
Oleh. Intan H.A
(Pegiat Literasi)
Muslimahtimes.com– Kasus kekerasan seksual terhadap anak semakin memprihatinkan dari tahun ke tahun. Ancamannya tidak lagi datang dari orang-orang yang tak dikenal. Kini, orang terdekat yang sejatinya menjadi tempat sandaran dan berlindung bagi anak menjadi pelaku kekerasan seksual yang mengancam mereka.
Ahli Kajian Gender dan Seksualitas Universitas Amsterdam, Prof. Dr. Saskia E. Wieringa, mengatakan, “Kini sudah banyak kasus pemerkosaan yang melibatkan orang terdekat, seperti keluarga dengan anak, paman dengan keponakan, kakek dengan cucu, atau dilingkungan sekolah seperti guru dengan murid. Hal ini di sebabkan karena ada unsur kekuasaan yang sangat kental di sini, sehingga anak tidak bisa berbuat apa-apa karena terlalu takut”. (Kompasiana.com, 27/4/2022)
Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Hasto Atmojo Suroyo, mengungkapkan bahwa sejak awal 2022 kasus kekerasan seksual mengalami tren meningkat dan LPSK telah mendapatkan 400 laporan korban, baik perempuan maupun anak-anak. Belakangan ini, tren yang naik adalah kekerasan seksual kepada perempuan maupun anak. (Republika.co.id, 22/7/2022)
Anak-anak dan perempuan selalu menjadi sasaran perilaku kejahatan. Hal ini disebabkan mereka adalah objek yang lemah dan adanya faktor lain yang menyebabkan kekerasan seksual selalu menimpa mereka. Berbagai upaya telah dicoba untuk menghadirkan perlindungan dan mencegah perilaku menyimpang. Akan tetapi hasilnya tidak sesuai harapan. Para pelaku selalu saja mendapat ruang segar untuk melancarkan aksinya, sehingga kasus yang terjadi semakin hari semakin beragam motifnya.
Jika dicermati ada beberapa hal yang melatar belakangi kasus kekerasan seksual semakin meningkat dari tahun ke tahun;
Pertama, lenyapnya ketakwaan dalam diri individu. Ketakwaan merupakan fondasi yang akan membentengi diri dari perilaku amoral. Sayangnya, dalam sistem sekularisme-liberalisme ketakawaan ini sirna dalam diri individu masyarakat. Sehingga, menjadikan mereka tidak lagi menimbang-nimbang perilakunya terhadap pahala-dosa, halal-haram, maupun surga-neraka. Dalam sistem saat ini peran agama dikikis dalam kehidupan sehari-hari. Alhasil, dalam bertingkah laku masyarakat tidak lagi menstandarkannya pada nilai-nilai agama.
Kedua, minimnya aktivitas amar-makruf nahi mungkar. Di dalam surat Al-Ashr Allah Swt memerintahkan pada seluruh manusia untuk saling menasihati dalam kebaikan وتوا صو بالحق . Akan tetapi, aktivitas ini tidak lagi menjadi pembiasaan di tengah-tengah masyarakat. Terlebih, banyaknya kasus intimidasi yang dialami oleh mereka yang melakukan perannya di tengah-tengah masyarakat sebagai penyeru kebaikan (berdakwah). Sehingga memunculkan kekhawatiran dalam benak manusia untuk melakukan aktivitas amar makruf nahi mungkar. Dampaknya, semakin meningkat para pelaku maksiat yang menimbulkan kekhawatiran di tengah-tengah masyarakat.
Ketiga, tidak adanya aturan mengenai batasan pergaulan pria-wanita. Aturan mengenai interaksi pria-wanita dalam sistem sekuler-liberalisme memang tidak dikenal. Sebab, kebebasan merupakan hak bagi setiap individu yang dilindungi atas nama hak asasi manusia (HAM). Maka, muncullah orang-orang yang tidak memiliki standar dalam berperilaku. Halal-haram dilindas demi memuaskan hawa nafsu.
Keempat, mandulnya peran negara dalam menghadirkan rasa aman. Semakin meningkatnya kasus pelecehan seksual yang menimpa anak-anak melalui orang terdekat menjadi bukti lalainya negara menciptakan perlindungan di tengah-tengah masyarakat. Penyebabnya adalah ketidak tahuan akan akar masalah, menjadikan pemecahannya tidak bersifat fundamental. Program-program yang dicanangkan dalam rangka mewujudkan perlindungan anak seperti kota layak anak (KLA) buktinya belum mampu menciptakan rasa aman bagi para generasi. Sehingga kasus kekerasan seksual yang menimpa anak dari tahun ke tahun datanya semakin meningkat.
Ada beberapa poin yang seyogianya menjadi perhatian bagi negara dalam menjalankan tugas menghadirkan rasa aman bagi masyarakat diantaranya:
– Negara memiliki kewajiban untuk mengontrol media yang menyuguhkan informasi maupun konten-konten di tengah-tengah masyarakat, agar informasi dan konten-konten yang dihadirkan tidak bertentangan dengan akidah dan nilai-nilai agama. Ketika didapati adanya penyebaran informasi maupun konten-konten yang dapat menimbulkan perilaku menyimpang di tengah-tengah masyarakat, seketika itu negara mengambil sikap tegas dalam rangka melindungi masyarakat dari segala sesuatu yang dapat merusak akal dan perilakunya.
– Memberlakukan sanksi tegas bagi para pelaku. Tidak akan ada rasa takut bagi para pelaku manakala hukum yang diberlakukan tidak bersifat mencegah dan menghadirkan efek jera untuk tidak mengulangi perbuatannya lagi. Maka, di sini penting bagi negara menegakkan hukum yang mampu menghentikan perilaku menyimpang di tengah-tengah masyarakat dengan menghadirkan sanksi yang tegas. Dan hukum itu tidak lain dengan menerapkan syariat Islam. Sebab, Islam memiliki aturan tegas bagi para pelaku kejahatan seksual, para pelaku yang belum menikah akan mendapat 100 kali cambukan, bagi yang sudah menikah akan dihukum rajam, bagi pelaku sodomi akan dibunuh. Itulah diantara sanksi tegas yang diberlakukan dalam sistem Islam.
Ketika negara benar-benar serius ingin menciptakan rasa aman di tengah-tengah masyarakat dari perilaku menyimpang seperti kekerasan seksual. Maka tiada lain satu-satunya cara yakni dengan menerapkan sistem Islam secara kafah dalam sebuah kepemimpinan Khilafah yang berstandarkan pada metode kenabian. Hanya dengan penerapan sistem Islam inilah yang terbukti mampu meminimalisir segala macam bentuk tindak kriminal, termasuk kekerasan pada anak yang akhir-akhir ini semakin meningkat. Wallahua’lam.[]