Oleh. Kholda Najiyah
(Founder Salehah Institute)
Muslimahtimes.com — Viral, seorang muslimah menikah dengan nonmuslim, dengan tata cara pernikahan dua kali. Pemberkatan di gereja, lalu ijab qabul pula secara Islam. Menurut pengakuan fasilitator nikah beda agama, Achmad Nurcholish, itu adalah pernikahan ke 1.424. Sayang, hingga tulisan ini dibuat, tidak satu pun media yang menelisik fakta di balik pernikahan itu.
Tidak jelas, siapa nama mempelainya, berapa usianya, bagaimana kisahnya hingga memutuskan menikah beda agama dan siapa orang tuanya masing-masing serta bagaimana mereka mengizinkan anaknya menikah dan seterusnya. Padahal biasanya untuk kasus sensitif seperti ini, media akan berlomba-lomba yang terdepan dalam menguak fakta.
Apalagi di era digital saat ini, tak sulit bagi wartawan untuk menelusuri kebenaran fakta itu dan mengungkapkannya. Bisa menjadi berita bersambung yang terus-menerus jadi kontroversi. Ini tidak. Publik masih bertanya-tanya, siapa pelaku pernikahan itu. Tak heran bila sebagian masyarakat berasumsi, jangan-jangan ini adalah settingan, di tengah gencarnya propaganda tentang keberagaman dan toleransi.
Jelas Haram
Apa pun faktanya, yang jelas kebenarannya adalah bahwa haram hukumnya seorang muslimah menikah dengan laki-laki nonmuslim. Ulama yang lurus, organisasi Islam dan kaum muslimin secara umum, tahu betul akan keharamannya. Itu sebabnya, meski fakta menikah beda agama selalu ada sejak zaman dulu, tidak ada yang berani terang-terangan melakukannya, seperti saat ini.
Kasus ini menjadi viral dan menjadi perbincangan hangat, karena ironis ada pengantin berhijab malah menikah di Gereja. Mengapa? Sebab, hijab adalah ikon ketakwaan dan kesalihan seorang muslimah. Bahkan hijab dimaknai sebagai tanda bahwa dia telah hijrah dari kehidupan jahiliah yang dulu tanpa menutup aurat. Tentu saja hal itu identik dengan makin dekatnya dia dengan agamanya.
Memang, tidak semua muslimah berhijab benar-benar takwa dan taat pada Allah Swt. Ada saja yang ulahnya masih jauh dari nilai-nilai Islam. Namun, jika seorang muslimah berhijab sampai nekat menikah di gereja, tentu sangat melewati batas. Pastinya dia tahu bahwa perbuatannya akan menimbulkan kegaduhan. Sebab, pada hakikatnya, dia telah menunjukkan kemaksiatan secara terang-terangan. Terlepas dari siapa yang memviralkan pernikahannya, bagaimana bisa seorang muslimah berhijab, senang jika kemaksiatannya diketahui publik?
Ya, tentu perbuatannya adalah maksiat karena menentang larangan Allah Swt untuk tidak menikahi laki-laki nonmuslim. Hal ini berdasarkan firman Allah Swt dalam surat Al-Baqarah 221 yang artinya: ’’Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik hingga mereka beriman (masuk Islam). Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun ia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) hingga mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, meskipun ia menarik hatimu…” (QS: al-Baqarah:221).
Ayat ini menjadi landasan keluarnya fatwa dari berbagai lembaga agama. Majelis Ulama Indonesia pada Munas II pada 1980 telah menetapkan dua fatwa tentang pernikahan beda agama. Pertama, perkawinan wanita Muslim dengan laki-laki non-Muslim hukumnya haram. Kedua, seorang laki-laki Muslim diharamkan mengawani wanita musyrik. Nahdlatul Ulama (NU) dalam Muktamar ke-28 di Yogyakarta November tahun 1989 juga tegas menyatakan bahwa nikah beda agama tidak sah. Demikian pula ormas Muhammadiyah.
Prahara Rumah Tangga
Alasan yang kerap dijadikan tameng bagi pelaku nikah beda agama adalah bahwa menikah itu yang penting tujuannya, yaitu mewujudkan kasih sayang, hingga melahirkan ketenangan lahir batin. Jadi, menurut mereka, tidak penting agamanya apa. Mereka biasaya juga memberikan contoh pasangan-pasangan publik figur yang rumah tangganya awet meski beda agama. Sebaliknya, mereka mencontohkan, betapa banyak rumah tangga yang satu agama tapi tetap saja bisa bercerai. Seolah-olah agama menjadi sumber prahara.
Padahal, prahara rumah tangga itu terjadi, justru karena banyak pasangan yang tidak menerapkan aturan agama dalam membangun relasi suami istri. Misal, banyak istri yang tidak taat pada suami dan banyak suami yang tidak bertanggung jawab pada istri. Banyak istri yang abai dalam menjalankan kewajibannya, demikian pula, banyak suami yang tidak berbuat makruf pada istrinya.
Nah, pernikahan satu agama saja masih terjadi prahara, bagaimana pula dengan pernikahan beda agama? Tentu akan sangat panjang konsekuensinya. Sedangkan pernikahannya sendiri diawali dengan prahara, yaitu melanggar larangan Allah Swt. Kalau tidak ada restu Allah, mana bisa pernikahan itu berkah dunia dan akhirat.
Ya, pendukung nikah beda agama pasti ngeyel dan berdalih, banyak pasangan beda agama yang hidupnya baik-baik saja. Sekali lagi, hal itu tidak dapat dijadikan dalil akan kebolehan menikah beda agama. Percayalah, kalaupun mereka tampak bahagia, itu hanyalah kebahagiaan semu. Sebab, pernikahan bukan sekadar mencari bahagia di dunia, melainkan hingga akhirat.
Pernikahan bukan hanya hubungan laki-laki dan perempuan dalam satu ikatan agar dapat berkasih sayang, tetapi sebagai jalan ikhtiar untuk meningkatkan ketakwaan pria dan wanita agar kelak sama-sama bisa masuk surga. Karena itu, apapun dalihnya, kita harus tetap kembali kepada aturan Allah. Jika Allah mengatakan haram, maka tak ada pilihan bagi kita untuk meninggalkannya.
Apa yang tampak di mata manusia baik, belum tentu baik. Sebaliknya, yang diharamkan oleh Allah sudah pasti buruk, maka itu tinggalkanlah tanpa nanti, tanpa tapi. Semoga dengan viralnya kasus ini, dan banyak ulama yang mengingatkan kembali akan keharaman pernikahan beda agama ini, para muslimah terhindar dari perbuatan sejenis.
Mudarat Dunia Akhirat
Banyak mudharat ketika seorang muslimah memilih pemimpin rumah tangga seorang nonmuslim. Pertama, pernikahannya sendiri dianggap tidak sah alias batil di hadapan syariat Islam. Dengan demikian, hubungannya dengan suami adalah hubungan seorang muslimah dengan orang asing. Tidak boleh berkhalwat, apalagi berhubungan intim. Jelas ini masuk kategori dosa besar, yaitu berzina.
Apalagi jika dari hasil pernikahan batil itu lahir anak, maka anak itu tidak boleh dinasabkan pada ayah biologisnya, karena dianggap anak hasil zina. Padahal, jika anak yang lahir perempuan, lalu kelak menikah, dia tentu butuh wali dari ayah kandungnya. Namun, hal itu tidak akan bisa dilakukan.
Kedua, muslimah begitu dinikahi laki-laki, maka ia ibarat tawanan, yaitu ditawan cintanya oleh suami, tidak lagi memiliki kebebasan, tetapi berada dalam kepemimpinan suaminya, sementara dalam Islam istri wajib taat pada suami. Nah, apabila suami nonmuslim, maka besar kemungkinan istri tidak menjalani pernikahan sesuai dengan syariat Islam, melainkan “syariat” agama suaminya.
Tentu saja dia tidak punya kesempatan untuk meraih pahala dengan menjalankan syariat Islam. Alangkah sia-sianya, jika seluruh amalnya tidak diterima oleh Allah Swt, dikarenakan caranya yang tidak benar, meski niatnya ingin meraih pahala.
Ketiga, muslimah setelah berstatus ibu, dia wajib mendidik anak-anaknya dengan agama yang baik. Jika dia saja melanggar agama, yaitu menikahi nonmuslim dan tidak memiliki keyakinan yang kokoh; bagaimana bisa membawa anak-anaknya menjadi anak yang saleh? Kebanyakan, anak-anak akan ikut agama bapaknya. Tentu ini menjadi dosa bagi si ibu yang membiarkan anaknya menjadi nonmuslim.
Keempat, anak-anak hasil pernikahan beda agama akan tumbuh menjadi anak yang juga sekuler, cenderung tidak mau ambil pusing untuk mendalami agama, sehingga akan lahirlah generasi yang makin apatis dengan agama, karena tidak menganggap agama sebagai sesuatu yang penting. Bahkan mereka juga keran pindah-pindah agama, karena menjadi orang yang labil kepribadiannya.
Demikianlah, hanya mudharat yang akan dipanen jika berani melanggar syariat Allah Swt. Karena itu, semoga tidak ada lagi muslimah yang tergiur menikahi pria beda agama. Tentunya, harus ada peran negara dalam melindungi aqidah umat dan melarang terjadinya pelanggaran syariat Allah Swt. UU Perkawinan seharusnya tegas melarang pernikahan beda agama ini dan memberi sanksi pada pelakunya. Tentu, hanya negara berpedoman pada wahyu Allah Swt yang bisa melakukannya.(*)