Oleh. Kholda Najiyah
(Founder Salehah Institute, Pemred Muslimahtimes.com)
Muslimahtimes.com–Rumah tangga muslim diuji dari banyak sisi, salah satunya ekonomi. Para istri, baik secara suka rela maupun terpaksa, banyak yang bekerja untuk membantu terwujudnya ketahanan ekonomi rumah tangga.
Ada yang bekerja menjadi pegawai negeri sipil, guru, bidan, perawat, karyawan kantoran, hingga buruh pabrik. Ada juga yang bekerja di sektor informal seperti berdagang, bisnis online, les privat, menjahit, asisten rumah tangga, atau tukang masak panggilan. Apapun itu, pasti lelah fisik dan mental. Untuk itu, coba renungkan lima hal berikut ini:
1. Kerelaan Diri atas Izin dan Rida Suami
Bekerjanya seorang istri, hendaklah atas kerelaan diri sendiri. Kalau sekarang bekerjanya karena dipaksa suami, atau terpaksa karena keadaan, coba ubah mindset-nya menjadi suka rela. Sebab, apapun yang kita lakukan, jika dengan terpaksa atau dipaksa, pasti tidak ikhlas menjalaninya. Tidak senang dan bahagia menekuninya. Yang ada makan hati. Capek sendiri.
Setelah itu, pastikan bekerjanya kita atas izin dan rida suami. Izin dan rida itu bukan berarti pembiaran ketika istri pergi bekerja, tapi suami pun sudah siap dan paham dengan risikonya. Misal, berkurangnya waktu istri untuk merapikan urusan rumah, kelelahan istri hingga tak bisa melayani suami, butuhnya istri akan kehadiran suami untuk meng-handle anak-anak dan urusan rumah. Semua itu harus dipahami suami, hingga suami benar-benar rida.
Kadang, banyak suami yang mengizinkan istrinya bekerja dengan terpaksa, karena istrinya yang merayu agar dibolehkan kerja. Atau sebaliknya, suami mengizinkan tanpa tahu risikonya. Sehingga, ketika istri tidak melayani suami dengan baik, suami marah dan banyak menuntut.
2. Niat yang Lurus dan Ikhlas
Bekerja pasti memiliki qimah atau nilai materi. Tujuannya untuk mendapatkan uang. Apakah mudah? Jujur, berat bagi istri untuk bekerja mencari uang. Sebab, memang bukan itu fitrahnya. Kalau niat tidak lurus dan ikhlas, pasti sangat berat menjalani amanah di dunia kerja. Harapan untuk dinafkahi dan disejahterakan, jauh dari angan. Harusnya tulang rusuk, malah dipaksa menjadi tulang punggung. Capek.
Niat yang tidak lurus dan ikhlas itu akan tampak dari sikap dan perilakunya yang kurang baik kepada suami. Selalu menyalahkan keadaan. Menyesal menikah dengan suami yang penghasilannya tak juga naik, hingga membuatnya terpaksa bekerja. Setiap saat mengungkit-ungkit kondisi suami. Menyudutkannya. Lalu jika ia memiliki penghasilan, malah pelit bersedekah untuk keluarga. Subhanallah.
3. Prioritas Utama Tetap Ibu Rumah Tangga
Bekerja bagi perempuan hukumnya mubah. Bagi istri dan ibu rumah tangga, yang lebih utama dan wajib adalah menjadi pengatur rumah, mengasuh dan mendidik anak. Karena itu, urusan rumah dan anak-anak harus tetap menjadi prioritas utama. Misal, pulang kerja tidak keluyuran atau nongkrong bersama teman, tapi langsung pulang.
Selanjutnya, miliki batas, sampai kapan akan bekerja. Sekiranya kebutuhan pokok sudah tercukupi dengan baik, harus siap dan rela berhenti. Ketika ada tawaran kenaikan jabatan namun menguras waktu dan tenaga, berani menolak jika itu bisa mengabaikan kewajiban di rumah. Siap mengorbankan karier untuk keluarga, suami dan anak-anak. Itulah prioritas muslimah.
4. Menjaga Kesehatan Mental
Ibu pekerja menjalani peran ganda, yaitu amanah di rumah dan di pekerjaan. Hal Ini akan menyebabkan lelah fisik dan psikis. Lelah fisik, sudah jelas, karena amanahnya dobel, yaitu menyelesaikan urusan domestik dan publik. Belum lagi jika lokasi kerjanya harus ditempuh dengan transportasi karena cukup jauh.
Sementara lelah psikis, karena beban pikiran dan beban kerja yang tidak sedikit. Ibu rumah tangga yang bekerja akan memikirkan urusan rumah saat di kantor, dan sebaliknya saat di rumah, kepikiran dengan pekerjaan kantor. Belum lagi memikirkan relasinya dengan rekan kerja. Tugas dari atasan yang mungkin sulit dipecahkan. Target dan deadline pekerjaan yang kejar mengejar. Semua itu menjadi tekanan mental tersendiri.
Akan muncul pula perasaan bersalah karena meninggalkan rumah. Tidak bisa membersamai tumbuh kembang anak dan melayani suami. Inilah sumber stres ibu bekerja. Maka itu, jika memang bekerja tidak menyehatkan mental, tidak membahagiakan, lebih baik berhenti dan fokus di rumah. Soal rezeki, yakinlah Allah Swt yang menjaminnya.
5. Menjadi Diri Sendiri
Bagi perempuan yang bekerja di sektor publik, sedikit banyak pasti terpapar oleh pengaruh lingkungan. Karena, seseorang akan merasa diterima oleh lingkungannya jika ia berpenampilan dan berperilaku serupa dengan lingkungan itu. Misal, jika circle-nya biasa menggunakan tas dan sepatu branded, pasti ada perasaan minder jika tidak memakainya juga.
Contoh lain, jika di lingkungan kerja biasa makan siang di luar, tidak mengapa membawa bekal sendiri agar lebih hemat. Jika lingkungan kerja suka bergosip, menghindar saja. Jika lingkungan kerja bergaya hedon dan flexing, jangan sampai ikut-ikutan. Jadilah diri sendiri. Percayalah pada diri sendiri.
Demikian, semoga para ibu bekerja kuat fisik dan mentalnya, hingga tiba saatnya berhenti ketika kondisi telah memungkinkan. Semoga Allah Swt menguatkan.(*)