Oleh. Rut Sri Wahyuningsih
(Institut Literasi dan Peradaban)
MuslimahTimes.com– Apa sih yang terbayang jika disebutkan gadis usia SMP? Tentu muka imut, senyum manis , jika berkata malu-malu. Atau ada yang sedikit nakal, berkeliaran di jalan sambil berboncengan tiga dan sebagainya. Pun demikian dengan pandangan orangtua, ada yang prihatin namun ada yang tak berdaya kemudian berusaha berdamai dengan hati bahwa ini sudah zamannya.
Namun miris ketika membaca satu berita yay dilansir dari Lintas Jatim.com, 8 Januari 2021, tentang kasus penganiayaan yang dialami ZR (11) di Alun-Alun Kota Gresik , ternyata bermotif cemburu atau sakit hati. Hal ini karena ZR mengajak pacar salah satu pelaku untuk jalan berdua.
Beratnya cemburu membawa pelaku mengajak teman lainnya dan korban ke Alun-Alun dengan dalih mencari spot foto. Padahal, korban dianiaya bergantian oleh pelaku (lintasjatim.com, 8/1/2021). Tak dinyana, betapa buruk niatannya.
Wakapolres Gresik Kompol Eko Iskandar menuturkan, ada tujuh pelaku perempuan yang masih di bawah umur melakukan penganiayaan terhadap korban ZR sambil direkam video dengan ponsel dan sempat viral di medsos. “Ketujuh pelaku sudah kami periksa. Penyidik masih mendalami kasus ini. Kalau buktinya sudah cukup kuat akan dilakukan penyelidikan,” tuturnya.
Total ada tujuh remaja putri yang terlibat dalam penganiayaan itu dan semuanya masih usia pelajar SMP. Darimana mereka lihai menyusun skenario untuk mengelabui korban dan bahkan sempat merekam semua kejadiannya tanpa ada rasa bersalah?
Tentulah dari apa yang selama ini mereka tonton, baik dari televisi, media sosial, aplikasi game, bacaan, maupun dari perilaku teman , orangtua dan orang-orang yang ada di sekitarnya. Tak bisa dipungkiri, sejak Covid-19 hadir, anak-anak makin akrab bahkan diharuskan untuk terus berhubungan dengan gadget. Padahal di situlah musuh dalam selimut bersembunyi dan siap menghancurkan harapan siapa saja.
Usia remaja memang usia rentan, ia butuh ruang tumbuh yang positif, terbuka, dan terarah. Sayangnya tak banyak orangtua sebagai orang terdekat anak-anak ini paham dengan kebutuhan itu. Bisa jadi karena pengetahuan mereka minim, sibuk bekerja, misi dan visi keluarga yang lemah dan yang paling signifikan mereka jauh dari agama.
Apa mau dikata, sudah lama kehidupan kaum Muslim terpaksa berkubang dalam sekulerisme. Gambaran tentang keluarga ideal dan ideologis semakin suram, seiring semakin kuatnya ide kapitalis liberalis mencengkeram setiap lini kehidupan. Terlebih karena narasi menyesatkan seringkali dihembuskan dan frekuensinya melebihi lamanya mereka mempelajari Islam.
Pada dasarnya ada beberapa hal yang mengakibatkan generasi muda berubah pikiran, bahkan menjadi beringas, tak memiliki kasih sayang lagi. Pertama, pemisahan agama dari kehidupan yang kian akut baik di jajaran sekolah, lingkungan sosial, dan praktik berekonomi. Pasti tak asing dengan pernyataan, ” Jadi Muslim itu yang biasa saja, yang penting ibadah.” Perkataan tersebut tidak diikuti dengan penggambaran yang jelas bagaimana beribadah yang benar.
Tentu tidak cukup hanya melakukan salat lima kali dalam sehari, namun juga seluruh perilaku dan pemikirannya harus sesuai dengan Islam. Sama sekali tidak boleh terlewat satu syariat pun. Di sekolah, mereka tak mendapatkan kurikulum yang tepat, yakni yang fokus pada penguatan akidah dan bimbingan untuk selalu sadar bahwa Allah Swt Maha Mengawasi.
Kedua, tak ada teladan baik dari orangtua, masyarakat dan negara. Kenyataannya hari ini pun pengaturan negara di berbagai aspek tidak berdasarkan pada syariat Islam. Tapi berdasarkan pemikiran manusia, padahal manusia adalah tempatnya salah dan khilaf. Bisa jadi bukan semata karena orangtua yang tak paham dengan agamanya, karena merekapun tak mendapatkan pendidikan agama yang benar, tapi juga karena tuntutan ekonomi pada akhirnya mencuri sebagian besar waktu mereka. Hingga tak ada waktu untuk menjalin kedekatan dengan anak.
Ketiga, tak ada hukuman yang jelas atas setiap tindakan penganiayaan. Apalagi jika pelakunya masih pelajar yang dianggap di bawah umur.
Sungguh hanya Islam yang bisa berlaku adil, batasan seseorang di bawah umur atau tidak adalah masa balighnya.
Salah menetapkan batasan, maka seperti hari inilah yang kita terima yaitu salah menghukumi. Ketika hukum tak tegas, maka kekerasan terhadap anak akan muncul.
Kendati belum ditetapkan sebagai tersangka, ketujuh pelaku terancam dijerat pasal 80 ayat (1) UU RI nomor 35 tahun 2014 tentang perubahan atas UU nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Bisa dipidana 3,6 tahun penjara dan denda Rp 72 juta.
Dalam Islam sanksi akan diberikan secara beragam sesuai dengan kadar penganiayaannya. Hal ini bukan karena Islam kejam, namun di dalamnya sarat akan hikmah, yaitu agar pelaku jera dan bagi yang melihat tidak akan melakukan hal yang sama.
Berulangnya peristiwa bullying hingga penganiayaan di kalangan pelajar memang cukup memprihatinkan. Setiap tahun jumlahnya semakin bertambah. Maka tentu kita tak mungkin tinggal diam. Mungkin terbersit dalam hati,” Kan bukan anakku, kami baik-baik saja kok.” Namun jelas cepat atau lambat akan berdampak juga pada kita, paling ringan adalah munculnya rasa was-was melepaskan anak keluar rumah. Sebab tak ada penjaminan keamanan yang mampu meyakinkan kita. Maka, belum saatnyakah kita mengubah sistem hari ini kepada sistem ciptaan Allah Swt? Wallahu a’lam bish showab.