Oleh. Rut Sri Wahyuningsih
(Institut Literasi dan Peradaban)
Muslimahtimes.com – Tangisan histeris nasabah karena tak bisa ambil uang tabungannya di Kantor BMT Semarang terdengar pilu, mereka mencari kepastian keberadaan dana mereka. (kompas.com, 15/3/2021).
Bramedika Kris Endira, kuasa hukum tiga nasabah, menyatakan bahwa total dana kliennya yang tidak bisa diambil mencapai Rp200 juta. “Nasabah yang lain saya kurang tahu jumlahnya, tapi tentu semua nasabah tidak bisa menarik dana yang disimpan di BMT Taruna Sejahtera,” ungkapnya. Tak ada tanggapan dari pihak Bank meskipun Bramedika telah mengirim somasi sejak Oktober 2020
Sedangkan CEO BMT Taruna Sejahtera Yahsun mengatakan bahwa memang ada rencana yang tak sesuai harapan, padahal uang nasabah sudah digunakan untuk membeli aset dan mengembangkan usaha. “Sejak awal pandemi, kami mengalami masalah. Tapi tetap berkomitmen mengembalikan uang nasabah setelah aset tanah di Semarang laku dijual,” paparnya.
Fakta ini membuka pemahaman kita pertama tentang antusias masyarakat akan muamalah berbasis syariah. Bagi mereka itu cukup menarik dan meningkatkan taraf kepercayaan masyarakat sehingga mereka mulai berani berinvestasi dengan dana yang cukup besar. Embel-embel syariat cukup kuat menjadi pemantik meskipun pada praktiknya syariah yang dimaksud baru sekadar istilah dan bukan sistem.
Kedua, menjadi pembuktian bahwa syariah dengan sistem demokrasi kapitalis bagai minyak dan air yang tak bisa dipersatukan selamanya. Haq dan batil tak mungkin berpadu, hitam dan putih tak mungkin berbaur kecuali menjadi warna yang lain, abu-abu. Sebagaimana firman Allah Swt yang artinya:
“Katakanlah: Tidak sama antara yang baik dengan yang buruk, meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu. Maka, bertakwalah kepada Allah hai orang-orang yang berakal agar kamu mendapatkan keberuntungan”. (Qs. Al-Maidah 5: 100)
Syariah adalah sekumpulan aturan dari Allah Swt Sang Pencipta sekaligus Pengatur hidup manusia dan alam semesta. Syariah berisi pemecahan seluruh persoalan manusia, dari persoalan mudah hingga yang belum tergali akibat perkembangan zaman. Sedang demokrasi kapitalis lahir dari akal manusia, makluk yang Allah Swt ciptakan. Jelas tak bisa diperbandingkan, sebab antara pencipta dan yang diciptakan sangatlah berbeda.
Syariah tak bisa diterapkan hanya berdasar intuisi atau kecenderungan semata, namun juga keimanan. Sebab asas yang dibangun di atasnya adalah keyakinan kepada Allah, Rasul, kitab, qada dan qadar baik buruknya berasal dari Allah dan hari akhir. Yang tidak semuanya bisa kita lihat dengan panca indera kita hari ini. Ada beberapa yang keberadaannya kita ketahui melalui ciptaan-Nya yang lain, misal untuk mengetahui malaikat maka kita merujuk pada Al-Qur’an dan hadist Rasulullah.
Dalam hal muamalah simpan pinjam meski berbandrol syariah tetap tak bisa dikatakan 100 persen syariah dan kita bisa memercayai begitu saja, sebab dalam Islam seluruh harta yang dimiliki selain dari mana kita dapatkan, kita pun perhatikan halal haramnya. Islam juga mengatur pengelolaan dan pengembangannl harta. Semua dengan tujuan untukkemaslahatan manusia sendiri, baik sebagai individu maupun anggota masyarakat. Agar harta itu benar-benat bermanfaat dunia akhirat.
Istilah Wadiah, dharabah, syirkah dan sebagainya yang dipraktikkan jika masih berhubungan dengan sistem demokrasi kapitalis tadi maka wajib diwaspadai, karena pasti tak sesuai dengan makna dan peruntukannya. Malah kita bisa terkategori melestarikan sistem kufur karena mencampuradukan antara yang haq dan batil.
Pihak bank BMT dalam hal ini bukan pemilik dana , namun hanya sebagai pengurus maka tidak ada hak untuk kemudian membiayai investasi atau proyek lain atas nama BMT dengan menggunakan uang nasabah. Inilah yang kemudian menimbulkan mudharat. Ketika pandemi Covid-19 menyerang tanpa ampun perekonomian dunia, Indonesia tak luput ikut terlibas juga. Kredit atau pinjaman macet tak terbayarkan atau setidaknya tertunda pembayarannya membuat siklus peredaran keuangannya lainnya pun ikut tersendat. Akhirnya nasabah penabung lah yang terimbas. Uang mereka raib padahal akad mereka hanya menyimpan. Jikapun disebutkan uang mereka akan diinvestasikan ini tak bisa disebut syirkah (kerjasama) syar’i sebab BMT bukan pemilik modal real.
Banyak kejadian serupa menimpa harta-harta dan kekayaan kaum muslim lainnya. Sayangnya sebagai pemilik kita tak punya kuasa, semua kebijakan ada di bawah dikte korporasi atau mereka yang punya kuasa sekaligus pemilik modal. Mereka mengobok-obok kedaulatan negara dan beranggapan sudah memberi bantuan atas setiap kesulitan. Semua ini berhasil menggeser citra Islam menjadi buruk dan hina. Semestinya kita tak rela, sebab goresan sejarah tak mungkin ditutupi begitu saja bahwa ketika Islam memimpin, dunia bergantung padanya.
Seluruh kemajuan peradaban yang tak terbayangkan hingga hari ini belum ada yang menandingi kehebatannya. Selama 1300 tahun dalam kemajuan dan kecemerlangan. Kini baru 100 tahun kita tanpanya, keadaan sudah mengenaskan, nestapa. Maka, bukankah ini sudah menjadi kewajiban kita untuk mengembalikannya? Agar tak hanya tangis nasabah yang berhenti, namun kembali kita bisa menikmati kesejahteraan yang hakiki. Wallahu a’ lam bish showab.