Oleh. Tari Ummu Hamzah
Muslimahtimes.com–Belakangan ini fenomena Doom Spending sedang marak dikalangan genz dan milenial. Sebagai informasi, Ghita Argasasmita, pendidik sekaligus perencana keuangan mengatakan bahwa doom spendingadalah pengeluaran-pengeluaran yang sifatnya receh atau affordable joy alias mudah untuk dinikmati saat ini. Menurutnya, sikap ini sebenarnya didorong oleh faktor keputusasaan atau frustrasi karena tidak bisa mencapai target finansialnya. (Finansial.com)
Sikap boros gen z dan milenial ini malah akan memperburuk kondisi keuangan dan mentalitas generasi muda. Karena ketika mereka merasa banyaknya ketidakstabilan dan gagalnya target keuangan yang mereka miliki, mereka stress dan malah menyerah atas kondisi saat ini. Reaksi stress ini mereka salurkan dengan banyak berbelanja barang-barang receh.
Akibatnya bayang-bayang menuju jurang kemiskinan tak lagi memandang soal kelas masyarakat mana yang akan terancam, tapi juga soal generasi muda masa kini yang juga terancam miskin karena perilaku mereka yang boros dan hedon. Mereka cenderung tak mau kerja keras tapi ingin punya penghasilan yang deras. Sekalinya ada penghasilan cepat-cepat mereka belanja barang-barang remeh yang sebenarnya bukanlah kebutuhan pokok.
Misalnya sering ngopi kekinian yang mahal, langganan aplikasi musik, langganan aplikasi film, enggan memasak dan cenderung membeli makanan lewat pesan antar, mengejar hal-hal viral demi mengejar estetika di sosial media. Jika semua itu dikalkulasikan, bisa menghabiskan seperempat dari gaji bulanan mereka. Bahkan lebih.
Bukankah Ini fenomena yang menyedihkan dari sepanjang generasi. Karena gen z dan milenial mendorong diri mereka sendiri menuju jurang kemiskinan. Karena mereka dalam kondisi keuangan yang memprihatinkan tapi bergaya bak sultan.
Mereka ini adalah generasi yang digadang-gadang dekat dengan teknologi. Tapi nyatanya kecanggihan teknologi dan cepatnya informasi yang menciptakan segudang literasi digital, tak lantas membuat gen z dan milenial paham akan ilmu literasi keuangan. Justru malah mereka gagap dalam memahami literasi keuangan. Serta tak paham bagaimana bereaksi dan merespon berbagai kondisi yang mereka alami.
Lalu apa menyebabkan gen z dan milenial bersikap boros ?
Penyebab yang pertama adalah ketimpangan ekonomi yang terjadi ditengah masyarakat. Di era kapitalis yang saat ini kita jalani, akan sangat sulit bagi rakyat biasa untuk bisa merasakan mudahnya mengakses kebutuhan pokok. Sedangkan masyarakat kaya, diberikan akses untuk mendapatkan kebutuhan pokok.
Akibatnya tercipta jurang antara orang super kaya dan orang miskin. Jurang inilah membuat orang-orang miskin dan kelas menengah makin pesimis untuk memiliki harta. Karena sebagian besar pasar dan lapangan pekerjaan diisi oleh orang-orang kaya yang punya modal dan berpendidikan tinggi. Sehingga untuk mengobati rasa sakit hati terhadap orang-orang kaya, orang-orang miskin dan kelas menengah mencoba “berfoya-foya” juga meski dengan barang-barang receh. Berharap mendapatkan validasi sebagai orang yang mampu. Padahal kantong mereka sedang menjerit.
Penyebab kedua adalah, pemikiran sekuler lewat pendidikan ala kapitalis yang menciptakan budaya serba bebas dan hedon. Perilaku bebas ini membuat generasi muda merasa punyak hak untuk mengatur hidupnya tanpa harus repot memegang prinsip ini dan itu. Mereka maunya bebas dengan alasan menyalurkan aktualisasi diri. Padahal yang mereka lakukan hanyalah bersenang-senang tanpa memiliki tujuan hidup.
Penyebab yang ketiga, mandulnya peran negara dalam mendidik para pemudanya untuk bersikap bijak dalam keuangan mereka. Sebab jika generasi muda tidak diajarkan soal keuangan, maka mereka juga tidak akan paham bagaimana mengelola uang agar menjadi sumber pendapatan dan pengembangan harta. Jika pengembangan harta tidak terjadi di masyarakat, bukankah akan memicu lemahnya daya beli? Tapi nyatanya penguasa tidak hadir sepenuhnya untuk mengatasi fenomena ini.
Lalu solusi seperti apa yang seharusnya dilakukan?
Akar dari masalah pemborosan ini adalah penerapan sistem negara yang berbasis kapitalisme. Perekonomian di sistem ini sangat menonjol, karena ada timbangan manfaat didalamnya. Jadi segala sesuatunya harus dipertimbangkan layaknya sebuah bisnis.
Jika akar masalahnya adalah sistem maka solusinya harus dilawan dengan sistem yang sudah terbukti menyejahterakan manusia selama 14 abad, yaitu sistem Islam. Sistem ini berhasil menyejahterakan umat lintas agama. Meskipun sistemnya Islam tak lantas mengabaikan warga negaranya yang beragam lain. Semua akan diperlakukan adil dan sama.
Dalam sistem Islam ketimpangan ekonomi itu tidak akan terjadi. Distribusi harta itu akan terjadi secara merata. Tidak boleh adanya penimbunan harta. Sehingga negara akan mendorong orang-orang kaya untuk memutar hartanya untuk bisnis di berbagai bidang yang diperbolehkan dalam Islam. Jika harta dan banyak sektor industri lokal yang buka, maka akan membuka lapangan pekerjaan bagi orang-orang pengangguran.
Rakyat juga akan diberikan pendidikan akidah yang benar sesuai dengan Islam, agar segala perilaku yang dilakukan sesuai degan syariat.
Sehingga akan menghindarkan perilaku benas dan hedon. Akidah juga menjadi dorongan umat untuk membelanjakan harta mereka sesuai dengan syariat Islam. Sehingga meskipun rakyat akan cenderung hati-hati dalam berbelanja, daya beli masyarakat tidak akan turun. Karena negara akan berupaya menekan harga-harga kebutuhan pokok agar mudah dijangkau. Untuk itu, sudah saatnya kita beralih dari sistem kufur, menuju sistem yang hakiki, yaitu Islam