Oleh. Syarifah Mughniyah Tahir
(Mahasiswi Universitas Padjadjaran)
Muslimahtimes.com–Retreat yang diikuti oleh jajaran menteri dan wakil menteri dari Kabinet Merah Putih (KMP) di bawah pemerintahan presiden dan wakil presiden, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, selama 3 hari telah selesai pada (27/10) di Akademi Militer, Magelang, Jawa Tengah. Kegiatan tersebut disambut positif oleh para peserta yang mengikuti. Hal ini seperti apa yang diungkapkan oleh Raja Juli Antoni, Menteri Kehutanan, yang menyebut bahwa acara tersebut keren, menyenangkan, dan memberikan kejelasan visi, misi, serta orientasi dari pemerintahan Prabowo.
Disebutkan bahwa orientasi pemerintahan baru ini adalah kesejahteraan rakyat dan kemandirian bangsa. Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP), Maruar Sirait, berpendapat bahwa kegiatan retreat adalah upaya untuk menciptakan para anggota super team yang bertujuan memecahkan masalah negara.
Adapun menurut Prabowo, kegiatan retreat bergaya akmil ini adalah bentuk bonding dan team building, dimana antar tokoh-tokoh elite, politik, dan kemasyarakatan penting untuk saling mengenal. Pesan antikorupsi juga menjadi materi yang ditekankan dalam retreat. Wakil menteri Ketenagakerjaan, Noel Ebenhaezer, mengutip apa yang disampaikan oleh Prabowo dalam retreat, yaitu analogi ikan busuk dari kepalanya yang berarti pemimpin harus baik, agar tidak busuh dan menjaga integritas.
Materi yang positif dalam kegiatan retreat tersebut yang digadang-gadang adalah bentuk pembekalan bagi para pejabat sebenarnya cukup menggelitik jika dibandingkan dengan kenyataan yang ada. Pasalnya, publik sudah mengetahui secara gamblang bagaimana kabinet tersebut dibangun dengan spirit bagi-bagi kue kekuasaan. Misalnya saja dengan disahkannya RUU Kementerian Negara menjadi UU, sebulan sebelum dilantiknya Prabowo-Gibran. Undang-undang tersebut menghapus batasan jumlah kementerian sehingga memberikan keleluasaan bagi presiden untuk menambah jumlah kementerian sesuai kebutuhannya.
Belum lagi huru-hara persoalan Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) yang pada awalnya akan diganti menjadi Dewan Pertimbangan Agung (DPA) melalui RUU Wantimpres yang menghapus batasan jumlah anggota. Meskipun akhirnya “dibatalkan”, tetapi tetap ada 8 poin perubahan dalam UU Wantimpres, yakni mengubah nomenklatur nama menjadi Wantimpres Republik Indonesia dan keanggotaan wantimpres yang menjadi tidak terbatas. Maka, tetap saja hal tersebut memberikan kebebasan bagi presiden untuk menambah jumlah anggota wantimpres.
Hal lain yang menarik adalah pernyataan dari Penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Periode 2005-2013, Abdullah Hehamahua, menyebutkan bahwa 90% nama-nama calon menteri dari Presiden terpilih Prabowo, terlibat dalam kasus korupsi. Ia juga mengatakan banyaknya menteri di era Jokowi masuk kembali ke kabinet pemerintahan baru ini yang beberapa dari menteri tersebut juga tersandung kasus korupsi. Bahlil juga secara terang-terangan mengakui bahwa ada tukar kursi antara Golkar dengan Gerindra terkait posisi Ketua MPR dengan 8 pos menteri.
Fakta-fakta tersebut tentunya menjadi pertanyaan besar bagi publik, bagaimana dapat mengimplementasikan materi positif dari retreat jika dari awal pembentukan rezim pemerintahan pun sudah tidak positif? Segala karut-marut perpolitikan Indonesia yang disaksikan masyarakat saat ini sudah pasti bukan hanya disebabkan karena orang-orang yang ada dalam pemerintahan saja, tetapi lebih besar lagi, sistem pemerintahan yang digunakan saat ini perlu mendapatkan perhatian. Kedaulatan yang katanya diberikan oleh rakyat, nyatanya tidak pernah terjadi, justru kedaulatan ada di tangan wakil rakyat melalui legislasi UU yang dilakukan oleh para wakil tersebut. Akibat kedaulatan diberikan pada manusia, maka otak-atik kebijakan negara seenak perut mudah saja untuk dilakukan demi melancarkan kepentingan-kepentingan tokoh elite.
Sebuah pemerintahan bernegara yang seharusnya berlandaskan pada keimanan, profesionalitas, dan integritas malah berubah menjadi ladang kotor yang luas untuk melakukan politik transaksional. Parahnya lagi hal ini secara lebar-lebar ditampilkan oleh mereka para pejabat tanpa ada rasa malu dengan berlindung di bawah label kerjasama, sinergi, dan persatuan. Hal ini sangat mengerikan, mengingat hajat hidup orang banyak bergantung pada kebijakan bernegara. Maka, jika disebutkan diatas bahwa pemimpin harus baik, sebenarnya tidak cukup. Diperlukan juga sebuah sistem pemerintahan yang baik dan sehat pula untuk menaungi para pemimpin dan pejabat negara. Sistem yang mampu mencegah kebijakan negara diobok-obok oleh segelintir orang dan kepentingan.
Sistem pemerintahan Islam mampu memberantas praktik kotor tersebut karena sejak awal, poros menjalankan pemerintahan adalah dengan meletakkan kedaulatan pada Sang Pencipta dan Sang Pengatur kehidupan, Allah SWT. Maka, para pejabat hanya perlu menjalankan pemerintahan dengan berlandaskan pada hukum-hukum Allah Swt yang tercantum dalam Al-Quran dan As-Sunnah.
Islam menetapkan kepemimpinan serta kekuasaan adalah sebuah amanah yang sangat berat. Seorang pemimpin tidak hanya bertanggung jawab di dunia, tetapi juga kelak akan mempertanggungjawabkan kekuasaannya di hadapan Allah Swt kelak. Maka, dalam sistem Islam, seorang pemimpin ialah yang wajib sadar akan pertanggungjawabannya nanti di akhirat yang kekal. Melalui rasa takut pada Allah Swt yang mampu menjadi alarm bagi para penguasa dalam menjalankan kepemimpinannya yang harus menyejahterahkan rakyat.
Beratnya amanah menjadi seorang pemimpin telah disebutkan oleh Rasulullah saw:
“Sungguh kalian akan berambisi terhadap kekuasaan. Padahal kekuasaan itu bisa berubah menjadi penyesalan pada hari kiamat kelak” (HR al-bukhari)
“Tidaklah seorang hamba yang Allah beri wewenang untuk mengatur rakyat mati pada hari dia mati, sementara dia dalam kondisi menipu rakyatnya, melainkan Allah mengharamkan surga bagi dirinya.” (HR al-Bukhari)
Kekuasaan dalam Islam bukanlah arena tanding untuk berambisi mendapatkan status sosial yang tinggi sebagai seorang pejabat dengan segala keuntungan yang didapatkan. Namun, kekuasaan dalam Islam adalah semata-mata ingin menegakkan aturan Islam dan mengurus kepentingan rakyat. Rakyat disini adalah bagi mereka umat Islam dan umat nonmuslim yang hidup dibawah sistem Islam. Islam adalah rahmatan lil alamin, rahmat bagi seluruh alam, terlepas dari agama apa yang dianut oleh warga negaranya. Contohnya saja pada masa Khalifah Umar bin Khatab dengan sistem pemerintahan Islam yang melakukan Perjanjian Umairah dengan Pendeta Patriach Shafaniyus yang mewakili kaum nasrani melalui penyerahakan kunci Kota Yerussalem kepad Khalifah Umar. Isi dari penjanjian tersebut adalah jaminan keamanan untuk jiwa, harta, gereja, salib, orang sakit, orang sehat, dan untuk seluruh komunitasnya.
Masih mengenai toleransi beragama dalam sistem Islam, hal ini disampaikan dalam buku Peradaban Emas Khilafah Islamiyyaholeh KH. Hafidz Abdurrahman, MA. Disebutan bahwa negara yang berlandaskan pada sistem Islam memberikan toleransi terhadap umat nonmuslim untuk memeluk dan menjelankan agamanya. Mereka juga tidak adakn dipaksa untuk memeluk agama Islam. Hal tersebut dijamin karena negara akan berlandaskan pada Al-Quran yang pada surah al-Baqarah 2:256, Allah swt berfirman:
“Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam)…”
Ditambah lagi melalui sabda Rasulullah saw:
“Siapa saja yang tetap pada keyahudiannya, atau kenasraniaannya, maka tidak akan dihasut (untuk meninggalkan agamanya)” (Abu Ubayd dalam al-Amwal)
Maka, tuduhan terhadap sistem Islam yang dicap intoleran dan tidak akan sesuai dengan kondisi masyarakat yang beragam, khsususnya dari segi agama, tidaklah tepat.
Kembali pada isu utama, kekuasaan dalam Islam bukanlah arena tanding untuk berambisi mendapatkan status sosial yang tinggi sebagai seorang pejabat dengan segala keuntungan yang didapatkan. Namun, kekuasaan dalam Islam adalah semata-mata ingin menegakkan Islam dan mengurus kepentingan rakyat. Rakyat disini adalah bagi mereka umat Islam dan umat non-muslim yang hidup dibawah sistem Islam. Islam adalah rahmatan lil alamin, rahmat bagi seluruh alam, terlepas dari agama apa yang dianut oleh warga negaranya.
Kesadaran akan keberadaan Allah Swt yang senantiasa mengawasi dan keimanan yang tegak lurus pada kebenaran, yakni Islam, terhadap para penguasa akan sulit terwujud apabila sistem yang melingkupi mereka tidak berlandaskan pada aturan yang telah ditetapkan oleh Allah Swt. Persoalannya adalah sistem hari ini menjadikan penguasa sebagai petugas partai semata alias kebijakan yang nanti dihasilkan tidak akan berpihak pada rakyat. Buktinya rakyat seringkali perlu berjuang meneriakkan suaranya melalui demo besar-besaran demi menolak kebijakan yang menggilas rakyat. Jika melihat kembali kepada kegiatan retreat yang telah dilaksanakan bagi para pejabat, tentu tidak akan membekali mengenai pengelolaan negara dalam Islam karena sistem pemerintahan yang berlaku tidak mengejawantahkan hal tersebut.
Dengan demikian, untuk membangun sebuah pemerintahan dan negara yang sungguh-sungguh berorientasi pada kesejahteraan rakyat tidak dapat hanya bersandar dengan penguatan orang-orang yang menjabatnya saja. Namun, sistem pemerintahan yang menaungi orang-orang tersebut juga perlu menjadi perhatian bersama, apakah sistem tersebut memang pantas untuk digunakan. Tidak ada guna hanya membekali individu-individu yang akan memimpin negara, tetapi sistem pemerintahan itu sendiri yang menjadi biang kerok dari segala kerusakan. Poin pentingnya adalah manusia tentu akan bekerja sesuai dengan sistem yang digunakan. Bagaimana pun berkualitasnya seseorang khususnya para penguasa, ketika ia bekerja dalam sistem yang rusak, maka hasil dari pekerjaannya juga hanya akan melahirkan kesejahteraan yang semu.