Oleh: Eni Imami, S.Si (Pegiat Literasi)
Muslimahtimes.com –Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait Undang-undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) menuai kritik. MK disinyalir mengambil jalan tengah untuk mengamankan UU yang bertentangan dengan UUD 1945. UU tersebut tidak dibatalkan dan dinyatakan inkonstitusional bersyarat dengan diberikan tempo 2 tahun untuk direvisi. Selama tempo tersebut, UU Ciptaker tetap diberlakukan. Ada apa dengan putusan MK?
Dilansir dari CNNindonesia.com, (27/11/2021), Guru Besar Hukum Tata Negara, Denny Indrayana, menilai bahwa MK mengambil jalan tengah untuk mengakomodasi berbagai kepentingan. Hal ini membuat putusan menjadi ambigu, pasalnya MK menilai secara prosedur pembuatan UU inkonstitusional, namun UU-nya tetap dianggap konstitusional dan tetap berlaku. Harusnya, jika secara prosedur tidak sesuai maka hasilnya pun tidak dapat diberlakukan.
Sejak berbentuk rancangan, UU Ciptaker memang sudah memicu perdebatan. Namun pemerintah tetap mengesahkan. Meski pernah dicetuskan jika rakyat tidak sepakat bisa mengajukan UU tersebut ke MK. Sejenak rakyat merasa lega karena MK mengabulkan uji formil dan menyatakan UU Ciptaker bertentang dengan UUD 1945. Namun, MK hanya merespon tuntutan penolakan rakyat dengan menuntut pemerintah melakukan revisi, bukan mencabut UU yang cacat tersebut.
Jelas saja keputusan MK membuat rakyat kecewa. Lembaga independen ini harusnya menjadi tempat mengadu bagi rakyat. Menggantungkan harapan agar bisa lepas dari UU Ciptaker yang dinilai cacat bawaan dan banyak menzalimi rakyat. Lembaga yudikatif ini yang katanya lembaga netral untuk menegakkan keadilan nyatanya memberikan keputusan yang abu-abu.
Pakar Hukum Tata Negara dari STIH Jentera, Bivitri Susanti menilai putusan MK banyak dipengaruhi oleh unsur politik daripada murni putusan hukum. Dilihat dari rekam jejaknya, ini bukan kali pertama dilakukan MK. Ia menyoroti beberapa putusan MK yang didominasi oleh pertimbangan politik, termasuk diantaranya revisi UU KPK pada 2019 atau UU APBN pada 2005 silam. (CNNindonesia.com, 2/12/2021)
Keputusan MK memberikan tempo revisi UU Ciptaker menjadi bukti bahwa UU yang inkonstitusional masih bisa dipertahankan. Hal ini mengindikasikan bahwa UU hukum sekuler memberi celah bagi penguasa untuk mengutak-atik hukum sesuai kepentingan mereka. Begitulah hukum buatan manusia mudah berubah-ubah dan gagal memberi solusi atas setiap persoalan kehidupan.
Sesungguhnya UU Ciptaker disusun bukan untuk rakyat, tetapi lebih berpihak pada kepentingan para pengusaha. Sekuat apapun rakyat menolak akan berujung kesia-siaan jika akar persoalannya tidak dibongkar. Para pemilik modal akan menjadi pihak yang kuat bahkan mampu mengendalikan penguasa selama sistem kapitalisme masih menjadi pijakan.
Sistem kapitalisme dengan arogansinya mampu memutarbalikkan fakta, bahkan kezaliman yang dilahirkan dikemas dengan manis namun terasa pahit. Ketidakpedulian sistem ini terhadap kesejahteraan rakyat memang tabiat dari bawaan. Sungguh ilusi jika masih berharap pada sistem kapitalisme hingga saat ini.
Satu-satunya harapan sebagai solusi kehidupan adalah sistem Islam. Sistem yang bersumber dari wahyu Allah pasti membawa kebaikan bagi seluruh alam. Dalam sistem Islam terdapat lembaga peradilan yang membawahi Mahkamah Madzalim. Mahkamah ini dipimpin oleh Qadhi Madzalim yang bertugas untuk menghilangkan setiap bentuk kezaliman dari negara kepada rakyat, baik warga negara maupun bukan.
Syaikh Abdul Qodim Zallum dalam kitab _Ajhizah_ (2005), menjelaskan bahwa wewenang Qadhi Madzalim yakni memeriksa dan memutuskan perkara kezaliman apapun. Jika negara menetapkan peraturan administratif untuk kemaslahatan rakyat, lalu salah seorang dari rakyat merasa terzalimi dan mengajukan komplain, maka Qadhi Madzalim akan melakukan pemeriksaan. Sebagaimana pernah terjadi komplain masalah pengairan pada orang Anshar.
Jika kezaliman terjadi karena sikap atau tindakan semena-mena dari penguasa, maka Qadhi Madzalim berhak menghentikan tindakan tersebut bahkan memberhentikan penguasa sebagaimana ketentuan hukum syara’.
Selain itu, Qadhi Madzalim juga memiliki hak untuk menguji UUD, UU, dan peraturan pemerintah di bawahnya. Jika bertentangan dengan hukum syara’ maka Qadhi Madzalim berhak untuk membatalkannya. Tentu saja Qadhi Madzalim bukanlah orang sembarangan. Dia diangkat berdasarkan hukum syara’ untuk menegakkan keadilan berdasarkan hukum syara’. Sungguh sangat berbeda dengan lembaga peradilan saat ini. Maka, sudah saatnya meninggalkan sistem kapitalisme dan kembali pada sistem Islam sebagaimana penerapannya telah dilakukan oleh Rasulullah Saw beserta para Khalifah sesudahnya.