Oleh. R. Nugrahani, S.Pd.
Muslimahtimes.com–Di awal tahun 2024, utang pemerintah menjadi salah satu isu menarik. Beberapa pihak memiliki pandangan bahwa jumlah utang pemerintah saat ini sudah mencapai level yang mengkhawatirkan dan memunculkan keraguan untuk pembayarannya. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto menyatakan bahwa utang pemerintah masih terkendali meskipun telah mencapai Rp8.041 triliun dengan rasio terhadap PDB sebesar 38,11 persen terhitung November 2023. (antaranews.com, 22/12/2023)
Dian Lestari selaku direktur Pinjaman dan Hibah, Direktoral Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementrian Keuangan pun menyatakan bahwa utang pemerintah ditinjau dari dalam maupun luar negeri, masih dalam batasan wajar dan aman.
Sebab, jika mengacu pada Undang-Undang No. 1/2023 tentang Keuangan Negara, maka disebutkan bahwa batas maksimal rasio utang pemerintah terhadap PDB sebesar 60%. Sehingga wajar jika banyak pihak menyatakan bahwa jumlah utang pemerintah yang meskipun secara nominal mengalami kenaikkan, tetapi secara persentase terhadap PDB masih di bawah 60%.
“Sejauh ini, pinjaman pemerintah masih terkendali,” ungkap Dian Lestari.
Secara keseluruhan, per 30 November 2023 posisi utang pemerintah berjumlah Rp. 8.041,01 triliun. Utang tersebut didominasi pada Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp. 7.048,9 triliun, yaitu 88,61% dari total utang dengan jumlah pinjaman sebesar Rp. 916,03 triliun, yaitu 11.39% dari total utang.
Lebih rincinya pinjaman tersebut terdiri dari pinjaman luar negeri sebesar Rp886,07 triliun dan pinjaman dalam negeri sebesar Rp29,97 triliun. Pinjaman luar negeri meliputi pinjaman multilateral sebesar Rp540,02 triliun dan pinjaman bilateral sebesar Rp268,57 triliun. (gatra.com, 31/12/2023)
Ekonom dari Universitas Brawijaya Malang, Hendi Subandi memasukkan kategori utang Indonesia sebagai utang yang produktif. Sebab utang tersebut digunakan untuk pembangunan infrastruktur yang akan memberikan dampak positif dalam jangka panjang. (bisnis.com, 30/12/2023)
Paradigma Tatakelola Ekonomi di Indonesia
Pertumbuhan negara dengan segala macam potensi sumber daya alam maupun sumber daya manusia yang dimiliki sangat terpengaruh dengan sistem perekonomian yang diterapkan dalam pengelolaan potensi-potensi tersebut demi menstabilkan anggaran APBN.
Di Indonesia, pengelolaan sumber dana APBN dipengaruhi secara langsung oleh paradigma tatakelola ekonomi kapitalisme. Karena itu, prinsip dari mana sumber dana APBN diperoleh pun akan menggunakan paradigma tatakelola ekonomi Kapitalisme.
Dalam sistem ekonomi kapitalis, sumber utama dana APBN diperoleh dari adanya utang dan pajak. Oleh karenanya, menjadi sangat wajar jika pertumbuhan pembangunan perekonomian di Indonesia tidak terlepas dari adanya utang dan penarikkan atas pajak. Utang yang didapatkan bisa berasal dari utang dalam negeri maupun utang luar negeri. Sedangkan pajak, hampir di semua sisi kehidupan warga negara Indonesia saat ini tidak terlepas dengan adanya pungutan pajak. Dengan paradigma ekonomi kapitalisme inilah, maka keberadaan utang dan pajak menjadi keniscayaan.
Apabila dilihat dari sisi teknis keuangan kapitalisme, maka instrumen utang akan tampak sebatas logika investasi dan bisnis belaka. Mekanisme pinjaman dana kepada kreditur dengan diterbitkannya surat utang yang kemudian dibayarkan kembali uang pokok plus bunga dianggap sebagai sebuah kewajaran. Dari sinilah bahaya besara dibalik utang menjadi tersamarkan.
Alasan yang biasanya digunakan untuk pembenaran bahwa negara harus berutang adalah bahwa utang yang ada merupakan urang produktif. Yaitu utang yang dipergunakan untuk pembangunan infrastruktur. Dengan adanya pembangunan infrastruktur diharapkan akan mendorong pertumbuhan ekonomi. Selanjutnya pertumbuhan ekonomi tersebut akan mendorong bertambahnya penerimaan pajak. Benarkah demikian?
Jika ditilik lebih dalam, sebenarnya logika utang produktif yang digunakan pemerintah merupakan logika utang produktif untuk individu atau entitas bisnis. Sebagai contoh, membeli rumah dengan utang cicilan tiga juta per bulan, kemudian rumah tersebut disewakan lima juta per bulan, maka keberadaan utang dalam membeli rumah tersebut tidak mengganggu cash flow.
Logikan inilah yang sekarang ini dijadikan andalan pemerintah, yaitu logikan dengan orientasi profit. Padahal logika yang seharusnya ada pada pemerintah adalah logika berupa orientasi untuk melayani dan melindungi rakyat. Padahal utang yang ada untuk pembangunan segala macam infrasturktur tidak semuanya bisa menghasilkan tambahan pendapatan, kecuali harus ada biaya disetiap penggunaan infrastruktur yang dibangun. Dengan demikian, orientasi untuk melayani dan melindungi rakyat akan musnah. Hal ini bisa terlihat dengan semakin mahalnya fasilitas umum berbayar. Sumber daya alam terus dieksploitasi atas nama investasi.
Paradigma tata kelola ala Kapitalisme inilah yang harus diubah. Termasuk cara pandang yang menghasilkan statement utang terkendali, aman, dan berdampak positif. Statement ini merupakan statement berbahaya. Karena “tidak ada makan siang gratis”. Tidak akan ada utang dari negara lain, jika tidak ada kepentingan atas negara pengutang di negeri ini. Yang pada akhirnya berdampak pada ketergantungan pada negara pengutang yang bisa menyebabkan bahaya pada kedaulatan negara. Karena hilangnya kemandirian dalam mengelola negara. Yang kemandirian negara itu tercerabut bersamaan dengan masuknya berbagai macam utang yang berkorelasi dengan kebijakan yang disesuaikan dengan kepentingan si pemberi utang.
Dengan kata lain, selama paradigma tata kelola ekonomi di Indonesia masih menggunakan paradigma kapitalistik, maka Indonesia selamanya tidak akan menjadi negara mandiri.
Paradigma Tata Kelola Ekonomi Islam
Dalam tata kelola perekonomian sebuah negara, tidaklah cukup hanya dilihat dari teknis keuangan ekonomi saja. Akan tetapi harus mengaitkan dengan paradigmatik ideologis. Sebagaimana Islam sebagai salah satu ideologi yang ada di dunia, maka dalam Islam pun ada bagaimana tata kelola ekonomi bagi sebuah negara.
Dalam paradigma ekonomi Islam, maka yang pertama dan utama yang perlu disiapkan adalah mengganti dasar negara menjadi negara yang berdasarkan aturan Islam. Sebab tata kelola ekonomi Islam dalam sebuah negara tidak akan berlaku jika negara yang bersangkutan masih menggunakan landasan demokrasi-kapitalisme-sekuler dalam pengelolaan negaranya. Tidak akan sinkron.
Jika landasan dan dasar negaranya sudah menggunakan aturan Islam, maka selanjutnya khalifahlah yang akan melanjutkan pelaksanaan tata aturan bernegara. Termasuk tata kelola perekonomian negara yang sesuai dengan syariat Islam.
Tata kelola ekonomi negara dalam Islam, maka tugas negara (khilafah) untuk memenuhi kebutuhan dasar semua rakyat. Individu per individu secara keseluruhan. Ini adalah sebuah kewajiban negara kepada rakyatnya.
Selain kebutuhan dasar, seperti kebutuhan sekunder dan tersier, maka pihak swasta (selain negara) diperbolehkan melakukan kompetisi dengan harga paling ekonomis. Bahkan prinsip khilafah dalam memenuhi semua kebutuhan rakyatnya adalah manfaat, efektif, dan efisien. Tidak perlu mengikuti trend “state of art” dunia.
Dengan pengelolaan negara berlandaskan keimanan dan berdasarkan syariat Islam, maka negara akan menjalankan fungsinya semaksimal mungkin. Menjalankan semuanya sesuai dengan amanah yang telah disyariatkan. Dengan demikian akan melahirkan kepercayaan rakyat kepada negara. Efeknya, rakyat akan mudah diatur karena ketaatan mereka kepada pemimpin. Mereka akan lebih royal dalam hal sedekah dan wakaf, yang merupakan salah satu pemasukan kas negera.
Dalam Islam ada konsep baku mengenai tatakelola ekonomi negara. Konsep tersebut adalah keberadaan Baitulmal, yaitu lembaga atau pihak yang memiliki kewajiban untuk melakukan pengelolaan atas segala harta milik umat dalam bentuk pemasukan maupun pengeluaran negara.
Pemasukan negara ada dalam tiga bagian. Pertama, fai dan kharaj. Yang terdiri dari pos-pos ghanimah, kharaj, status tanah, jizyah, fai, dan dharibah. Kedua, kepemilikan umum yang terdiri atas pertambangan, laut, sungai, perairan, mata air, listrik, hutan, padang gembalaan, dan semua aset yang digunakan negera untuk keperluan khusus. Ketiga, sedekah (zakat) yang meliputi zakat uang dan perdagangan, zakat pertanian, dan zakat ternak (unta, sapi, kambing). Ketiga pemasukan tersebut dikelola berdasarkan ketentuan syariat.
Dari sini dapat dipahami bahwa dalam pemerintahan Islam (khilafah), utang tidaklah menjadi sumber pemasukan utama negara dan juga tidak dijadikan sebagai penopang perekonomian negara. Optimalisasi SDA akan dilakukan oleh negara untuk menghidupi rakyatnya. Hal ini berkebalikan dengan sistem kapitalisme yang menjadikan rakyat sebagai “sapi perah” dengan kewajiban membayar pajak untuk menghidupi negara.
Langkah selanjutnya yang bisa dilakukan, negara mengedukasi rakyat dengan dakwah Islam di seluruh penjuru wilayah agar rakyat fokus pada tujuan hidup yang sesuai dengan syariat Islam. Negara akan memaksimalkan peran para intelektual untuk mampu berkontribusi dalam mengatur negara agar menjadi negara yang baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur.
Dengan demikian, maka akan telahirlah sebuah negara yang mandiri dan terdorong untuk menjadi negara adidaya dan terdepan dengan landasan takwa dan keimanan kepada Allah Swt. Wallahua’lam bissawab.