Oleh: Sarah Adilah
MuslimahTimes.com – Antaranews melansir isu perihal diskriminasi dalam ranah pendidikan. Berawal dari viralnya konten di media sosial yang melibatkan wali murid dan perwakilan SMK Negeri 2 Padang. Dalam video tersebut terekam percakapan di antara keduanya, yakni tentang adanya tindakan penolakan untuk menggunakan jilbab dari salah satu siswi SMK tersebut, yang diketahui bernama Jeni Cahyani Hia dan merupakan siswi nonmuslim.
Viralnya berita ini, kemudian ditanggapi oleh Mendikbud, Nadiem Makarim yang menyebutkan bahwa berdasarkan pasal 55 UU 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia setiap anak memiliki hak untuk beribadah sesuai dengan agamanya. Selain itu, merujuk kepada sistem pendidikan nasional mengenai larangan tindakan diskriminatif serta Permendikbud tahun 2014 yang menyebutkan bahwa seragam khas diatur oleh masing masing sekolah. Pada intinya, tindakan itu dinilai Nadiem sebagai bentuk intoleransi yang mengatasnamakan keberagamaan.
Adapun pihak sekolah telah mengklarifikasi melalui Kepala SMKN 2 Padang yang menyebutkan bahwa hal ini merupakan salah satu bentuk kesalahan interpretasi semata, karena dirinya tidak pernah secara langsung mengatakan kewajiban tersebut, namun pada akhirnya disalahartikan oleh pelaksana sekolah yang lain.
Terlihat respon yang beragam dari beberapa pegiat HAM, gender, tokoh agama, dan pegiat sosial dalam menyikapi hal ini. Uniknya, fenomena ini dipandang oleh beberapa pihak sebagai langkah baru dalam mendorong gugatan terhadap Perda syariat. Alasannya, pelaksanaan peraturan di sekolah merupakan bagian dari peraturan daerah. Pasalnya pula, Peraturan Daerah tak jarang menjadi aspek yang berkontribusi pada pelanggaran hak asasi di ranah pribadi.
Menilik lebih jauh, agaknya terlalu dini untuk menggeneralisasi hal itu ke dalam pendapat yang disebutkan. Seolah Peraturan Daerah terutama yang bernada “syariat” semua salah karena membungkam HAM di ranah privasi. Menggarisbawahi hal tersebut, tentu saja hal ini sangat bertentangan dengan pandangan sebagai seorang muslim. Tak heran pula pandangan seperti itu mudah muncul dari kalangan masyarakat, karena pada faktanya Islam sendiri seringkali masih dinilai sepihak, dimana keberadaannya hanya dijadikan untuk mengurusi masalah privasi yang merujuk kepada hubungan antara manusia dengan Tuhannya saja. Seolah tidak boleh ada orang lain yang menghakimi seseorang hanya karena ranah pribadinya tersebut.
Padahal Islam mengurus masalah yang kompleks pada manusia dan kehidupannya.Bukan hanya pada ranah privasi dengan Tuhannya, namun juga hubungan manusia dengan dirinya sendiri, seperti makanan dan pakaian, dan juga hubungan antara sesama manusia. Semua yang tersaji di dalam Al-Quran merupakan representasi dari aturan Islam yang sempurna. Sayangnya, banyak manusia yang tidak terlalu memahami dan berakhir dengan kesimpulan bahwa Islam sama dengan agama lain yang hanya mengatur hubungan ibadah dengan Tuhannya.
Tak heran, pemikiran ini dijadikan arahan bahwa memang Peraturan Daerah sebaiknya fokus hanya pada ranah publik yang berarti tidak boleh ada intervensi dalam ranah ibadah seperti pada kasus jilbab. Karena jilbab dinilai sebagai bagian dari interaksi manusia dengan Tuhannya dan tidak boleh diatur oleh pemerintah setempat.
Pemikiran ini kian selaras dengan berbagai kerusakan yang terjadi saat ini karena abainya muslim dengan agamanya untuk mengatur seluruh aspek kehidupan. Dan sudah seharusnya orang yang ditunjuk untuk melakukan pengelolaan (baca:pemerintah) bertindak untuk melakukan pengaturan urusan masyarakat tanpa membedakan antara ranah publik atau privat. Karena Islam hadir tanpa mengotak-ngotakan ranah-ranah tersebut.
Untuk dapat mengakomodasi pemikiran bahwa Islam memang paripurna dan wajib diamalkan secara paripurna, maka Islam juga perlu didudukkan sesuai dengan entitasnya yang bukan hanya sebagai agama ruhiyah yang mengatur hubungan dengan Allah namun juga Islam bersifat ideologis yang melahirkan berbagai aturan hidup. Keberadaan aturan tersebut juga dipergunakan untuk menjaga manusia dari kemudaratan. Sedangkan kejituannya dalam menyelesaikan masalah tidak diragukan lagi karena diturunkan oleh sang Maha segalanya, yaitu Allah. Jikalau masih ada pemikiran bahwa diri kita lebih mampu dari Allah untuk mengatur kehidupan yang sangat kompleks ini, tentunya malah mengarahkan kita menjadi manusia yang sombong, padahal manusia memiliki banyak keterbatasan yang menyebabkan banyak hal tidak terlaksana dengan selayaknya.
Adapun, Islam sendiri tidak pernah mengajarkan paksaan untuk beragama kepada setiap individu. Meski begitu, perlu adanya kesesuaian aturan yang diberlakukan bagi nonmuslim untuk menjaga kerukunan antarumat beragama dan menjaga akidah kaum Muslimin. Islam menjelaskan hal demikian dengan rinci tanpa mendiskriminasi golongan tertentu. Oleh karenanya, kembali kepada aturan yang benar adalah sebuah keniscayaan. Dan semua itu perlu dibangun melalui adanya pemikiran keimanan yang kokoh sehingga dapat menerapkan hukum-hukum-Nya berupa hukum syariat tanpa ada kata “tapi”.