
Oleh. Syifa Ummu Azka
Muslimahtimes.com–Dunia kembali diguncang oleh jeritan kemanusiaan dari Gaza. Kapal-kapal Global Sumud Flotilla yang membawa obat dan makanan untuk rakyat Palestina dicegat paksa oleh Israel, lalu ditahan tanpa alasan yang beradab (Kompas, 04/10/2025). Di Bandung, komunitas Students for Justice in Palestine (SJP) menggelar aksi solidaritas, menyalakan lilin-lilin kecil di bawah langit yang muram. Di Maroko, ratusan generasi muda Muslim turun ke jalan memprotes pencegatan itu dengan pekik “Free Palestine!” yang menggema di seluruh kota. Mereka bukan sekadar pemuda emosional, tetapi generasi yang mulai sadar bahwa diam berarti mengkhianati nurani.
Namun, di balik semangat itu, ada arus besar yang berusaha meninabobokan kesadaran dunia. Para penguasa dunia dan lembaga internasional kembali menggaungkan Two State Solution, seolah itu jalan damai yang mulia. Padahal, sudah puluhan tahun jargon itu berputar tanpa hasil. Palestina tetap dijajah, darah tetap tumpah, dan bumi suci Al-Quds masih direnggut dari tangan umat Islam. Mereka ingin kita percaya bahwa kompromi dengan penjajah adalah solusi, padahal itu hanyalah perangkap yang membekukan perlawanan.
Bahasa Damai yang Menipu
Kecaman global terhadap Zionis bukan hanya tentang nurani, tetapi tentang langkah politis. Ketika bantuan kemanusiaan pun dihadang, dunia melihat jelas wajah kejam kolonialisme modern. Generasi muda Muslim menjadi saksi bahwa penjajahan ini tidak bisa diakhiri dengan perundingan yang timpang. Israel tidak mengerti bahasa perdamaian, karena ideologinya lahir dari penjajahan, bukan keadilan. Seperti yang ditegaskan dalam firman Allah, “Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan rela kepadamu hingga engkau mengikuti agama mereka. Katakanlah, sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk yang benar” (QS. Al-Baqarah [2]: 120).
Apresiasi tentu layak diberikan kepada para pemuda yang menyuarakan solidaritas. Namun semangat saja tidak cukup tanpa pemahaman yang benar. Banyak yang masih terjebak dalam narasi solusi dua negara, padahal konsep itu secara hakikat justru melegitimasi penjajahan atas tanah umat Islam. Ia seakan memberikan sepotong kecil Palestina, sementara sebagian besar lainnya tetap menjadi jajahan Zionis. Inilah jebakan yang berbahaya, kemerdekaan semu yang menipu.
Jalan Hakiki Menuju Pembebasan
Islam tidak memandang Palestina sebagai isu lokal, melainkan sebagai bagian dari tubuh umat yang satu. Rasulullah saw bersabda, “Perumpamaan orang-orang mukmin dalam kasih sayang dan kepedulian mereka ibarat satu tubuh; jika satu bagian sakit, seluruh tubuh merasakannya” (HR. Muslim). Karena itu, penderitaan Palestina adalah luka seluruh umat. Jalan keluarnya bukan kompromi politik atau negosiasi yang menafikan hukum Allah, tetapi kembalinya sistem Islam yang menyatukan kekuatan umat di bawah kepemimpinan yang satu.
Two State Solution tidak pernah menjadi solusi, sebab ia lahir dari meja penjajah, bukan dari wahyu. Islam telah menetapkan bahwa tanah yang dirampas wajib dibebaskan melalui jihad fi sabilillah, bukan melalui perjanjian palsu. Allah berfirman, “Dan perangilah mereka hingga tidak ada fitnah dan agama seluruhnya bagi Allah” (QS. Al-Anfal: 39). Inilah prinsip keadilan yang hakiki yang membebaskan manusia dari kezaliman sistem buatan manusia menuju rahmat aturan Allah.
Sudah saatnya generasi muda muslim bangkit bukan hanya sebagai pejuang kemanusiaan, tetapi sebagai pembela kebenaran yang memahami akar masalahnya. Dunia akan terus menyaksikan darah Palestina mengalir selama solusi yang diambil hanyalah tambalan diplomasi tanpa ruh Islam. Generasi muda muslim perlu menolak dengan tegas sistem yang menipu ini dan menyerukan kebangkitan Islam secara menyeluruh. Sebab hanya dengan kembalinya kepemimpinan Islam, bumi Al-Quds akan benar-benar merdeka dan damai yang sejati dapat bersemi.