Oleh. Kholda NajiyahÂ
MuslimahTimes.com – Perempuan yang diidentikkan sebagai korban kekerasan, kini sudah beralih menjadi pelaku. Misalnya kasus di Musi Banyuasin, Sumsel, dimana Samsidar (29) ikut menganiaya anaknya bersama sang suami AA (33), hingga AP (11) tewas. Kesal, karena anak itu sering berperilaku tak wajar, disebabkan mengalami keterbelakangan mental. Di Surabaya, AS (24) tega menganiaya anaknya, balita berinisial MTP (4) hingga tewas. Ibu muda ini kesal karena anaknya ngompol. Tubuh balita itu penuh luka bekas aniaya (Okezone).
Tak hanya anak-anak, para suami juga menjadi sasaran kekejaman perempuan. Ada beberapa kasus istri bunuh suami seperti dilansir Okezone. Misalnya, di Karawang, Jabar, NW (49) menyewa pembunuh bayaran untuk membunuh suaminya, KA (54), bos warung makan Padang, Rabu (27/10/21).
September 2021, M di Rokan Hulu (Rohul), Riau, nekat membunuh suaminya, B (40) dengan sebilah golok. Motifnya lantaran dendam dan sakit hati. Ada lagi, VLH (25) yang membunuh N (45), suaminya, pemilik toko emas (28/6/21). VLH melakukan ini bersama selingkuhannya, MM, warga Afhanistan. Selain itu, perempuan berinisial KL (30) menjadi otak dari pembunuhan suaminya sendiri, B (38) di Sedayu, Bantul, (30/3/21). Motifnya karena KL berselingkuh dengan sepupu korban, NK (22).
Sungguh mengerikan. Perempuan-perempuan yang identik dengan sifat pemalu, lembut dan penuh kasih sayang, telah berubah begitu kejam. Para istri yang dahulu dikenal sabar, taat dan setia mengabdi pada suami, kini mengkhianati. Para ibu yang selalu melindungi sang buah hati, malah menjadi jagal anak kandungnya sendiri.
Laki-Laki Juga Korban
Studi tentang kekerasan terhadap perempuan, masih berkutat mengenai posisi perempuan sebagai korban. Pembahasan itu tidak terlepas dari pemikiran bahwa perempuan lebih inferior dibandingkan laki-laki. Seolah-olah perempuan berada sebagai objek semata dan tidak bisa menjadi subjek.
Perempuan memang terlanjur dipandang sebagai pemilik hati yang baik dan penyayang, sehingga dianggap mustahil bertindak sebagai pelaku kekerasan atau kejahatan. Benar, idealnya demikian. Namun, dewasa ini, perempuan telah berubah wujud menjadi subjek kejahatan. Perempuan telah menjadi pelaku kekerasan dalam rumah tangga, baik terhadap suami maupun anak-anaknya.
Tentu saja data laki-laki sebagai korban kekerasan perempuan tidak tercatat, karena hal itu dianggap aib. Kalaupun ada, hanya jika si laki-laki sudah meninggal alias menjadi korban pembunuhan seperti di atas. Adapun kekerasan berupa penganiayaan ringan atau kekerasan verbal, tidak terlaporkan. Namun, tidak bisa dipungkiri, realitas di masyarakat menunjukkan, betapa banyak istri yang tega berbuat kejam terhadap suaminya sendiri.
Perjuangan para penggiat kesetaraan gender yang masih berkutat pada penyelamatan perempuan dari korban kekerasan, sebenarnya sudah cukup terlambat. Seharusnya sudah beranjak pada penyelamatan perempuan agar tidak menjadi pelaku kekerasan itu sendiri. Mengeluarkan perempuan dari posisi subjek kejahatan.
Namun, karena perjuangannya masih berkutat pada aspek pragmatis dan tidak menyentuh akar masalah berupa penyebab munculnya kekerasan terhadap perempuan, adalah wajar jika upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan tidak pernah tuntas. Kekerasan terus tumbuh tiada terbendung.
Akar Kekerasan
Perempuan tidak menjadi objek maupun subjek kejahatan begitu saja, tanpa ada hal-hal yang memicunya. Nah, akar masalah mengapa perempuan menjadi korban, dan bahkan bisa menjelma menjadi pelaku kejahatan yang mengerikan adalah karena mereka hidup di bawah payung sekuler liberal.
Di sistem ini, perempuan tidak mendapatkan kesejahteraan baik fisik maupun psikis. Dua hal ini adalah pemicu, mengapa perempuan tidak hidup sesuai fitrahnya sebagai manusia yang lembut dan penuh kasih sayang. Penerapan sistem di segala bidang, bertanggung jawab atas kondisi fisik dan mental kaum perempuan yang tidak sejahtera.
Di bidang ekonomi, banyak perempuan yang tidak mendapatkan kesejahteraan materi. Wali atau suami yang menanggung nafkah perempuan, tidak mampu mewujudkan kesejahteraan mereka. Hal ini berpengaruh besar terhadap kesejahteraan mental kaum perempuan.
Kemiskinan, ketidak-berdayaan dalam memenuhi kebutuhan anak-anak, kebingungan mengatur keuangan rumah tangga yang minim, bahkan mereka harus ikut menanggung beban ekonomi keluarga; memicu stres dan terganggunya kestabilan mental. Amarah, emosi dan bahkan kekerasan menjadi pelampiasannya. Siapa sasarannya? Tentu saja yang terdekat adalah anak-anaknya dan suami.
Di bidang sosial, merebaknya pergaulan bebas, meledaknya angka perselingkuhan, dan menggilanya kasus LGBT, turut menambah derita kaum perempuan. Tak sedikit para suami atau perempuan itu sendiri yang terjerumus pergaulan bebas. Meski sudah punya pasangan halal, masih juga mencari pasangan lain. Akibatnya memicu konflik dan kekerasan dari kedua belah pihak.
Di bidang hukum, penerapan hukuman yang tidak mampu mencegah pelaku lain, akhirnya membuat kejahatan merajalela. Pelaku-pelaku baru terus saja bermunculan, baik laki-laki maupun perempuan dan korbannya pun bisa laki-laki maupun perempuan. Pemberantasan kekerasan di sekitar perempuan menjadi sia-sia, karena ibarat mati satu tumbuh seribu.
Mindset Menyesatkan
Catatan Tahunan Komnas Perempuan menyebutkan, kekerasan terhadap perempuan pada 2020 mencapai 299.911 kasus. Hari Antikekerasan terhadap Perempuan 25 November 2021 dimanfaatkan untuk kampanye mencegah dan menghapus segala bentuk kekerasan terhadap perempuan. Salah satu yang menjadi agenda adalah tuntutan agar RUU mengenai “Kekerasan Seksual yang Berpihak pada Korban†segera disahkan menjadi UU.
Payung hukum sebelumnya, seperti KUHP atau UU KDRT belum mampu menangani kasus kekerasan terhadap perempuan. Namun, alih-alih akan melindungi perempuan, pasal-pasal di RUU terbaru, malah berpotensi melanggengkan kekerasan terhadap perempuan. Misalnya tentang adanya konsensus atau persetujuan dalam hubungan seksual, hal ini justru menyuburkan zina yang korbannya notabene adalah perempuan.
Hari Antikekerasan terhadap Perempuan sendiri merupakan penghormatan atas tewasnya Mirabal bersaudara yaitu Patria, Minerva dan Maria Teresa pada 1960. Mereka bertiga adalah aktivis politik yang memperjuangkan demokrasi dan keadilan dan dibunuh rezim. Dijadikan sebagai simbol perlawanan terhadap kediktatoran penguasa Republik Dominika saat itu.
Perjuangan melawan kekerasan di dunia perempuan, disemangati oleh perjuangan untuk mendukung demokratisasi dan liberalisasi. Menggiring perempuan agar menuntut otoritas tertentu yang menyangkut hidupnya, seraya mengabaikan bahwa perempuan berhak dijamin dan dilindungi oleh pihak-pihak lainnya.
Misal, dalam konteks rumah tangga, mindset ideologi sekuler mengatakan, perempuan menjadi korban kekerasan gara-gara miskin atau tergantung secara ekonomi pada suaminya. Supaya tidak miskin, perempuan harus bekerja. Mandiri ekonomi, jangan tergantung suami. Jika perempuan sejahtera, maka suami tidak akan semena-mena. Jika suami tetap main kekerasan, perempuan berani ambil pilihan untuk berpisah, karena sudah memiliki posisi tawar yang kuat.
Padahal, mindset ini menambah deretan kekerasan selanjutnya. Ketika perempuan berbondong-bondong keluar untuk bekerja, tak sedikit yang menjadi korban kekerasan teman kerja, bos, atau relasinya. Ia bahkan dieksploitasi habis-habisan hingga energinya terkuras.
Perempuan berperan ganda ini mengalami kelelahan fisik dan mental, hingga memicu stres. Depresi menyerang. Emosi dan amarah meledak, anak-anak dan suami menjadi pelampiasan kekerasan. Perempuan yang semula korban kekerasan, telah menjelma menjadi pelaku kekerasan itu sendiri.
Karena itu, solusi untuk mengatasi kekerasan terhadap perempuan yang dipicu oleh faktor ekonomi, bukanlah mendorong perempuan bekerja sendiri meraih materi. Tetapi, bagaimana negara mendorong kaum laki-laki untuk memiliki kemampuan menyejahterakan perempuan yang berada dalam tanggungannya. Dengan demikian, perempuan tetap terjaga perannya sebagai istri dan ibu, pendidik anaknya. Peran yang sesuai fitrah dan akan dinikmati dengan bahagia, tanpa kekerasan sedikitpun.
Demikian pula, bila sistem pergaulan bebas dihilangkan dan diganti dengan sistem pergaulan yang ketat sebagaimana Islam mengaturnya, maka perempuan-perempuan akan terjaga dari kekerasan seksual. Peluang laki-laki dan perempuan untuk selingkuh, apalagi berzina, akan tertutup rapat-rapat karena sanksi yang berat. Tidak perlu aturan konsensus soal hubungan seks di luar nikah, karena Islam mengatur tegas bahwa hubungan seksual hanya boleh di bawah akad pernikahan yang sah.
Walhasil, jika serius menghendaki perempuan bebas dari lingkaran kekerasan, baik sebagai korban maupun pelaku, maka singkirkanlah sistem hidup berbasis ideologi sekuler liberalisme dan terapkan sistem Islam.