Oleh: Ari Sofiyanti
(alumni Universitas Airlangga)
#MuslimahTimes — Sudah puluhan tahun indonesia mencari solusi atas permasalahan kasus narkoba. Namun, jeratan narkoba ini sangatlah sulit dilepaskan. Kasus-kasus ini selalu datang susul menyusul. Contohnya saja kasus pesta narkoba mantan Kapolsek Astaanyar Kompol Yuni Purwanti Kusuma Dewi beserta 11 anak buahnya yang belum usai, kini ada lagi oknum polisi yang ditangkap.
Tim Pengamanan Internal (Paminal) Mabes Polri mengamankan tiga oknum polisi di Surabaya yang diduga terlibat menerima setoran upeti dari bandar narkoba pada selasa, 9 Maret 2021. Tiga oknum anggota polisi itu diduga terima setoran dari bandar narkoba yaitu dua oknum Polsek Simokerto dan satu oknum Polsek Bubutan. Keterlibatan oknum polisi terhadap peredaran narkoba dan ekstasi di Surabaya, Jawa Timur terungkap dari para tersangka yang tertangkap 8 Januari lalu. Berdasarkan pemeriksaan dan pengakuan tersangka, Bandar narkoba menyetor sejumlah uang untuk para anggota polisi agar mengamankan transaksi narkoba.
Sungguh, Indonesia telah berada pada titik darurat narkoba. Hal ini ditunjukkan oleh pernyataan Mantan Direktur Penindakan BNN, Benny Jozua Mamoto bahwa Indonesia merupakan sasaran empuk bagi sindikat narkoba. Benny pernah bertanya pada seorang buronan pengedar narkoba mengenai hal ini dan buronan tersebut menjawab, “saya orang bisnis, saya melihat Indonesia pasar yang bagus. Angka permintaannya naik terus, harganya bagus, dan hukum bisa dibeli,”.
Ini menunjukkan bahwa narkoba merupakan kejahatan yang sistemik. Penegak hukum yang seharusnya memiliki tugas mencegah dan memberantas malah menjadi pemakai, backing pengedar atau pengedar. sepanjang Januari hingga Oktober 2020 saja, sebanyak 113 oknum anggota Polri dipecat karena melakukan berbagai pelanggaran berat. Menurut data, sebagian besar oknum polisi yang dipecat tersangkut kasus narkoba.
Mengapa oknum polisi dapat tersangkut kasus narkoba? Mengutip opini yang ditulis oleh Guru Besar dan Dosen Prodi S2 Kajian Ilmu Kepolisisan Universitas Airlangga, Bagong Suyanto, setidaknya ada tiga faktor yang menjadi penyebab polisi terjerumus dalam praktik peredaran narkoba.
Pertama, karena didorong motif ekonomi. Oknum polisi yang sehari-hari hidup pas-pasan, sementara tekanan kebutuhan keluarga terus meningkat, maka salah satu cara yang dipilih terkadang adalah jalan sesat.
Kedua, karena menjadi tempat pelarian dari sejumlah oknum polisi yang tak kuat menghadapi tekanan pekerjaan. Sebagian polisi yang merasa dibebani target dan risiko pekerjaan yang berbahaya dalam proses penegakan hukum, tidak jarang kemudian lari pada penyalahgunaan narkoba untuk menenangkan dirinya. Biasanya oknum polisi seperti ini awal mulanya hanya menjadi konsumen narkoba. Namun, lama-kelamaan untuk menutupi kebutuhan akan kecanduannya terhadap narkoba, mereka biasanya tidak segan terlibat dalam tindak kejahatan, seperti menjadi bagian dari jaringan peredaran narkoba.
Ketiga, karena godaan perkembangan gaya hidup yang negatif yang sulit ditepis. Sebagai bagian dari masyarakat urban yang dinamis, oknum polisi niscaya tidak bisa lepas dari godaan gaya hidup yang ada di sekitarnya.
Jadi, dari sini kita bisa melihat bahwa kejahatan tidak serta merta muncul dari dalam diri oknum polisi saja akan tetapi ada pengaruh dari luar yaitu kehidupan dalam sistem buruk yang membuka peluang aparat hukum melakukan kriminalitas. Inilah sistem kapitalisme yang berdasarkan sekulerisme.
Sistem kapitalisme adalah sistem yang mementingkan materi duniawi semata, asasnya adalah sekulerisme yaitu agama harus dipisahkan dari kehidupan. Sehingga untuk meraih kesenangan fisik atau materi dunia dalam sistem ini dihalalkan segala cara. Kerusakan pun merajalela seperti kesenjangan ekonomi, pergaulan bebas dan kriminalitas tinggi. Bersamaan dengan itu, umat muslim kini semakin jauh dari sistem Islam.
Ada tiga pilar dalam Islam yang dibutuhkan untuk memberantas masalah narkoba yaitu individu yang bertakwa, masyarakat yang peduli dan negara yang menerapkan aturan shohih.
Pertama, individu yang beriman dan bertakwa hanya akan melakukan amal perbuatan sesuai dengan hukum Allah semata. Seseorang harus memiliki kesadaran bahwa dirinya adalah makhluk ciptaan Allah yang harus selalu taat pada apapun perintah Allah dan takut atas azabNya. Maka dengan ini seseorang tidak akan mudah terjerumus dalam kemaksiatan
Kedua, masyarakat yang memiliki perasaan, pemikiran dan terikat pada aturan yang sama yaitu syariat Islam sehingga akan memiliki kepedulian terhadap sesama yaitu dengan melakukan amar maruf nahi munkar. Hal ini sangat berbeda dengan masyarakat sekuler yang cenderung individualis dan tidak peduli sekitar. Kebiasaan amar maruf nahi munkar akan menciptakan suasana Islami atau ketaatan kepada Allah dan menjauhkan dari kemaksiatan.
Ketiga, hadirnya negara yang menjalankan aturan shohih yaitu syariat Islam dalam semua aspek kehidupan. Misalnya memberikan pendidikan berbasis akidah Islam sejak dini agar terwujud individu yang bertakwa dan menerapkan ekonomi Islam yang menyejahterakan manusia. Negara juga menerapkan sanksi tegas sesuai syariat terhadap para pelaku kasus narkoba. Qodhi (hakim) akan memutuskan hukuman ta’zir baik dicambuk, di penjara atau selainnya.
Untuk mengatasi masalah jeratan narkoba tidak ada cara lain selain kembali kepada sistem Islam yang sempurna yaitu dengan menerapkan seluruh aturan Islam dalam semua bidang kehidupan. Tidak hanya membatasi aturan Islam dalam ibadah ritual saja, namun juga dalam aspek bernegara, politik, ekonomi, pendidikan, kesehatan, sanksi dan sebagainya. Aturan Islam secara kaaffah ini hanya bisa diterapkan dalam naungan negara Khilafah yaitu negara yang berasaskan akidah Islam. Karena Allah adalah Pencipta manusia, maka syariat Islam tentu adalah satu-satunya aturan terbaik bagi manusia.