Oleh: Ghaziya Hasna
(Aktivis Dakwah)
MuslimahTimes.com – “Wahai manusia! Adakah di antara kalian orang-orang yang miskin? Siapakah yang ingin kawin? Ke manakah anak-anak yatim?”
Begitulah kiranya seruan dari Khalifah Umar bin Abdul Aziz di kerumunan khalayak ramai. Bingung, kepada siapa ia hendak membagi-bagikan kelebihan uang dari Baitul Mal? Sedangkan tak ada lagi seorang pun yang merasa butuh tawaran-tawaran itu.
Bagi kita tentu terdengar menggiurkan, bukan? Kesejahteraan masyarakat yang berporos pada islam saat itu tentu kita idamkan untuk menengahi peliknya permasalahan sekarang. Kebutuhan primer dalam khilafah islamiyah memang selalu terjamin ketersediaannya, dan keberhasilan dalam seluruh aspek dapat dirasakan oleh seluruh masyarakat.
Berbeda dengan saat ini, di mana masalah bergulir semakin panas dan tidak ada titik temu atas solusi tuntasnya. Contohnya yang telah lama bergulir dan semakin santer terdengar yakni masalah kekerasan seksual yang berusaha diberantas dengan pengesahan RUU-PKS. Berkaitan dengan itu, baru-baru ini RUU-PKS telah masuk dalam Prolegnas 2021 atas usulan Badan Legislasi (Baleg) DPR (Kompas.com 14/02/2021) dan didukung penuh oleh Komnas Perempuan (detik.com, 16/01/2021). Universitas Brawijaya pun turut meramaikan dengan menerbitkan Peraturan Rektor nomor 70 tahun 2020 yang berisi tentang upaya universitas demi melindungi seluruh sivitas akademika dari tindak kekerasan seksual dan perundungan (Kompas, 15/01/2021).
Berbagai peraturan yang muncul tersebut ditengarai karena tidak adanya rasa keadilan pada banyaknya korban kekerasan seksual yang didominasi oleh kaum wanita. Menurut data dari Komnas Perempuan, setidaknya setiap 2 jam, terdapat 3 wanita Indonesia yang mengalami kekerasan seksual (Suara.com 14/5/2020).
Nyatanya, RUU-PKS ini masih banyak menuai kontra. Jika ditelisik lebih jauh lagi, aturan tersebut cukup riskan ditunggangi oleh paham feminisme. Mereka berdalih pembelaan kepada kaum wanita yang sering dianggap lemah. Sedangkan kehidupan semakin sekuler, dan upaya meneguhkan islam sebagai poros kehidupan malah ditelan mentah-mentah.
Sebenarnya diperlukan beberapa upaya agar aturan yang dibuat selaras dengan tujuannya untuk menjaga. Pada dasarnya, tindakannya harus terdiri dari upaya preventif dan kuratif. Namun, apakah dijumpai tindakan preventif atau pencegahan sebelum terjadinya kekerasan seksual pada salah satu poin dalam RUU-PKS?
Benar kata pepatah, “lebih baik mencegah daripada mengobati”. Aturan yang sekuler (memisahkan agama dari kehidupan) hanya membuat kita fokus pada upaya pengobatan karena sistem yang dijalani ini ‘sudah tak sehat’. Namun di luar itu, islam datang sebagai aturan yang lengkap, yang di dalamnya terdapat upaya pencegahan serta penanganan. Penerapan islam secara total juga tidak hanya terbatas pada level individu saja, namun sampai ke level negara sebagai pembuat aturan, maka akan terjaga 5 hal :
Menjaga harta (hifzh ad-din)
Menjaga keturunan (hifzh an-nafs)
Menjaga akal (hifzh al-‘aql)
Menjaga jiwa (hifzh an-nasb)
Menjaga agama (hifzh al-mal)
Dengan terjaganya 5 hal tersebut dalam kehidupan maka akan meminimalisir terjadinya kekerasan seksual. Upaya preventif dengan adanya batasan interaksi antara laki-laki dan perempuan diatur agar tidak timbul permasalahan yang mengarah kepada perzinahan. Selain itu, negara juga akan melarang keras rakyatnya untuk mengkonsumsi sesuatu yang dapat merusak akal sehingga memicu tindak-tanduk tak beradab. Namun, jika masih saja terjadi kekerasan, maka upaya kuratif berupa sanksi tegas tetap akan diberlakukan oleh khalifah baik itu hukuman pengasingan selama setahun, cambuk sebanyak 100 kali, ataupun rajam hingga mati.
Segala aturan yang menuntut keadilan selain dalam bingkai khilafah sungguh hanyalah solusi tambal sulam yang akan menambah masalah baru di kehidupan. Dengan begitu, menjadi suatu kewajiban bagi umat muslim untuk menunjukkan keberpihakannya. Melalui sistem islam yang diterapkan secara total niscaya kemaslahatan akan terasa bukan hanya bagi wanita, tapi juga seluruh umat manusia. Dan bukan tidak mungkin, gambaran kesejahteraan seperti kisah khalifah Umar bin Abdul Aziz di awal kelak akan mungkin kita rasakan kembali.
Wallahua’lam bisshowaab.