Oleh. Henyk Widaryanti
Muslimahtimes- Bertahun-tahun lamanya negeri ini bertumpu pada energi yang tak dapat diperbaharui. Faktanya Sumber Daya Alam (SDA) yang tak dapat diperbaharui (non renewable) yang dipakai sebagai sumber energi. SDA biasanya terdiri atas mineral, logam, emas, besi, aluminium, intan, bahan bakar fosil (minyak bumi, gas alam dan batu-bara) dan bahan radioaktif. Sedangkan bahan tambang yang biasa dibuat energi adalah bahan bakar fosil seperti minyak bumi, gas alam, dan batu-bara.
Jika kita terus mengandalkan bahan bakar fosil, maka lambat laun persediaannya akan menipis. Karena sifat SDA ini tak mudah beregenerasi dalam waktu singkat dan jika digunakan akan berkurang jumlahnya. Oleh karena itu, diperlukan upaya baru untuk menemukan SDA yang dapat menggantikan bahan bakar fosil (renewable).
EBT Upaya Pengganti Bahan Bakar Fosil
Berbagai penelitian dilakukan. Akhirnya ditemukanlah bahan Energi Baru Terbarukan (EBT) yang dinilai dapat menggantikan bahan bakar fosil. Sejak April tahun 2020 pemerintah telah berusaha memenuhi kebutuhan energi melalui EBT. Hingga akhir tahun 2020 capaian EBT sekitar 11,5%.
Pada tahun 2025 ini target capaian EBT sebesar 23%. Oleh karena itu, perlu upaya yang besar untuk menggenjot pencapaian EBT. Hal ini diungkapkan oleh Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE), Dadan Kusdiana.
Nantinya juga ada 3 jalur yang akan ditempuh untuk meraih target EBT tersebut. Di antaranya, listrik, pemanfaatan berbasis nonenergi fosil atau biofuel dan pemanfaatan langsung energi baru terbarukan. (cnbcindonesia.com, 22/2/21).
Upaya peningkatan program EBT ini dilakukan dengan kerjasama penelitian, pendidikan dan pengabdian masyarakat. Lembaga yang digandeng untuk membantu pengembangannya adalah perguruan tinggi. Salah satunya Universitas Gajah Mada (UGM) dan Universitas Pertamina (UP) (detik.com, 17/3/21).
EBT merupakan penemuan baru bagi reformasi energi bagi manusia. Tak hanya Indonesia, EBT adalah program dunia untuk meninggalkan bahan bakar fosil yang segera habis dan lebih ramah lingkungan tentunya. Tak bisa dipungkiri ketika EBT ini berhasil dimanfaatkan, akan menghemat pembiayaan negara untuk menyediakan energi bagi masyarakat.
EBT Harus Terarah dan Jangan Menambah Masalah
Dalam pengembangan EBT perlu adanya arahan yang pasti. Jika tidak dikelola dengan persiapan dan pertimbangan yang benar, bisa juga mengakibatkan masalah baru. Misalnya, mengenai bahan bakar biofuel atau biodesel yang terbuat dari bahan dasar minyak nabati, baik minyak sawit, minyak jarak atau minyak lainnya.
Pengembangan EBT yang besar akan membutuhkan bahan yang banyak pula. Jika berpangku pada minyak sawit, maka rakyat akan melakukan gerakan penanaman sawit. Sayangnya sampai saat ini, perkebunan sawit mayoritas milik swasta.
Seperti yang telah terjadi beberapa waktu lalu, ketika hutan berubah fungsi menjadi lahan sawit, tidak ada pengaturan yang pas. Kemampuan tanah untuk menahan air akhirnya berkurang. Jika waktunya hujan, yang terjadi adalah banjir dan tanah longsor. Jika musim kemarau yang terjadi adalah kekeringan atau kebakaran hutan.
EBT dalam bidang listrik juga demikian. Pemanfaatannya bisa dari gas alam, panel surya atau kincir angin. Pembiayaan pembangkit listrik baru ini tentu cukup besar. Oleh karena itu, perlu kerjasama atau investasi istilahnya. Ketika rencana ini dilaksanakan tentu akan menghasilkan masalah baru.
Sebuah proyek yang mengandalkan dana bantuan pinjaman atau investasi modal asing akan berorientasi pada untung. Mereka tak akan mau rugi, bisa jadi sebagai pengganti dana operasional plus meraup keuntungan akan membebankannya pada rakyat. Mereka akan membayar setiap kWh yang dipakai dengan harga “wah”. Sehingga yang terjadi bukan badan pemerintah yang meri’ayah rakyat, tapi malah jadi badan usaha untuk meraih keuntungan.
EBT Lancar Butuh Negara yang Kekar
Masalah transformasi energi bukanlah hal yang sepele. Butuh kekuatan sistem dan dana yang besar agar tranformasi ini berhasil. Islam dengan idealismenya memiliki sistem yang unik. Mulai dari sistem keuangan, pemerintahan hingga sistem sanksi yang tegas.
Sistem keuangan Islam mengatur pendapatan negara melalui kharaj, fai, jizyah, dan pengelolaan SDA. Keuangan ini dapat dipakai untuk pembiayaan penelitian sekaligus pembuatan proyek EBT. Lantas, bagaimana pandangan Islam tentang modal yang berasal dari utang dan investasi?
Islam mengharamkan riba. Oleh karena itu, metode pembiayaan yang berbasis utang secara ribawi tidak akan dipakai. Apalagi jika yang memberikan utang adalah negara asing. Mereka tidak akan mengutangi dengan gratis. Bagi mereka harus ada keuntungan yang diperoleh.
Begitu pula dengan penyertaan modal asing seperti investasi. Negara akan mudah disetir sesuai keinginan pemberi modal. Bahkan EBT yang awalnya untuk memasok energi bagi rakyat, bisa saja jadi ajang bisnis baru untuk mengeruk harta rakyat. Maklum, yang dicari adalah untung, bukan kemaslahatan rakyat semata. Nah, untuk menjaga kemungkinan tersebut, Islam tidak mengambil modal asing.
Islam pun akan memerhatikan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Dengan melakukan transformasi EBT, bukan berarti malah merusak lingkungan. Misalnya penggunaan kelapa sawit untuk biofuel. Perhitungan mengenai luas lahan yang bisa dipakai, pendapatan saat panen, hingga akibat yang akan terjadi karena pembukaan lahan akan diperhitungkan. Sehingga tidak merusak habitat alami makhluk lain dan ekosistem yang ada.
Pengembangan EBT yang tidak memiliki pengaruh negatif besar akan lebih diperhatikan. Misalnya seperti pemanfaatan tenaga angin, matahari, air yang bisa diubah menjadi energi. Baik energi panas, gerak dan lainnya. Oleh karena itu, Islam akan memaksimalkan penelitian. Dengan memfasilitasi para peneliti untuk menemukan inovasi baru. Semua itu dilakukan demi kesejahteraan rakyat.
Rasulullah Saw bersabda,
“Seorang iman (pemimpin) adalah bagaikan pengembala, dan dia akan diminta pertanggungjawaban atas gembalaannya (rakyatnya).” (HR Bukhari)
Wallahu’alam bishowab.