Ilusi Berantas Tikus Berdasi
Oleh. Hany Handayani Primantara, S.P
Muslimahtimes.com–Jika ditinjau menurut UU No.31 Tahun 1999, korupsi merupakan sebuah tindakan penyelewengan kekuasaan demi keuntungan pribadi atau korporasi. Keuntungan yang dimaksud ini lebih mengarah pada hal-hal yang sifatnya material, seperti uang atau sejenisnya.
Korupsi dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa atau extraordinary crime oleh berbagai negara, termasuk Indonesia. Dengan status ini, negara-negara memperlakukan korupsi dengan sangat serius karena dianggap sangat berbahaya.
Dampak kejahatan korupsi bukan hanya berimbas pada pelaku korupsi, melainkan ke segala arah termasuk rakyat kecil yang merupakan bagian dari umat yang harus dilindungi. Apatah lagi jika tindakan korupsi dilakukan oleh pejabat negara yang memiliki otoritas tertinggi di suatu negeri, maka bisa dibayangkan berapa besar kerugian negara yang harus ditanggung.
Sungguh Ironis, bertepatan dengan hari Antikorupsi yakni tanggal 9 Desember kemarin, mantan ketua KPK, Firli Bahuri, justru ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi. Pihak yang seharusnya jadi garda terdepan pemberantasan kasus korupsi kini malah masuk bui. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh wakil ketua KPK, Nurul Ghufron, pada peringatan Hakordia 2023 bahwa KPK kini memang tengah terguncang karena ketua lembaganya, Firli Bahuri, menjadi tersangka korupsi. Dilansir dari Kompas.com. (10/12/2023).
Jika demikian adanya, ke mana lagi rakyat kecil harus menaruh harapan agar korupsi hilang dari negeri ini. Integritas lembaga KPK kian ke mari tercoreng oleh internalnya sendiri. Walaupun Ghufron berkilah bahwa dalam menjaga integritas, KPK tidak bergantung pada sosok perseorangan melainkan dengan membangun sistem. Karena itu, jika terdapat insan KPK yang tidak berintegritas dan terkandung perkara hukum, KPK akan membantu mengusut persoalan tersebut. Sambungnya masih dari sumber yang sama.
Mengingat kasus korupsi yang dilakukan tikus berdasi kian masif di negeri ini, mulai dari tatanan terendah hingga posisi tertinggi di pemerintahan membuktikan bahwa korupsi merupakan kasus sistematik. Kasus yang menggurita di setiap lini instansi. Seiring dengan peringatan hari korupsi kemarin seharusnya menjadi momen terbaik bagi penggiat KPK. Bukan hanya untuk mengajak masyarakat umum untuk bersama-sama memberantas korupsi. Melainkan menghimbau agar masyarakat pun jadi lebih memahami benar tentang akar dari kasus korupsi yang menggurita hingga detik ini.
Memberantas Korupsi Hanya ilusi
Memberantas korupsi hanya akan menjadi sebuah ilusi, jika dalam diri individu di negeri ini masih mengakar pemahaman sekulerisme. Pemahaman yang jauh dari kesadaran tentang tindakan benar dan salah di hadapan illahi. Sebab bagaimana tikus berdasi bisa berani berbuat dosa jika akidahnya lurus dan bertakwa, yang hanya berharap pahala dan surga dari sang penguasa langit dan bumi.
Akar masalah dari tikus berdasi pun tak luput dari sistem yang diterapkan saat ini. Sebab sistem politik sekarang justru memberikan peluang besar untuk melakukan tindakan korupsi. Bagaimana tidak, dengan sistem politik transaksional tak memungkiri butuhnya dana besar untuk menjadi pejabat negeri. Hal inilah yang membuat peluang korupsi makin lebar. Alih-alih menjadi pengabdi negeri justru berfikir bagaimana caranya agar bisa balik modal. Nampak bahwa tak ada pencegahan tindakan korupsi dimulai dari sini.
Selain itu, dengan standar sanksi yang diberikan saat ini. Berpeluang besar untuk dimanipulasi. Survei pun membuktikan bahwa tak sedikit pejabat yang memiliki link khusus justru lolos dari jerat hukum. Ini bukti penyelesaian korupsi masih tebang pilih. Sangsi yang tak tegas bagi para tikus berdasi dari negara justru tak memberi efek jera. Jerat hukum yang terlampau ringan membuat akhirnya pelaku korupsi bebas melakukan tindakannya di kemudian hari. Apatah lagi ditambah dengan adanya remisi-remisi yang meringankan hukuman tikus berdasi.
Agar Berantas Korupsi Bukan sekadar Ilusi
Permasalahan sistem ini belum bisa dipahami dengan betul oleh sebagian masyarakat. Walhasil sulit mencari bagaimana penyelesaian terbaik agar bisa memberantas kasus tikus berdasi secara tuntas. Sebab penyelesaian secara parsial yang hanya mengandalkan kemampuan individu seperti sekarang, tak akan mampu melawan masalah yang sifatnya sistemik. Saat ini kekuatan individu yang bertakwa saja tak cukup untuk melawan kuatnya arus sistem yang telah rusak. Maka sebagai seorang muslim yang berpedoman pada syariat, sudah lebih tepat untuk bisa menyelesaikan segala problematika yang dihadapinya sesuai dengan pandangan syariat.
Islam sebagai sebuah sistem meniscayakan sebuah kehidupan yang terdiri dari individu bertakwa. Dengan modal utama takwa inilah akan minim terjadinya aktivitas penyelewengan termasuk lahirnya tikus-tikus berdasi. Sebab dengan kekuatan iman, ia akan takut dalam berbuat dosa di manapun dan kapanpun. Dari lingkup kecil inilah awal mula korupsi bisa dicegah atas dasar kesadarannya sebagai hamba Allah yang memang senantiasa terikat dengan hukum Allah.
Di sistem politik Islam tak memungkiri bahwa dalam pelaksanaannya tak butuh banyak modal dan sederhana. Saking sederhananya maka menutup peluang untuk bisa menghamburkan anggaran negara. Dengan demikian mampu menutup celah-celah korupsi dalam pemerintahan.
Disamping itu pula, pemahaman akan jabatan serta kekuasaan jauh berbeda dengan pemahaman masyarakat saat ini. Seorang muslim memandang bahwa jabatan dan kekuasaan adalah amanah yang sangat berat. Alih-alih berebut kekuasaan justru dari mereka bahkan tak
sedikit yang merasa takut serta khawatir untuk bisa menanggungnya. Maka, berlomba-lomba dalam meraih kekuasaan dipandang sebagai hal yang tabu. Namun bukan berarti akhirnya terjadi krisis kepemimpinan. Sebab dengan bimbingan Alquran dan sunah Nabi maka seorang muslim paham betul akan urgensitas kepemimpinan dalam Islam.
Dengan sistem kepemimpinan Islam yang bercorak tunggal dan berpusat pada satu kepemimpinan maka menihilkan adanya persekongkolan dan menutup celah konflik kelembagaan seperti yang terjadi saat ini. Antara pihak lembaga legislatif, yudikatif dan eksekutif sering berselisih dan saling lempar tanggung jawab.
Keunikan Islam lainya yakni memiliki sistem sangsi dalam bentuk jawabir dan jawazir yang komplit. Sebab fungsi sangsi dalam Islam bukan hanya sekadar menimbulkan efek jera (jawazir) bagi pelaku kejahatan, dalam hal ini korupsi. Melainkan juga ada proses pencegahan (jawabir) yang memang sengaja dibuat guna menghindari terjadinya kasus korupsi. Seperti kata pepatah lama, mencegah lebih baik daripada mengobati. Begitu sempurnanya Islam hingga mengatur ke arah sana.
Proses pencegahan kejahatan korupsi dalam Islam diantaranya adalah Islam memaparkan hukum tentang ghulul. Hal itu termaktub dalam sebuah hadis Rasul berikut:
“Siapa dari kalian kami pekerjakan lalu ia menyembunyikan sebatang jarum atau lebih, maka itu ghulul yang ia bawa di akhirat.” (HR. Muslim dan Abu Daud)
Dan proses ghulul ini bisa dibuktikan kepada para pejabat dengan cara menghitung kekayaan sebelum dan sesudah mereka menjabat sebagai pejabat pemerintahan. Jika memang ada kelebihan yang mencurigakan maka langsung diproses hukum serta hasil kekayaan tersebut bisa disita negara dan dimasukan ke Baitulmal.
Sedangkan proses sangsi dalam Islam bagi pelaku korupsi yakni bisa dikenai hukum takzir sebagaimana yang Allah sampaikan dalam surat Al Imran: 161 berikut:
“Barangsiapa berkhianat, niscaya pada hari Kiamat dia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu. Kemudian setiap orang akan diberi balasan yang sempurna sesuai dengan apa yang dilakukannya dan mereka tidak dizalimi.”
Hukum takzir ini merupakan hukum yang diberikan oleh seorang Khalifah kepada pelaku kejahatan. Bentuknya mungkin akan berbeda-beda pada setiap kepemimpinan, tergantung seberapa besar tindak kejahatan yang dilakukannya berdasarkan hasil ijtihad Khalifah atau para qadhi. Bisa dalam bentuk human mati atau penjara dengan penyitaan harta kekayaan yang dinyatakan hasil korupsi dan di ekspos (tasyir) seperti yang dilakukan oleh Khalifah Umar.
Segala bentuk sistem pemerintahan dan sanksi di atas tak mungkin bisa diterapkan tanpa ada pemerintahan Islam. Oleh sebab itu, wajar jika ada sebagian kaum muslim yang memberikan saran untuk kembali pada syariat Islam kaffah. Mengingat kondisi saat ini yang begitu kritis kepercayaan dan kepedulian akan korupsi. Serta hukum manusia terbukti tak mampu memberikan solusi tuntas kasus korupsi hingga detik ini. Maka upaya berantas korupsi saat ini, bisa dikatakan hanya sekadar ilusi berantas tikus berdasi sebab tak ada jaminan pasti untuk atasi korupsi.
Wallahu alam bi showab.