
Oleh. Kholda Najiyah
Muslimahtimes.com–Konsep “independent woman” atau wanita mandiri, tak pernah sepi dari pembahasan di masyarakat modern. Istilah ini merujuk pada sosok wanita yang mampu menjalani hidup secara merdeka, sesuai kehendak pribadinya. Ia mampu memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri, baik secara finansial, emosional, maupun dalam pengambilan keputusan.
Tak hanya di kalangan lajang, isu tentang kemandirian perempuan, turut membawa pengaruh di kalangan istri. Muncul narasi-narasi agar istri mandiri. Jangan mau tergantung pada suami. Karena, istri mandiri lebih percaya diri dalam pergaulan modern, sehingga lebih dihargai suami, mertua dan orang lain. Sebaliknya, istri yang tidak bekerja hanya menjadi beban suami. Benarkah?
Alasan Mandiri
Di era modern ini, ada banyak alasan mengapa istri harus mandiri. Jaga-jaga kalau-kalau mengalami kondisi tidak terduga atau darurat, seperti jika suami tiba-tiba sakit. Apalagi sakitnya parah atau permanen, hingga suami tidak dapat mencari nafkah.
Istri dituntut bisa mencari uang sendiri, agar tetap dapat melanjutkan hidup secara ekonomi, di saat suami tidak dapat memberikan nafkah. Termasuk ketika tiba-tiba suami diputus hubungan kerjanya (PHK) atau bangkrut dari bisnisnya, istri yang memiliki pendapatan akan bisa bertahan.
Terlebih jika suami berpulang duluan untuk selama-lamanya. Saat ini, sistem hidup sekuler kapitalis tidak memberikan jaminan kepada para janda atau single mom. Mereka harus berjuang sendiri untuk memenuhi kebutuhan diri dan anak-anaknya. Kemandirian istri dalam finansial, seolah menjadi solusi terbaik atas situasi ini.
Tak hanya itu, saat ini tak sedikit para suami yang tidak atau kurang tanggung jawabnya terhadap istri dan anak-anaknya. Suami fakir alias serba kekurangan, tapi juga kurang greget dalam mencari nafkah. Akibatnya istri pusing mengatur uang yang jumlahnya memang sedikit. Daripada minta suami malah ribut, jadilah istri mandiri, mencari uang sendiri. Para TKW yang merantau jauh hingga ke benua lain, adalah contoh nyata.
Ada lagi kondisi yang memaksa para istri mandiri finansial, yaitu suaminya kikir. Hitung-hitungan ketat soal uang kepada istri dan anak-anak. Pelit dan tidak mau tahu kebutuhan rumah tangga sebetulnya berapa. Giliran istri mengadu kehabisan uang, bukannya diberi, yang ada malah dimarahi.
Capek sekali jadi istri dengan tipe suami toxic seperti ini. Akibatnya, istri berdiri untuk berdikari. Mendingan bekerja cari uang, daripada mengharapkan pemberian nafkah suami sampai mengemis-ngemis. Padahal meminta haknya, tapi malah ditahan-tahan.
Tampaklah, gagasan istri mandiri, sebenarnya karena keadaan yang tidak ideal. Mereka terpaksa memenuhi kebutuhannya sendiri, karena pihak yang seharusnya memberikan haknya, tidak melaksanakan kewajibannya. Ini karena sistem hidup yang tidak ideal di bawah kepemimpinan ideologi sekuler kapitalis.
Embusan Ide Sekuler
Mandiri jika dimaknai sebagai tindakan inisiatif untuk memenuhi kebutuhan sendiri, tanpa dikendalikan orang lain, penting bagi watak individu. Setiap individu harus punya prinsip teguh dan tidak mudah terpengaruh.
Namun, kemandirian istri yang dihembuskan oleh ideologi sekuler kapitalis, cenderung kebablasan dan tidak sesuai dengan prinsip Islam. Yaitu, menuntut istri mandiri dalam finansial, padahal dalam Islam nafkahnya sudah ditanggung suami.
Namun, ide istri mandiri finansial ini mudah merasuk dan dipraktikkan para istri, karena di sistem sekuler kapitalis ini, mereka berhadapan dengan realita yang memaksa mereka untuk mandiri.
Dimulai dari kehidupan ekonomi masa kecil yang serba kekurangan, akhirnya anak perempuan pun bekerja mencari uang. Saat menikah, kebanyakan mendapatkan suami dari circle ekonomi yang setara, sehingga tidak juga kunjung sejahtera.
Sementara itu, biaya hidup semakin mahal. Ditambah godaan gaya hidup berbiaya mahal. Jadilah para istri terpaksa bekerja cari tambahan. Apalagi jika ia generasi sandwich yang memiliki tanggungan keluarga, baik demi anak-anak maupun orang tua. Jadilah para istri ramai-ramai meninggalkan rumah menuju ruang publik untuk mengejar duit.
Ide istri mandiri, berhasil merayu para perempuan untuk eksis. Berharap dapat uang banyak untuk membeli segala impian pribadi yang tidak dia dapatkan dari suami. Akhirnya, niat mandirinya bukan lagi sekadar keterdesakan ekonomi. Sebaliknya, ada semangat “menyaingi” suami, seolah mengatakan “aku juga bisa melakukannya.”
Isu kemandirian perempuan, erat kaitannya dengan semangat untuk melawan sistem patriarki yang telah lama mengakar, di mana dominasi suami menonjol dalam rumah tangga.
Lahirlah karakter wanita bentukan sistem sekuler kapitalis yang lemah aqidahnya, cenderung materialistis dan hedonis. Kehilangan rasa malu, tidak lagi lemah lembut dan sebaliknya, menjadi keras hati. Perempuan yang kebablasan dalam menuntut kebebasan dan kesetaraan.
Wanita mandiri di era kapitalis, menjelma menjadi sosok superior, dominan dan akhirnya tidak membutuhkan laki-laki, bersaing dengannya dan bahkan mencampakkannya.
Di benak mereka tertanam narasi “untuk apa punya suami, kalau sendiri bisa dan lebih bahagia.” Inilah fenomena ketika perempuan mandiri finansial ramai-ramai menggugat cerai suaminya. Na’udzubillahi mindzalik.
Dampak Terlalu Mandiri
Ada dampak negatif jika istri terlalu mandiri dalam mengejar materi. Suami istri menjadi tidak lagi memiliki ketergantungan dan tidak lagi saling membutuhkan. Keduanya sibuk dengan dirinya masing-masing. Tidak ada kehangatan dan romantisme.
Fitrah suami juga rusak, seperti kepemimpinan yang melemah karena tidak punya kesempatan mengarahkan istri yang terlalu mandiri. Istri yang terlalu mandiri, membuat suami merasa tidak dianggap. Fungsi suami untuk mengayomi dan melindungi istri pun bisa hilang.
Demikian pula fitrah istri bisa terkoyak. Kelelahan fisik dan mental karena bekerja, memicu stres. Sikap manja dan lembutnya hilang berganti dengan keras hati dan bahkan mati rasa pada suami. Jika ini dibiarkan, dalam jangka panjang dapat memicu ketidak-harmonisan dan bahkan dapat memicu kehancuran rumah tangga. Na’udzubillahi mindzalik.
Islam Menjamin Istri
Manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa mandiri selamanya. Ada saatnya mandiri melakukan sendiri, ada saatnya membutuhkan orang lain. Demikian pula suami istri. Diikat dalam pernikahan, karena akan saling membutuhkan satu sama lain. Suami dan istri harus saling membutuhkan dan melengkapi agar terwujud ketenangan dan kasih sayang (Ar-Rum 21). Inilah tujuan pernikahan.
Islam membagi peran suami dan istri dengan adil untuk keseimbangan. Islam tidak menuntut istri agar mandiri finansial, karena nafkahnya ditanggung suami. Jika suami tidak mampu, akan disokong oleh negara. Para suami akan didukung dengan sistem ekonomi Islam yang mampu menjamin pemenuhan kebutuhan pokok keluarganya.
Jadi, istri yang tidak bekerja, tidak lebih rendah daripada yang bekerja dan mandiri finansial. Demikian pula sebaliknya. Eksistensi dan kehormatan istri tidak diukur dari berapa banyak uang yang dia dapatkan, melainkan ketakwaan dan kebermanfaatannya. Wallahu’alam.(*)