati kaum muslimin yang meyakini bahwa akan tegak Kembali Intitusi Khilafah di bumi ini. Mari kita gencarkan Dakwah menyuarakan Khilafah agar semua ummat mampu membuka mata nya untuk kembali pada hukum Allah azza wajalla dan melanjutkan warisan yang dibawa oleh Rasulallah Shalallahu’alaihi wasallam.