Oleh. Lestari Agung
Muslimahtimes.com–Fenomena childfree di Indonesia makin marak dan menarik perhatian. Childfree merupakan suatu pandangan terkait keputusan pasangan yang sudah menikah untuk tidak memiliki anak. Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia merilis laporan periode 2023 terkait kasus childfree. BPS melakukan survei kepada kelompok perempuan dan ditemukan 71 ribu perempuan berusia 15 hingga 49 tahun yang tidak ingin memiliki anak. Laporan BPS terkait fenomena childfree menyatakan bahwa perempuan yang menjalani hidup dengan prinsip childfree terindikasi memiliki pendidikan tinggi atau mengalami kesulitan ekonomi. Akan tetapi, gaya hidup homoseksual kemungkinan juga menjadi alasan tersembunyi. (detik.com, 12/11/2024)
Seperti yang kita ketahui, istilah childfree merupakan keputusan dari pasangan yang telah menikah yang menolak untuk memiliki keturunan. Fenomena ini menimbulkan pro kontra di masyarakat terkait kebebasan untuk memilih antara mau atau tidak mau mempunyai anak dalam ikatan pernikahan. Berbagai macam dalih diutarakan oleh pasangan suami istri yang berkomitmen untuk melakukan childfree. Mereka seolah mempunyai banyak pertimbangan dimasa yang akan datang dan banyak ketakutan yang selalu menghantui jika kelak memiliki anak, sehingga memunculkan ide-ide tentang hak reproduksi perempuan.
Ide ini lahir dari paham feminisme yang digandengan oleh sistem kapitalisme. Keputusan ini seolah mendapat apresiasi dari berbagai kalangan, ditambah lagi pemerintah pun memberikan ruang atas fenomena ini, karena keputusan itu dianggap sebagai hak dasar setiap individu, hak asasi manusia, dan hak pribadi atas pilihan hidupnya.
Banyak faktor yang menjadi penyebab pasangan suami istri melakukan childfree. Pertama, faktor psikologis. Faktor yang paling mendasar seseorang melakukan childfree adalah adanya trauma masa kecil dan gangguan kesehatan mental berupa depresi atau kecemasan serta ketidakyakinan untuk menjadi orang tua yang baik.
Kedua, faktor ekonomi. Ketakutan setiap pasangan suami istri akan tidak terjaminnya hidup si anak kelak karena biaya hidup untuk membesarkan anak yang dianggap tidak sedikit. Ketiga, faktor sosial. Banyak opini dan isu beredar tentang populasi penduduk yang dianggap makin meningkat tetapi tidak sejalan dengan ketersediaan pangan. Demikian juga isu kesehatan bumi mendorong munculnya rasa keprihatinan sehingga tidak ingin menambah populasi penduduk bumi yang telah banyak.
Faktor ke empat adalah para perempuan terdorong untuk memiliki tujuan lain dalam hidup. Mereka menganggap selama ini semua perempuan seakan tidak diberi pilihan selain menikah dan punya anak. Padahal perempuan punya pilihan sendiri, seperti ingin lebih fokus melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, fokus pada pencapaian karir/jabatan, serta ingin memprioritaskan waktu berdua bersama pasangan. Mereka menganggap mempunyai anak akan menghambat mereka untuk mengembangkan diri dan secara tidak langsung membuat kebanyakan wanita mengesampingkan kodrat reproduksinya.
Faktor kelima yaitu adanya gaya hidup serbab bebas, dalam hal ini terkait dengan homoseksual. Adanya ketertarikan antara orang-orang yang berjenis kelamin sama, misalnya seorang pria tertarik kepada pria (gay) atau seorang wanita tertarik kepada wanita (lesbi) menjadi salah satu fenomena yang mendukung munculnya childfree.
Dari semua faktor penyebab tersebut, istilah childfree seolah menampik pemikiran tradisional yang menganggap bahwa makin banyak anak yang dimiliki, maka makin banyak pula rezeki yang diperoleh. Hal ini membuat manusia tidak memiliki keyakinan akan adanya sang pencipta di muka bumi ini.
Dalam Islam, childfree tidaklah haram karena memang tidak ada ayat Al-Quran dan hadis yang mewajibkan suami dan istri untuk memiliki anak. Akan tetapi, terdapat anjuran agar muslim mempunyai anak sebagai bagian dari generasi penerus. Hal ini tedapat dalam QS. Al-furqon ayat 74,“Dan orang-orang yang berkata, “Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami pasangan kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa.”
Demikian juga terdapat dalam QS. Al-kahfi ayat 46 “Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia, sedangkan amal kebajikan yang terus menerus adalah lebih baik pahalanya disisi Tuhan.”
Allah telah memberikan tiga potensi mendasar pada manusia sebagai makhluk ciptaan yang sempurna, di antaranya akal, naluri (gharizah) dan kebutuhan jasmani (Hajatul udhowiyah). Allah memberikan akal dengan tujuan agar manusia bisa berpikir dalam menentukan pilihan hidup. Manusia juga harus meyakini dan mengimani adanya Tuhan Sang Maha Pencipta dan harus merasa takut jika segala sesuatu keluar dari koridor syariat Islam. Kemudian, Allah Swt. juga telah memberikan naluri (gharizah) kepada manusia berupa naluri untuk menyembah sesuatu, naluri eksistensi diri untuk mendapat pengakuan dari orang lain, dan naluri melestarikan keturunan. Selain itu, dengan adanya potensi akal yang sudah Allah berikan, harusnya manusia bisa menyalurkan ketiga naluri itu dengan benar dan sesuai syariat Islam.
Terakhir, Allah memberikan kepada manusia kebutuhan jasmani (Hajatul Udhowiyah). Kebutuhan jasmani ini berasal dari dalam tubuh manusia yang jika tidak terpenuhi akan menimbulkan kematian, contohnya rasa haus dan lapar. Ketiga potensi manusia tersebut seharusnya menjadi dasar pemikiran untuk mengambil langkah keputusan sesuai syariat Islam. Adapun childfree hanya mempertimbangkan manfaat dan kesenangan dunia semata tanpa pertimbangan agama sama sekali.
Dengan diterapkannya sistem Islam, maka akan tercipta jaminan kesejahteraan dan penguatan akidah sehingga tentunya akan menolak ide childfree karena bertentangan dengan akidah Islam. Sejatinya, memiliki anak bukanlah suatu beban melainkan amanah yang menjadi ladang pahala bagi orangtua. Maka, keberadaan sistem pendidikan Islam akan menjaga akidah umat tetap lurus dan menjaga pemikiran sesuai Islam. Negara juga memberikan benteng atas masuknya pemikiran yang bertentangan dengan Islam.