Oleh: Dina Wachid
#MuslimahTimes — Dilansir dari Kompas.com (26/01/2021), sebagian besar pengungsi Rohingya yang berada di Aceh telah kabur ke Malaysia. UNHCR, lembaga PBB yang mengurusi pengungsi menyatakan bahwa kini hanya tersisa 112 orang saja yang masih ada di kamp pengungsian di Lhokseumawe, Aceh. Sebelumnya dalam dua kali gelombang kedatangan pengungsi Rohingya terdapat sekitar 400an orang pada tahun lalu.
Chris Lewa, direktur organisasi non-pemerintah Arakan Project, mengatakan bahwa para pengungsi Rohingya ini memang ingin ke Malaysia. Menurutnya, Indonesia bukanlah negara tujuan mereka, melainkan hanya sebagai tempat transit karena tak bisa langsung ke tempat tujuan awal.
Muslim Rohingya menjadi pengungsi setelah terusir dari negerinya sendiri. Mereka menyelamatkan diri keluar negeri ke tempat yang lebih aman, namun ditolak oleh beberapa negara tetangga. Yang itu membuat mereka terkatung-katung di laut, tanpa perlindungan dan bekal sampai banyak yang meregang nyawa, hingga sebagian tiba di Aceh.
Sampai di daratan pun mereka tetap saja rentan mendapatkan perlakuan buruk dari pihak-pihak yang tak bertanggung jawab yang memanfaatkan kondisi mereka. Lepas dari kekerasan rasial yang mengancam nyawa di negerinya sana, mereka tetap saja belum aman dari berbagai ancaman dan penderitaan di tempat baru. Berbagai tindak kejahatan seperti penipuan, pemerasan hingga human trafficking yang membahayakan nyawa, mengintai setiap saat.
Muslim Rohingya yang menempati wilayah Arakan, di Myanmar terpaksa mengungsi setelah mengalami kekerasan luar biasa. Mereka dituduh teroris, diperlakukan secara rasis, didiskriminasi, rumah dan harta benda mereka dijarah dan dibakar, hingga nyawa mereka dihilangkan dengan kejinya. Kekejaman yang mereka terima sudah di luar batas kemanusiaan hingga dunia sempat tersentak dan berbondong-bondong memberi bantuan.
Namun, itu hanya sebentar saja. Setelah sekian tahun berlalu, masalah yang menimpa Rohingya tetap saja tak tuntas. Akar masalah pengungsi Rohingya juga nampak tak ada itikad serius untuk diselesaikan. Rezim Myanmar yang bertanggung jawab atas penderitaan muslim Rohingya terus berkelit dan dunia seolah diam saja. Lembaga internasional PBB dan negara-negara yang selama ini sering meneriakkan HAM seperti setengah hati menunjukkan keseriusannya.
Berulangnya masalah pengungsian ini tak bisa dilepaskan dari sebuah sistem yang berlaku. Adanya sekat nation state membuat penyelesaiannya selalu menemui kegagalan. Apa yang terjadi di satu negara menjadi urusan negara tersebut. Bila negara atau warga negara lain ingin membantu, akan berhadapan dengan rumitnya birokrasi.
Atas nama nasionalisme, manusia hanya peduli dengan nasib bangsanya sendiri. Nasib bangsa lain tidak terlalu penting. Mereka bergerak bila ada yang mengusik negeri dan kepentingan mereka sendiri. Masing-masing bergelut dengan permasalahannya sendiri. Boro-boro memikirkan nasib orang lain, nasib sendiri saja sudah susah. Makin engganlah untuk menolong yang lainnya, meski itu saudara. Meski sesama muslim, namun mereka lebih terikat pada kepentingan nasionalisme.
Seperti inilah kondisi umat Islam kini. Sudahlah tercerai-berai, terpecah-pecah, tertindas di dalam negerinya, diabaikan dan dikhianati saudara sendiri, hingga terhinakan sampai pada titik terendah. Kepedulian dan persaudaraan hanyalah sebatas pada satu bangsa saja. Di luar itu, sama sekali tak dipedulikan. Meski terjadi kedzaliman nyata yang menimpa saudaranya, sulit untuk bisa memberi pertolongan dan pembelaan secara maksimal.
Ini semua karena ketiadaan perisai dan pelindung bagi umat Islam. Bagai anak ayam kehilangan induknya, terpisah-pisah tak ada yang melindungi. Tak ada pemimpin yang menyatukan umat ini dalam satu ikatan yang mantap. Masing-masing terjerat dengan ikatannya yang semu. Rasa senasib sepenanggungan sebagai saudara sangat lemah, kalau bisa dibilang mungkin tak ada. Akibatnya hati dan perasaan seolah mati melihat kondisi saudara muslimnya di tempat lain.
Karena itu sangat penting bagi umat Islam untuk bersatu dalam ikatan yang sama, ikatan aqidah Islam. Ikatan ini mampu menghilangkan semua sekat dan perbedaan yang ada. Seluruh perbedaan bahasa, budaya, wilayah, keluarga, fisik, dan yang lainnya, lebur dalam ikatan aqidah ini. Tidak ada ikatan yang bisa menandingi ikatan ini. Inilah ikatan tertinggi karena berlandaskan wahyu Sang Illahi.
Dan ikatan tersebut hanya bisa terwujud bila ada sebuah institusi yang menjalankan syariat Allah secara kaffah. Sebuah negara yang akan menyatukan seluruh negeri-negeri muslim dalam satu naungan. Mengusir dan menghentikan segala bentuk penindasan yang dialami oleh kaum muslim di penjuru dunia.
Akan halnya dengan para pengungsi muslim Rohingya, akan mendapatkan perlindungan yang terbaik bila Sang Junnah nanti kembali hadir. Segala upaya akan dikerahkan untuk menolong umat muslim yang saat ini tengah teraniaya. Palestina, Suriah, Afghanistan, Turkistan Timur, Rohingya dan negeri-negeri Islam lainnya yang kini masih terjajah akan dibebaskan dan disatukan di bawah naungan yang satu, yakni Daulah Khilafah Islamiyyah.
”Sesungguhnya al-Imam (Khalifah) itu perisai, di mana (orang-orang) akan berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan) nya.”(HR. Al-Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud, dll)
Siapapun yang berlindung di bawahnya, akan dijaga jiwa, harta, dan kehormatannya, baik itu muslim ataupun non muslim. Mereka semua adalah warga negara daulah yang berhak mendapatkan perlindungan yang terbaik. Siapapun yang melakukan pelanggaran atas jiwa, harta dan kehormatan mereka akan dikenakan sanksi tegas tanpa pandang bulu.
Sejarah mencatat bagaimana daulah memberikan perlindungan pada kaum Yahudi yang diusir oleh raja Ferdinand II. Khalifah Turki Utsmani saat itu, Sultan Bayezid II, menerima 150 ribu pengunsi Yahudi yang terusir dari Spanyol akibat inkuisisi yang dilakukan oleh penguasa Nasrani Spanyol. Beliau memerintahkan agar mereka diterima dan diperlakukan dengan baik, dijaga dan hidup berdampingan dengan damai. Sama halnya dengan diterimanya kaum Yahudi di Turki setelah Konstantinopel dibebaskan oleh Islam di bawah Muhammad al-Fatih.
Cukuplah ini menjadi gambaran bagaimana perlakuan khilafah pada siapapun yang meminta perlindungannya. Dengan tegaknya kembali khilafah, maka kehidupan akan menjadi baik dan penuh rahmatNya. Karena khilafah, hanya akan menerapkan aturan yang bersumber dari Sang Rahman.
Wallahu ‘alam bish-showab.[]