
Oleh. R.Nugrahani, S.Pd
Muslimahtimes.com–Konflik Israel-Palestina merupakan konflik geopolitik global yang tak kunjung selesai. Di tengah riuhnya gencatan senjata dan genosida di Gaza, wacana “two state solution” kembali menggema sebagai tawaran jalan tengah demi kedamaian di wilayah Palestina. Bahkan Presiden Prabowo Subianto pun ikut menyuarakan gagasan tersebut dengan syarat yang memunculkan perdebatan, yaitu pengakuan terhadap Israel sebagai imbalan atas penghentian serangan terhadap Palestina.
Di bulan September tahun 2025 ini, selama Sidang Majelis Umum ke-80 PBB dilangsungkan setidaknya daftar negara yang mengakui keberadaan negara Palestina berjumlah menjadi 157 negara. Tetapi, hal ini tidak akan membuat Palestina langsung diakui secara internasional sebagai sebuah negara yang merdeka.
Profesor Yossi Mekelberg, pakar Timur Tengah di lembaga pemikir Inggris Chatham House, menyatakan bahwa mayoritas negara di dunia tidak diragukan lagi mendukung kenegaraan Palestina. Tetapi, anda membutuhkan dukungan Dewan Keamanan PBB, dan itu tidak akan terjadi karena satu orang tertentu di Gedung Putih, lanjutnya.
Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu secara tegas menentang pembentukan negara Palestina. Hal ini di sampaikan oleh Netanyahu dalam pidatonya di Sidang Majelis Umum PBB di New York, AS, pada Jumat (26/9/2025). Netanyahu mengkritik keras negara-negara, yang baru-baru ini memberikan pengakuan terhadap Palestina, seperti Australia, Inggris, Perancis, dan Kanada. Ia juga menegaskan bahwa dengan memberikan negara Palestina yang berdekatan dengan Yerusalem setelah insiden 7 Oktober 2023 sema saja dengan memberikan Al-Qaeda negara satu mil dari kota New York setelah serangan 11 September 2001.
Sedangkan presiden AS, Donald Trump, pada Senin (29/9/2025) memaparkan rencana komprehensif untuk mengahiri perang di Gaza. Setidaknya da enam poin utama dalam rencana tersebut. Pertama, perang dihentikan dan sandera dibebaskan. Kedua, Trump pimpin badan transisi. Ketiga, tidak ada pengusiran paksa. Keempat, Hamas tidak berkuasa serta adanya amnesti bersyarat. Kelima, penempatan pasukan internasional. Keenam, masa depan Palestina yang masih belum pasti.
Rencana tersebut memunculkan tanggapan yang beragam. Sebagian warga Gaza meragukan akan hal tersebut. Bahkan sebagian dari warga Gaza menganggap rencana tersebut sebagai lelucon perdamaian. Dari pihak Hamas, salah satu pejabat senior Hamas mengatakan bahwa pihaknya akan memberi jawaban setelah menerima proposal secara resmi melalaui mediator Qatar dan Mesir. Sedangkan dari pihak otoritas Palestina yang berbasis di Tepi Barat, menyambut baik rencana komprehensif tersebut.
Ketika pihak Hamas dan Israel sepakat atas rencana yang digulirkan oleh Trump, maka akan ada pemerintahan transisi di Gaza yang bernbentuk komite teknokrat Palestina yang bersifat apolitis. Komite ini akan dibantu oleh pakar internasional dan berada di bawah supervisi Dewan Perdamaian yang dipimpin oleh Trump, dengan Tony Blair sebagai anggota perdananya. Sedangkan Hamas, tidak ada peran apa pun dalam pemerintahan transisi tersebut. Trump menegaskan, jika Hamas menolak kesepakatan, maka Netanyahu akan mendapakan dukungan penuh untuk melanjutkan operasi militernya.
Jika kita cermati lebih mendalam, two state solution ataupun rencana komprehensif ala Trump tidak menawarkan kompensasi yang adil. Standar ganda telah ada sejak Zionis Israel mendapakan dukungan internasional atas tanah Palestina. Israel, dengan “Law of Return”-nya, memberikan hak otomatis bagi setiap individu Yahudi di seluruh dunia untuk bermigrasi dan menjadi warga negara Israel, bahkan jika mereka tidak pernah memiliki ikatan leluhur langsung dengan tanah Palestina. Sementara itu, hak kembali bagi warga Palestina yang lahir dan besar di tanah itu, yang memiliki kunci rumah dan akta tanah sebagai bukti kepemilikan, justru secara sistematis ditolak. Solusi dua negara yang tidak mengatasi isu fundamental ini hanyalah ilusi keadilan. Ia menciptakan sebuah “negara” Palestina yang sejak awal sudah dibebani dengan ketidakadilan historis yang tak terselesaikan.
Hingga saat ini, Israel tetap membombardir dan menegakkan blokade ketat di Gaza. Kondisi Palestina semakin mengerikan. Namun, tidak ada satupun negara yang rela melakukan perlawanan “militer” terhadap Israel atas nama Palestina. Hamas yang memberikan pembelaan penuh atas tanah Palestina, dipaksa menyetujui kesepakatan yang tidak ada keadilan sedikitpun untuk Palestina.
Inilah yang terjadi jika manusia mencoba mengatur urusan kehidupan. Bukan melahirkan kemaslahatan, tetapi akan ada kepentingan di atas kepentingan. Tidak akan ada keadilan yang mensejahterakan karena sudah sifatnya manusia memiliki hawa nafsu dan keserakahan. Oleh karena itulah, dalam pengaturan kehidupan ini, manusia butuh akan aturan ilahiah. Dengan aturan ilahiah inilah mulai dari urusan individu, kemasyarakatan, kenegaraan, maupun hubungan antar negara akan diatur. Semuanya ini tidak akan ada kecuali dalam syariat Islam.
Oleh karenanya, sebuah keharusan bagi kita sebagai seorang muslim untuk memahami realitas permasalah beserta solusi yang ada dalam Islam. Sebagaimana konflik yang terjadi antara Israel dan Palestina. Konflik ini tidak akan pernah bisa selesai, jika solusi yang ditawarkan berasal dari hawa nafsu dan keserakahan. Dari awal mula konflik ini lahir, memang sudah ada pemaksaan dan intimidasi. Rakyat Palestina dipaksakan untuk menerima sejumlah orang Yahudi atas nama kemanusian. Namun yang terjadi justru pendudukan dan intimidasi yang diterima oleh rakyat Palestina. Bahkan melebihi dari itu semua. Yang ada terjadi pembunuhan massal, pengeboman, genosida, pemboikotan, pelaparan. Semuanya itu dinormalisasi oleh semua negara-negara di dunia. Mereka hanya berhenti pada negosiasi dan pengutukan atas apa yang dilakukan oleh Zionis Israel laknatullah.
Keadaan situasi konflik Israel-Palestina semakin rumit ketika pihak-pihak luar mulai melakukan intervensi. Pembahasan penyelesaian konflik tidak lagi terfokuskan pada dua negara saja. Tetapi mulai mencakup negara-negara di seputaran kawasan dan aktor besar dunia. Mulai dari AS sebagai gembongnya negara adikuasa. Iran, Mesir, Turki, Yaman, Uni Emirat Arab, bahkan negara-negara kawasan Eropa, masing-masing memiliki dan menempatkan kepentingan ekonomi dan kepentingan politik dalam konflik tersebut. Kehadiran pihak luar inilah yang justru memunculkan persoalan baru dan memperlambat penyelesaian. Mereka seolah mencoba memberikan penawaran solusi. Namun, yang terjadi justru menanamkan kepentingan di kawasan yang sedang berkonflik.
Hal ini menunjukkan bahwa tidak akan pernah ada solusi internasional yang netral dan adil. Harapan untuk merealisasikan two state solution akan tetap berat dan rapuh. Apapun solusi yang ditawarkan, hanya akan melegitimasi penjajahan, dominasi Israel atas Plestina yang dibungkus dengan kata-kata perdamaian. Pembagian tanah jika disesuaikan dengan peta politik sekarang, yang mana Israel telah menguasai sebagian besar wilayah dan Palestina yang terpecah-pecah, maka ini merupakan pengakuan atas pendudukan dan merupakan bentuk kekerasan yang bersifat sistemis.
Tidak ada sedikitpun wacana untuk mengembalikan semua hak dari rakyat Palestina secara utuh. Tidak ada kewajiban Israel untuk mengembalikan semua wilayah yang dirampas. Apapun yang disebut solusi perdamaian ternyata hanyalah bentukan dari kompromi terhadap ketidakadilan.
Jika memang kaum muslimin dan penguasa-penguasa muslim menginginkan solusi tuntas atas Palestena, maka inilah saatnya kembali pada syariat Islam yang merupakan syariat ilahiah yang berasal dari Allah Swt. Menurut syariat Islam, tanah Palestina merupakan tanah wakaf yang pemiliknya merupakakn umat Islam seluruh dunia sejak ditetapkan dalam perjanjian Umariyah hingga akhir jaman nantinya.
Dalam syariat Islam, perampasan tanah milik umat Islam tidak dibenarkan. Oleh karena itu, tanah Palestina jika tidak dikembalikan secara damai, maka kewajiban atas umat Islam untuk merebutnya kembali. Inilah perjuangan yang telah disyariatkan.
Permasalahannya adalah kita tidak bisa hanya berharap pada perjuangan umat Islam yang berada Palestina saja. Mereka tidak akam mampu melawan penjajahan sistemik ini secara sendirian. Kita pun pesimis dengan para pemimpin muslim dan dunia. Bahkan lembaga-lembaga tingkat internasional tidak ada satupun yang memberikan pernyataan agar melakukan pengusiran Zionis Israel dari seluruh wilayah Palestina.
Para pemimpin kawasan Arab, atas arahan dan usulan dari AS, satu per satu justru melakukan normalisasi dengan Zionis Israel atas nama perjanjian damai Abraham Accord. Ini merupakan bentuk pengkhianatan nyata atas rakyat Palestina.
Satu-satunya harapan yang bisa kita (umat Islam) lakukan adalah dengan mengembalikan lagi kepemimpian global atas umat Islam seluruh dunia, dengan adanya kepemimpin menyeluruh atas umat Islam di bawah naungan sebuah negara dengan menggunakan sistem Islam sebagai sistem pemerintahannya, yaitu daulah khilafah Islamiyah.
Keberadaan khilafah yang dipimpin seorang khalifah yang dibutuhkan. Yaitu sebuah negara yang menggunakan aturan Islam dalam menyelesaikan urusan di dunia, yang menyatukan semua umat Islam dengan landasan keimanan (akidah Islam). Khilafah inilah yang nantinya melakukan mobilisasi atas semua potensi yang ada di umat Islam. Bahkan dalam masalah konflik Israel-Palestina, khilafah akan memobilisasi tentara-tentara umat Islam untuk membangun kekuatan global yang mengembalikan semua hak Palestina kepada pemilik aslinya. Dengan level setara seperti inilah, maka Zionis Israel bisa dikalahkan.
Dengan kehadiran khilafah, maka umat Islam diseluruh penjuru dunia akan ternaungi. Terbebaskan dari penjajahan barat, baik penjajahan yang bersifat fisik maupun penjajahan yang bersifat non-fisik. Sebagaimana Allah Swt. menjanjiakn bahwa era sekarang ini merupakan era kembalinya khilafah Islamiyah. Hal ini nyata karena ada kelompok yang senantiasa dengan keikhlasannya memperjuangkan untuk kembali tegaknya Khilafah Islamiyah dengan melakukan pembinaan Islam kaffah pada umat.
Perjuangan itu akan terus mengalir hingga nasrullah datang. Dengan adanya khilafah Islamiyah, maka akan pemimpin yang akan memimpin pasukan untuk membebaskan Palestian dan mengembalikannya pada umat Islam. Bahkan, bukan hanya Palestina saja. Pasukan ini akan membebaskan semua umat Islam yang tertindas, sebagaimana kaum muslimin di Rohingya, Uighur, Suriah, Sudah, dst. Dengan demikian kemuliaan umat Islam akan kembali secara nyata. Sungguh perjuangan ini tidak akan pernah terhenti hingga Daulah Khilafah Islam kembali tegak sesuai dengan manhaj kenabian.