
Oleh NR. Tambunan
#MuslimahTimes — International Safe Abortion Day atau Hari Aborsi Aman Internasional yang diperingati tanggal 28 September lalu seakan menjadi gong yang mengiringi perang terhadap aborsi ilegal yang marak terjadi di negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Indonesia adalah salah satu negara yang disinyalir memiliki data aborsi ilegal yang tinggi. Paling tidak, kesimpulan ini diadopsi dari terkuaknya kasus aborsi ilegal yang terjadi berulangkali di Jakarta pada tahun 2020.
Berdasarkan data yang dikumpulkan dari hasil penggerebekan beberapa klinik aborsi ilegal di Jakarta, ditemukan bahwa korban aborsi telah mencapai puluhan ribu. Misalnya dari klinik aborsi ilegal yang dirazia tanggal 9 September 2020 di Jalan Percetakan Negara, Jakarta Pusat, terdapat 32.760 janin yang menjadi korban. Sebelumnya di bulan Agustus 2020 di kawasan Raden Saleh, Jakarta Pusat, didapati mulai Januari 2019 sampai 10 April 2020 sebanyak 2.638 pasien aborsi yang melakukan pengguguran kandungan di kinik tersebut. Jumlah korban tersebut adalah sinyalemen bahwa masih banyak lagi korban aborsi yang mungkin belum terdeteksi, terutama di kota-kota besar lainnya di Indonesia.
Menilik jumlah korban aborsi yang mencapai 32 ribu lebih, menimbulkan dugaan kuat bahwa kemungkinan alasan aborsi lebih kepada ekses pergaulan bebas, yakni perzinaan yang masif hingga mengakibatkan kehamilan yang tidak diinginkan. Hal ini dipertegas dengan adanya hasil penelitian pada tahun 2016 oleh Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) Universitas Gadjah Mada dengan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) yang menunjukkan bahwa sebanyak 58 persen remaja putri yang hamil di luar nikah berupaya menggugurkan kandungannya alias memilih melakukan aborsi (tirto.id, 12/10/2016). Sementara itu, Laporan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dari survei yang dilakukannya pada tahun 2007 di 12 kota besar di Indonesia menunjukkan 62,7 persen remaja SMP mengaku sudah tidak perawan lagi. Bahkan, 21,2 persen remaja SMA mengaku pernah melakukan aborsi (republika.co.id, 20/09/2019).
Jika mengacu pada penelitian dari Guttmacher Institute (2000) di enam wilayah di Indonesia yang memperkirakan terdapat 37 aborsi untuk setiap 1.000 perempuan hamil (usia 15-49 tahun), maka data rata-rata aborsi ini bisa dikatakan berbanding lurus dengan data meningkatnya jumlah pergaulan bebas di Indonesia.
Kampanye Safe Abortion untuk Apa?
Hasil penelitian Guttmacher Institute yang dirilis bulan Juli 2020 menunjukkan bahwa dalam rentang waktu 2015 hingga 2019 terdapat 61 persen kehamilan yang tidak diinginkan (73,3 juta) berakhir dengan aborsi. Dari jumlah tersebut unsafe abortion (aborsi ilegal/ tak aman) berkontribusi sekitar 5 hingga 13 persen bagi angka kematian ibu (AKI), atau sekitar 22.800 hingga 59.280 kematian pertahunnya. Di Indonesia sendiri, Menurut Info Pusat Data dan Informasi Kemenkes (Pusdatin) pada 2013, sebanyak 30,3 persen kematian ibu di Indonesia diakibatkan oleh pendarahan, sementara 1,6 persennya karena abortus (tirto.id, 27/02/2019). Namun Guttmacher Institute (Abortion in Indonesia, 2008) menekankan bahwa 14% AKI di Asia Tenggara disebabkan karena unsafe abortion dan 16% diantaranya terjadi di negara-negara Asia Tenggara termasuk Indonesia yang memiliki peraturan yang membatasi aborsi.
Data tersebut memperlihatkan bahwa tingginya angka aborsi dan dampak yang ditimbulkannya berawal dari tingginya angka kehamilan yang tidak diinginkan. Berbagai alasan memicu munculnya KTD, namun beberapa pihak mengemukakan bahwa tidak semua pelaku aborsi adalah akibat pergaulan bebas. Koalisi Kesehatan Seksual dan Reproduksi Indonesia (KSRI) misalnya, melaporkan layanan konseling KTD selama 2000-2014 yang menunjukkan data sebanyak 118.756 kasus KTD (23 perempuan per hari mengalami KTD). Dari jumlah tersebut, sebanyak 81 persen adalah pasangan menikah dengan alasan gagal KB dan sudah tidak ingin menambah anak. Sementara itu, Data Perkumpulan Keluarga Besar Indonesia (PKBI) pada 2016 menyebutkan dari 4.857 perempuan hamil tak diinginkan yang mengakses layanan konseling KTD sejumlah 23,9% (sekitar 1.160 orang) diantaranya adalah yang tidak atau belum menikah (tirto.id, 02/023/2019).
Hanya saja, data hasil konseling ini tentu tak bisa dijadikan landasan bahwa mayoritas pelaku aborsi ilegal adalah dari pernikahan yang sah. Terdapat data pergaulan bebas yang memberikan data fantastis dan ditengarai sebagai gunung es yang mustahil melakukan konseling formal untuk kondisi KTD yang dialami pelaku seks pranikah tersebut. Kondisi inilah yang membawa maraknya aborsi ilegal di Indonesia yang dianggap sebagai salah satu faktor penyumbang AKI di Indonesia.
Namun nampaknya yang menjadi fokus bagi pemerintah dalam menghentikan aborsi ilegal malah menjurus kepada upaya legalisasi aborsi aman. Ini tercermin dari ditetapkannya PP Nomor 61 tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi yang menjadi payung hukum bagi kebolehan dilakukannya aborsi. Dalam PP tersebut, aborsi diperbolehkan bagi perempuan hamil yang diindikasi memiliki kedaruratan medis dan atau hamil akibat pemerkosaan yang merujuk Pasal 75 ayat 1 UU Nomor 36 Tahun 2009 (nasional.kompas.com. 14/08/2014). Walakin tak dapat dipungkiri, terdapat celah yang memungkinkan alasan hamil akibat perkosaan digunakan sebagai alasan aborsi aman bagi pelaku aborsi yang sebenarnya disebabkan oleh gaul bebas.
Langkah-langkah yang diterapkan rezim ini sesungguhnya tak lepas dari agenda barat yang menginginkan Indonesia melakukan safe abortion. Aborsi dianggap sebagai salah satu hak reproduksi bagi perempuan. Dalam konferensi Internasional tentang Kependudukan dan Pembangunan (International Conference on Population and Development) ICPD tahun 1994, hak reproduksi mulai diperkenalkan. Aborsi merupakan satu di antara 12 hak reproduksi, dimana perempuan memiliki hak untuk memutuskan mempunyai anak atau tidak, juga berhak memutuskan kapan ingin mempunyai anak. Dari sini, mulailah aborsi aman dikampanyekan secara global melalui World Health Organization (WHO) dan lembaga-lembaga lainnya di bawah PBB. Namun sejatinya apa yang menjadi landasan data WHO untuk mengkampanyekan aborsi aman, yakni tingginya AKI, adalah narasi absurd yang cacat logika, sebab berdasarkan fakta data, unsafe abortion bukanlah penyumbang tertinggi kematian ibu yang sesungguhnya. Narasi AKI lebih kepada dalih Barat untuk mengakomodir kebebasan berperilaku yang menjadi dasar kebijakan mereka.
Benarkah Penyelesaian Masalah Ala Kapitalis?
Memang benar bahwa berdasarkan data yang ditunjukkan oleh Guttmacher Institute (Juli 2020) menyatakan bahwa angka aborsi menurun menjadi 11 per 1000 di negara berpendapatan tinggi yang melegalkan aborsi. Namun hal ini dikarenakan negara-negara tersebut memiliki sistem kesehatan yang cukup baik dan mudah diakses. Selain itu masifnya pendidikan kespro dan penggunaan kontrasepsi sesuai arahan WHO menjadi salah satu penyebab turunnya jumlah aborsi di negera maju.
Namun turunnya jumlah aborsi tersebut bukan berarti menunjukkan bahwa permasalahan berakhir. Kebebasan hak bereproduksi yang membebaskan perempuan atas aktivitas seksualnya itu ternyata menimbulkan dampak yang lebih serius. Rata-rata angka pertumbuhan penduduk di negara-negara maju dengan akses aborsi aman tersebut menurun dan cenderung rendah. Data Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) menunjukkan bahwa negara-negara Uni Eropa rata-rata memiliki angka kelahiran sekitar 1.5, padahal angka yang menunjukkan populasi yang stabil berada di 2.1. Hal ini menunjukkan problem demografi yang cukup serius.
Fakta lainnya menunjukkan bahwa sebagian besar wanita memilih aborsi disebabkan karena mengalami kekerasan seksual dan menghindari melahirkan anak dalam rumah tangga yang kacau. Misalnya di Greenland yang memiliki akses aborsi aman ternyata memiliki tingkat aborsi yang tinggi. Menurut statistik pemerintah, sejak 2013 ada sekitar 700 kelahiran dan 800 aborsi setiap tahunnya di Greenland (bbc.com, 19/05/2019). Hal ini menegaskan bahwa legalisasi aborsi sesungguhnya tak menyelesaikan permasalahan perempuan.
Menilik fakta awal, kita mendapati bahwa meningkatnya angka aborsi adalah muara dari KTD akibat pergaulan bebas. Perzinaan seakan-akan menjadi hal yang tak tabu lagi dibicarakan saat ini. Berita tentang perselingkuhan, grup chat mesum, video porno, dan aplikasi kencan maupun layanan seks melalui video atau telepon semakin bertaburan tak terbendung lagi. Lokasi-lokasi prostitusi pun semakin banyak dan bahkan merambah melalui online. Gelombang pornografi dan pornoaksi mengelilingi negeri. Seakan kemesuman adalah hal yang tak perlu dirisaukan.
Hanya saja, status Indonesia yang mayoritas muslim ini tentu sangat bertolak belakang dengan fakta yang melimpah tentang pergaulan bebas yang menggerus generasi muda bangsa ini. Indonesia yang sejatinya memiliki budaya ketimuran yang santun dan menjaga adab pergaulan, nyatanya memiliki koyak luka di sana-sini yang menampakkan borok perilaku zina nan merusak. Fakta ini jika ditelusuri lebih jauh akan berujung pada sebuah fenomena yang memprihatinkan, yakni berkembang-biaknya paham hedonisme di masyarakat.
Menjalarnya hedonisme atau pandangan yang menganggap kesenangan dan kenikmatan materi sebagai tujuan utama dalam hidup ini, tentu tak lepas dari peradaban yang mendasari berkembangnya kebebasan berperilaku. Peradaban kapitalis yang memisahkan agama dari kehidupan, meniscayakan manusia untuk bebas dari aturan Sang Pencipta. Setiap aturan yang berdiri di atas asas sekulerisme ini akan mendukung segala hasrat dan perilaku manusia agar dapat bebas sebebas-bebasnya melakukan apapun kehendaknya, termasuk melakukan hubungan seksual dengan siapapun atas dasar suka sama suka.
Buaian kebebasan yang diembuskan melalui pengusung kapitalisme mampu meninabobokkan kaum muslimin. Menjerumuskan mereka dalam kenikmatan semu yang sesungguhnya adalah racun peradaban kapitalis yang menyengsarakan. Solusi aborsi yang didengungkan sejatinya adalah perangkap kapitalis untuk merusak generasi penerus yang menjurus kepada musnahnya generasi.
Memberangus aborsi ilegal sejatinya adalah dengan membabat akar permasalahan yang menyebabkannya yakni KTD akibat pergaulan bebas, karena kemiskinan, ataupun akibat perkosaan. Legalisasi aborsi takkan mampu menggapai akar permasalahan ini. Solusi tambal sulam tersebut hanya akan menyuburkan kebebasan dan menjerumuskan perempuan lebih dalam lagi ke jurang kesengsaraan.
Paham kebebasan yang melingkupi benak kaum muslimin sejatinya harus dimusnahkan sebab inilah yang menyusun kerangka berpikir atas solusi aborsi ilegal. Upaya mempidanakan pelaku aborsi pun tak dapat menutup maraknya perilaku ganas para pembunuh janin tersebut. Tak ada kata lain untuk menghentikan hal tersebut selain merubah paradigma pemecahan masalah secara sistemik, yakni penerapan sistem yang meniadakan paham liberal.
Islam Solusi Komprehensif Permasalahan Aborsi Ilegal
Islam memandang bahwa manusia harus tunduk dan pasrah pada aturan Allah Sang Maha Pencipta yang Maha Mengetahui segala yang terbaik bagi manusia. Kehidupan dunia adalah arena untuk mencari bekal bagi kehidupan akhirat yang kekal selamanya. Semua aktivitas yang dilakukan adalah sesuai dengan syariat demi menggapai ridho Allah, sebab hanya inilah yang akan membawa manusia kepada kebahagiaan hakiki dan kesuksesan ukhrawi. Sedangkan dalam Kapitalisme justru meniadakan peran Sang Pencipta dalam menjalani kehidupan, serta menjadikan kenikmatan dunia sebagai tujuan dan standar kebahagiaan.
Perbedaan pandangan antara Kapitalis dan Islam menunjukkan bahwa solusi yang lahir dari masing-masing ideologi tersebut bermuara pada hasil yang bertolak belakang. Paham kebebasan yang diagung-agungkan kapitalis adalah sesuatu yang tertolak dalam Islam. Jargon “My Body My Choice” yang diusung oleh para pejuang perempuan adalah ilusi kebebasan yang hakikatnya adalah sebuah kedzaliman terhadap tubuh yang diciptakan oleh Allah SWT untuk manusia.
Aturan-aturan Islam secara tegas melakukan proteksi terhadap perilaku yang akan membawa manusia pada perilaku zina dan aborsi. Dalam skala individu, Islam melarang perzinaan dan menegaskan hal tersebut dalam QS. Al-Isra:32,
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنٰىٓ اِنَّهٗ كَانَ فَاحِشَةً ۗوَسَاۤءَ سَبِيْلًا
“Dan janganlah kamu mendekati zina; (zina) itu sungguh suatu perbuatan keji, dan suatu jalan yang buruk.”
Islam menegaskan pula bahwa hubungan antara laki-laki dan perempuan adalah dalam rangka meneruskan generasi dan diatur dalam pernikahan yang suci. Pandangan ini akan meniadakan konsep seksualitas yang saat ini melingkupi hubungan antara laki-laki dan perempuan di dalam atmosfir kapitalis.
Dalam proteksi terhadap perilaku aborsi, maka Islam sangat memuliakan nyawa manusia. Dalam Al Quran Allah SWT berfirman :
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan (alasan) yang benar (menurut syara’).” (QS Al Isra`[17] : 33).
Sementara itu, dalam kehidupan bermasyarakat Islam juga memerintahkan laki-laki dan perempuan untuk menutup aurat dan menjaga pandangan mereka untuk menjaga kemuliaan keduanya, serta memerintahkan untuk melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar apabila mendapati terjadinya penyimpangan syariat.
Hanya saja, tak cukup penerapan aturan Islam dari sisi individu dan masyarakat saja. Penerapan Islam secara menyeluruh dari sisi negara secara mutlak akan mampu menjaga masyarakat untuk tetap dalam koridor aturan-aturan Islam. Negara yang memiliki sistem unik yakni sistem khilafah, akan menghilangkan paham kebebasan secara sistemik. Di antaranya adalah:
Pertama, sistem pergaulan Islam yang memisahkan kehidupan laki-laki dan perempuan secara mutlak dan menjaga interaksi keduanya dalam keterikatan hukum syara yang ketat. Pelanggaran syariat akan berujung pada sanksi yang tegas.
Kedua, penerapan sistem pendidikan Islam yang akan membentengi generasi dari perilaku bebas yang menyimpang. Penanaman aqidah dan pembentukan kepribadian Islam akan menjadikan generasi terlindungi dari melanggar perintah Allah.
Ketiga, sistem sanksi yang tegas. Negara akan menerapkan hukuman bagi pelaku zina meskipun atas dasar suka sama suka. Sanksi bagi pelaku zina adalah dijilid atau dicambuk 100 kali bagi yang belum pernah menikah dan bagi yang telah menikah akan dirajam. Pelaksanaan sanksi ini akan memberikan efek jera yang mengakibatkan hilangnya keinginan untuk melanggar perintah Allah. Adapun bagi pelaku aborsi, maka diberlakukan denda sepersepuluh diyat pembunuhan manusia yakni 10 ekor unta.
Keempat, sistem kesehatan yang mampu menyediakan pelayanan kesehatan berkualitas dan gratis serta gampang diakses bagi semua warga. Hal ini akan mampu menjamin perlindungan kesehatan bagi para ibu sehingga penurunan AKI menjadi hal yang mampu terealisasi.
Kelima, penerapan sistem ekonomi Islam yang akan menjamin terpenuhinya kebutuhan masyarakat secara layak. Negara akan memperhatikan sistem kepemilikan dan distribusi yang adil, sehingga mampu memberikan pelayanan maksimal bagi rakyat baik dari sisi pendidikan dan pelayanan kesehatan yang gratis. Hal ini akan menghilangkan ketakutan-ketakutan pasangan yang miskin untuk dapat memiliki anak berapapun jumlahnya.
Secara keseluruhan, negara akan menerapkan sistem Islam yang komprehensif mencakup bidang hukum, pemerintahan, dan sistem sosial yang mampu menyelesaikan permasalahan secara tuntas.
Maka tak pelak lagi, memusnahkan perilaku zina dan aborsi yang terus menerus terjadi negeri ini hanya dapat dilakukan dengan menerapkan aturan Islam dari sisi individu, bermasyarakat dan bernegara. Tanpa tegaknya aturan Islam secara menyeluruh, permasalahan aborsi ilegal akan terus menggurita di tengah umat. Islam harus diterapkan melalui sistem pemerintahan yang diridhoi Allah dan terbukti mampu menjamin terlaksananya hukum-hukum Allah. Tiada kata lain untuk menyelamatkan generasi bangsa ini, kecuali dengan memperjuangkan sistem pemerintahan Islam yakni khilafah Islam yang tegak di atas manhaj kenabian. Wallahualam []